03. Friendship

1164 Words
"Sahabat adalah orang yang berani membuatmu marah, membuatmu kesal dan berani berbicara tanpa memikirkan perasaanmu. Tapi percayalah, dalam saat apapun ia pasti selalu ada untukmu." ---- Tania masih setengah berlari menyusuri koridor kampus dengan mata tetap bersiaga. Ia takut akan ada penggemar Aly yang melihatnya berangkat bersama dengan Aly. Ia mungkin akan diserang mereka atau lebih tepatnya menjadi korban bullying fans-fans Aly yang tidak jelas dan tak berfaedah sama sekali itu. Tania merasa ngeri, karena tingkah para cabe alay dikampusnya itu memang cukup mengerikan. Tindakan nekad mereka sudah menyebar seantero kampus. Biarpun kenyataannya, ia tak merasa punya masalah dengan mereka, tapi bagaimanapun, mereka berlaku sesuai apa yang mereka lihat, bukan yang mereka tahu dengan jelas sebabnya. Kadang ia juga heran, tujuan mereka dikuliahkan untuk apa1? Numpang tenar atau berlaku seenaknya pada orang lain? Diberikan pendidikan tinggi tapi kelakuannya sangat tidak berpendidikan. Jadi, Tania bersikap waspada. Sebab, ia tak mau mencari masalah juga. Hal-hal sepele seperti masalah cowok populer di kampus menjadi masalah utama mereka. Termasuk Aly. Biarpun dia mahasiswa baru, tapi kepopulerannya sudah tersebar diseluruh kampus. Ditambah dia juga cukup berprestasi. Mungkin, itu yang diperhitungkan pihak kampus. Tetapi, tidak dengan cabe alay yang melihat lelaki seperti kucing melihat ikan asin. Seperti kelaparan, tidak tau diri, tidak tau malu. **** "Taniaaa..." Suara toak siapa lagi kalau bukan suara Vanya yang menyambut Tania di depan pintu kelas sambil nyengir lebar, daun pintu pun kalah lebar. "Oit, Va. Gak usah teriak juga, kuping gue gak budeg kok. Lagian, ini gue di depan lo banget kali. Lama-lama gue budeg beneran nih." Tania mendelik kesal. Sahabat Tania itu hanya nyengir kuda sambil garuk-garuk tengkuk."Hehe sorry, Tan." Vanya mengernyit heran melihat Tania yang masih terengah-engah dan sedikit berkeringat. "Tania, lo dikejar setan? Kok ngos-ngosan gitu? Emang, jarak dari parkiran ke kelas nyampe ratusan kilometer?" tanya Vanya penuh selidik. "Gak juga, Va. Gue buru-buru takut keburu dosen masuk. Kan gak lucu baru masuk kuliah udah telat," kilah Tania. Semoga Vanya tak curiga karena ia berusaha berbohong sesantai mungkin. "Tapi kok muka lo kayak panik, Tan?" Vanya terus menyelidik. Kepo gadis itu memang sudah mendarah daging. "Kan gue udah bilang, Va. Gue takut telat. Kepo amat lo. Amat juga gak kepo gitu kali." Tania masuk meninggalkan Vanya yang masih berdiri didepan pintu. Tania tahu, Vanya masih belum puas dengan semua penjelasannya. Hingga tak lama kemudian, Aly muncul dengan wajah yang cukup tenang. Itu berarti ia tak mengejar Tania. Setidaknya, Tania merasa lega akan hal itu. Vanya sebagai gadis yang paling kepo sedunia ini kembali melancarkan aksi keponya pada Aly yang baru saja sampai ke kelas. "Hai, Aly kok sendirian aja?" tanyanya genit. "Gue gak sendirian kok tadi, cuma gue ditinggal sama orang yang gak tau terimakasih. Udah gue tolongin tapi malah ninggalin gitu aja," jawabnya dengan nada dingin. "Wah siapa tuh, Ly? Kok kurang ajar banget. Sini bilang sama gue siapa!" Vanya sok tahu. Aly tak menjawab pertanyaan Vanya, dan sebelum gadis kepo itu bertanya yang macam-macam lagi pada Aly, Tania langsung menarik lengan Vanya untuk cepat-cepat duduk. Ia malas berdebat dengan Vanya, ia juga takut gossipnya berangkat bersama Aly menyebar dan sampai ke telinga para cabe kampus. Ia tak ingin ada masalah dengan mereka. "Va, udah jangan kepo deh! Lo kepo ke gue yang udah biasa aja gue pusing, apalagi sama orang lain yang belum tau siapa lo. Kurang-kurangin deh, Va." "Iya iya, tapi tadi kan Aly. Kapan lagi coba gue bisa ngobrol sama dia? Eh lo malah narik-narik gue. Jangan-jangan lo cemburu ya? Hayo ngaku lo. Lagian, siapa sih yang gak naksir sama Aly?" cerocos Vanya. "Hust. Jauh-jauhin pikiran lo tentang itu ke gue, Va. Amit-amit deh gue naksir sama dia. Kan gue udah pernah bilang sama lo, Va. Gak mungkin!" Tania menggibas-gibaskan tangannya ke udara. Tania langsung membenarkan tempat duduk. Karena, beruntungnya dosen masuk saat perdebatan sengit antara ia dan Vanya berlangsung. Jadi, masalah mereka tak berkepanjangan. "Eh, Tan. Kira-kira yang di maksud Aly siapa ya?" Vanya setengah berbisik sambil agak memiringkan badannya ke arah belakang. Rupanya, Vanya belum juga puas menanyakan perihal Aly pada Tania. "Ya gak tau lah." Tania menjawab seenteng mungkin. "Lho, iya gue lupa, katanya kan lo tetanggaan, masa gak tau juga?" cecar Vanya. Tania memutar bola matanya malas. Sahabatnya ini memang kadang menjengkelkan. Ia menjawab sekenanya. "Gue gak suka ngurusin hidup orang, Va. Ngurusin badan aja susah." "Yah lo malah curcol, Tan," balas Vanya. "Udah diem, Va. Simak tuh dosen!" geram Tania. Vanya mencebikkan bibirnya. "Iya anjir bawel lo, Tan." Suara obrolan mereka yang dibuat sepelan mungkin itu pun akhirnya terdengar juga sampai ke telinga dosen yang tengah mengajar pagi itu. "Itu yang di pojok ada apa?" tanya bu Wiwin, dosen yang terkenal paling sabar di kampus. "Eng... Enggak, Bu. Ini Vanya pinjam pulpen saya," kilah Tania. Tania boleh bernapas lega karena yang memergokinya mengobrol adalah dosen yang baik. Bayangkan, jika yang saat itu mengajar adalah dosen killer. Bisa dipastikan ia akan mencatat sejarah sebagai mahasiswi baru yang dikeluarkan dari kelas. **** Siang ini, udara Jakarta benar-benar tak bersahabat. Tania dan Vanya memilih menghabiskan waktu di kantin dengan segelas minuman segar untuk sedikit membantu menghilangkan gerahnya. "Eh Tan, by the way nanti pulang gue ke rumah lo ya." Vanya membuka suara sambil menyeruput es cappucinonya. "Lagian, gue bete di rumah. Gak ada temen juga. Mama Papa lo juga belum balik kan? Sekalian ngadem lah di rumah lo," sambungnya. Tania merasa ada gelagat yang mencurigakan ketika Vanya bilang 'ingin ngadem' dirumahnya. Lagaknya yang di maksud Vanya adalah Aly. "Kok rasanya gue nemuin kejanggalan ya, Va. Lo mau modus kan? Hayo ngaku." Tania menyelidik. "Tania emang paling ngertiin, paling cantik. Ya boleh ya!" Vanya menunjukkan puppy eyesnya. Tetapi, setelah Tania pikir-pikir, ada untungnya juga kalau Vanya pulang ke rumahnya. Sekalian menumpang pulang di mobilnya. Jakarta juga sedang panas-panasnya, ia tak kuat kalau harus naik ojek, apalagi menumpang dengan Aly lagi, ia enggan. "Woy! Gimana?" Vanya membuyarkan lamunan Tania. "Iya deh iya boleh," gumam Tania. Vanya menghambur memeluk Tania. Ia tak menyangka, begitu senangnya Vanya walau hanya akan pergi ke rumahnya. Dasar jomblo kurbel. "Ya lumayan lah, Va. Jakarta mataharinya lagi banyak. Kan lumayan bisa nebeng mobil lo," celetuk Tania. "Oh iya, motor lo kemana emang? Terus tadi lo berangkat sama siapa?" Tepat sekali. Sesi wawancara Vanya terhadap Tania berlanjut. Entah, ini episode ke berapa. "Itu motor gue bannnya kempes. Terus tadi gue berangkat kesini sama," Tania menggantungkan kalimatnya, hampir saja ia keceplosan, akan panjang urusannya nanti. "Itu sama taksi lah. Naik taksi maksudnya. Sama siapa lagi? Kan bokap belum balik juga," lanjut Tania. Akhirnya ia menemukan jawaban yang lumayan logis. "Oh gitu. Lo sih jawabnya pake gagap segala. Kayak dianter gebetan terus gak mau ketahuan aja." Tania agak terkejut dengan apa yang Vanya katakan. Tapi ia berusaha menjawabnya setenang mungkin. "Apaan sih?" kilahnya. "Ya udah kuy cabut. Jangan kelamaan!" Vanya terlalu bersemangat. Tania bersyukur, keponya Vanya tak berkepanjangan. Jadi, ia tak susah payah memikirkan akan menjawab apa lagi nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD