02. Neighbour

1424 Words
“Saat kita dekat pada jarak, bukan berarti kita menjadi dekat pada arti yang lain, kita tetaplah orang asing.” ---- "Ini ban pake kempes segala. Mana udah telat banget. Haduh motor gak tau sikon amat sih?" Kesialan demi kesialan terus menimpa Tania sejak ia pindah. Begitu kira-kira yang ia rasakan. Saat Tania mengumpat tak karuan, tetangga sebelah rumahnya membuka gerbang dan muncul seorang wanita paruh baya tapi wajahnya masih terlihat cantik. Wanita itu menghampiri Tania yang tengah kebingungan. "Nak, kamu yang tetangga baru kan?" tanyanya dengan ramah. "Oh iya, Tante. Saya baru pindah." Tania juga membalasnya ramah. "Saya Tania, Tante," sambung Tania dengan rasa canggungnya. Dengan antusias, wanita paruh baya bernama Sheila itu mempromosikan anaknya. "Tania, kayaknya kamu seumuran deh sama anak Tante. Mau Tante kenalin gak?" "Eum, gimana ya? Sebenarnya saya telat ngampus.” Tania menunjukkan deretan gigi putihnya. Sebenernya ia tahu, jika anak Sheila itu pasti Aly, atau yang ia panggil k*****t itu, lelaki yang berusaha ia hindari setengah mati. Sheila masih belum puas bertanya pada gadis manis yang tengah berada dihadapannya itu. "Kamu kuliah dimana?" Kemudian Sheila mengaggukkan kepala setelah Tania menyebutkan Universitas Pancasila, tempatnya berkuliah. "Oh kalau gitu kamu bareng anak Tante aja? Kebetulan dia juga satu kampus sama kamu.” Mata Sheila mentap Tania penuh harap. "Ng, anu, gimana ya? Gak usah repot-repot ah. Tania takut ngerepotin," jawab Tania gugup. Tania beralibi lagi, ia terlalu gengsi menerima permohonan Sheila. Tetapi, sepertinya Sheila masih belum menyerah membujuk Tania untuk berangkat bersama anaknya. "Gak apa-apa, Tania. Gak ngerepotin kok. Lagian, kan kalian satu kampus. Jadi, anak Tante pasti gak keberatan buat barengan sama kamu." Tania benar-benar bingung dan canggung dengan obrolannya bersama Sheila. Aly keluar dengan motor gede yang dikendarainya. Ia berhenti di depan Tania, dengan maksud berpamitan pada Sheila. "Ma, Aly berangkat dulu ya. Assalamualaikum." Aly mencium punggung tangan ibunya. "Eh sebentar, Al." Sheila menahan Aly sebelum ia berlalu dengan motor gedenya. "Kenapa lagi, Ma?" Aly tahu apa maksud Sheila karena sebelumnya lelaki datar itu melirik tajam ke arah Tania. Terlihat sekali aura ketidaksukaannya kepada gadis itu. Sheila berbicara mengenai Tania dengan antusias kepada putra sematawayangnya. Jujur saja, sejak kali pertama Sheila melihatnya, ia langsung tertarik –mendekatkannya—dengan Aly. "Ini lho, Al, Tania. Temen kampus kamu kan? Kok semalem kamu gak cerita kalo tetangga baru kita itu teman sekampus kamu?" "Lah ngapain juga cerita, Ma? Penting banget emang?" Aly memutar bola matanya. Sepertinya, Aly ini memang diciptakan untuk membuat Tania selalu kesal. Gadis itu sebenarnya malas berlama-lama dengan makhluk bernama Aly itu. Namun, ia tidak enak pada Sheila yang begitu ramah padanya. Dengan nada malas, Aly terpaksa bertanya apa maksud Sheila. "Terus, kenapa masalahnya, Ma? Ini Aly udah telat!" "Kamu berangkat bareng Tania ya?" Sheila menatap Aly penuh harap. Aly menghembuskan napasnya kasar. Sekali saja ia ingin ibunya mengerti jika ia sama sekali tidak ingin diganggu. "Ngapain sih, Ma? Gak mau ah. Dia kan bisa berangkat sendiri." "Iya bener, Tante. Saya berangkat sendiri aja nanti." Tania memotong pembicaraan mereka. Sheila menatap Tania cemas dan mencengkram lembut bahu gadis itu. "Eh kamu mau naik apa, Tania? Gak ada kendaraan umum lewat sini." Tania berpikir ulang, jika ia menolak tawaran berangkat dengan Aly, maka ia akan terlambat, lagi pula tak ada kendaraan umum yang lewat di daerahnya. Aly agak geram melihat gelagat Tania yang entah canggung. Entah, hanya basa-basi saja itu. "Alah udah, nebeng gak nih? Gak usah pura-pura gengsi lo. Gue tinggalin tau rasa lo!" ucap Aly ketus. "I…iya deh, gue ikut!" Tania tak kalah ketus. Namun, sambil diiringi rasa gugup. Lelaki robot itu menyerahkan helm ke tangan Tania agak kasar, malah lebih terlihat seperti melemparkannya. "Ya udah nih pake. Cepet naik danangan bengong di situ. Nanti telat." "Iya iya, sabar." Tania menimpali. Sepanjang jalan, tak ada percakapan apapun. Hanya deru motor Aly dan suara kendaraan lain yang saling bersahutan. Jakarta pagi ini memang agak padat, tak seperti biasanya yang selalu macet parah. Aly melajukan motornya dengan kecepatan sedang dan dia mulai membuka suara, memecahkan kecanggungan di antara mereka berdua. "Motor lo kenapa?" Aly membuka suara. "Ngg, itu, anu, apa," Tania gelagapan menjawab pertanyaan Aly. Ia setengah kaget saat Aly tiba-tiba bertanya. Entah, mengapa Tania sering sekali melamun saat dekat Aly? Aly menimpalinya dengan pertanyaan menohok. Ah memang dasarnya ia mungkin tak punya perasaan. "Kalo ditanya itu jawab. Bukan aa uu, lo spesies primata?" "Ih itu mulut kok pedes amat, Mas?" pekik Tania. "Makanya jangan kebanyakan bengong. Atau lo terpesona lihat ketampanan gue?" Jawabnya sok cool dengan pandangannya masih fokus pada jalan raya yang disesaki kendaraan bermotor berbagai jenis. "Idih sumpah ya, demi gue jadian sama Zayn Malik, gak akan ada dalam kamus Tania yang namanya terpesona sama tampangan cowok tengil nan nyebelin kayak lo. Catet tuh baik-baik dalam otak lo, kalo lupa bikin notes sekalian terus lo tempel tuh ke jidat lebar lo!" Emosi Tania memuncak saat menjawabnya. Sampai sekarang Tania masih heran, mengapa teman-teman kampusnya bisa terpesona pada lelaki seperti Aly? Aly menyelak perkataan Tania, "Heh berisik! Itu mulut apa karbit? Nyerocos mulu kagak ngerem." "Anjir, ngatain gue lagi lo. Dasar k*****t!" Tania memukul-mukul punggung Aly dengan sedikit keras. Ia tak bisa lagi menahan kekesalan saat menanggapi omongan Aly. "Argh, sakit. Lo mikir gak sih? Ini gue lagi bawa motor, posisinya di keramaian. Gimana kalo gue oleng, terus gak bisa ngendaliin motor, terus jatoh, nyungkur, terus dari belakang ada kontainer, terus kelindes. Lo mau ha?" Aly yang biasanya sedikit bicara dan terkenal irit kata-kata itu tiba-tiba menjadi banyak bicara saat berada di dekat Tania. Ada rasanya nyaman yang menyelinap di hatinya tanpa lelaki itu sadari. Pasalnya, ia tak terlalu begitu banyak bicara walau dengan orang yang sudah dikenalnya sekalipun. "Ya elah lebay banget sih lo jadi cowok. Lagian, lo kok bawel banget? Tadi aja ngatain gue lo. Sekarang lo malah yang nyerocos mulu. Dasar k*****t! Lo kan cowok, masa dipukul gitu doang sakit. Atau jangan-jangan lo," "Gue apa ha?" Aly memotong pembicaraan Tania. "Sensi amat, Mas. Lagi datang bulan ya?" Tania terkikik menanggapi jawaban Aly yang menurutnya terdengar konyol. Coba ia bisa melihat ekspresinya saat ini, pasti sangat lucu. "Back to topic deh, motor lo kenapa?" Aly kembali meluruskan masalah. "Bannya kempes.” Tania jawab seadanya. Nada bicara Aly kembali datar. Sikapnya sangat susah ditebak. "Oh gitu. Kok gak pake mobil?" "Ah kepo lo, kayak dora! Mobil gue dipake bokap ke luar kota. Lagian gue gak mau nampang bawa mobil orang tua. Kata Mama juga gak baik. Mending nanti aja kalo udah bisa beli sendiri. Gak bagus pamer-pamer." Tania menjelaskan panjang lebar. "Gue nanya doang, kok lo jadi curcol?" tanya Aly usil. "Kan lo nanya k*****t. Ya udah gue jawab lengkap! Daripada nanti lo nanya mulu kan? Ntar lama-lama kayak kuis berhadiah mobil lagi, mending kalo dapet, ini malah zonk kan rugi." Cibir Tania "Omongan lo ke mana-mana. Mulut tuh pasangin rem!" Aly menunjuk bibir Tania yang sudah maju dan menyebabkan pipi gadis itu semakin mengembang dari kaca spionnya. "Tuh kan lo nyebelin banget?" rajuk Tania. Aly tak membalas kata-kata Tania lagi. Tak terasa, hampir setengah perjalanan terlewati dengan perdebatan-perdebatan yang sebenernya tidak berfaedah sama sekali. Tetapi, dengan ini Tania bisa menyimpulkan bahwa seorang Aly itu ternyata bisa jadi orang yang banyak bicara juga selain jadi cowok yang sok cool. Tetapi, di depan orang-orang dia memang bersikap cool, atau dia hanya pencitraan? Agar terlihat berkharisma dan mempesona? Tania tak terlalu peduli pada Aly. Kini motor yang dikendarai Aly sudah sampai di parkiran kampus. Tanpa banyak bicara, Tania langsung turun dari motor Aly dan mengucapkan terimakasih sambil sedikit berlari. Ia tak mau ada yang melihatnya berboncengan bersama Aly, ia bisa ditelan hidup-hidup oleh cabe-cabe kampus yang setengah mati memuja Aly. Benar-benar terancam nyawa Tania bila berdekatan dengan Aly. Sayangnya, gerakan tangan Aly lebih cepat dari gerakan Tania. "Gak sopan lo!" cekal Aly. "Mmm... Maaf gue cuma gak mau aja ada yang liat kita berduaan." Tania tergugup, sampai sekarang Aly masih menggenggam pergelangan tangannya. "Lo ngarep orang mandang kita gimana ha? Jadi cewek gak usah kege-eran!" Ucapan Aly benar-benar menusuk telinga siapapun yang mendengarnya. Walau itu bukan Tania sekalipun. Pagi ini, Aly benar-benar membuat Tania naik darah. Lelaki itu memang tak ada manis-manisnya. Setidaknya kata-katanya bisa sedikit diperhalus. "Biasa aja dong. Lo cowok bukan sih? Itu mulut nyinyir banget! Ya udah iya makasih. Lepasin tangan gue! Gue mau ke kelas. Nanti telat!" Berontak Tania. "Kelas kita sama woy!" Aly setengah berteriak karena Tania langsung berlari meninggalkannya yang masih mematung disamping motornya. "BODO!" Tania balas berteriak dari kejauhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD