05. When I meet you (again)

1269 Words
“Tak peduli sejauh dan selama apapun kau pergi, perasaanku akan tetap sama. Aku mencintaimu!” ---- Tania masih menetralisir rasa gugupnya saat Sheila menghampirinya. "Tania di sini toh? Tante kira kamu kemana." "Eh iya nih, Tante. Cari angin." Tania masih diliputi kecanggungan. "Nak Alfa kenal Tania?" Ardan bertanya pada lelaki itu. Setelah lelaki yang dipanggil Alfa itu menjelaskan jika ia dan Tania adalah teman satu SMA, orang tua Aly itu meresponnya dengan anggukkan kepala. "Oh jadi Tania ini kesini sama keluarga Om Ardan? Itu berarti dia," Seakan mengerti pada pertanyaan lelaki itu, Ardan dan Sheila mengangguk. Pupus sudah, pikirnya. Mimik mukanya tiba-tiba berubah. Lelaki itu berubah dari antusias menjadi sangat datar. "Lo di sini udangan juga, Dav?’ Tanya Tania pada lelaki itu. “Ini perusahaan bokap gue, Tan. Lo lupa kalo nama gue Davin Alfa Dirgantara?” tanyanya. “Gue gak ngeh.” Tania tersenyum malu. "Lo pikun kali, Tan. Udah tua," gurau lelaki bernama Davin itu. Tania meninju pelan lengan Davin meski masih terasa canggung di hatinya. "Enak aja lo!" Davin terkikik melihat tingkah Tania. "Cie jadi reuni nih. Ya udah, Tante sama Om ke depan dulu ya." Sheila dan Ardan berlalu meninggalkan dua orang yang masih dalam kecanggungan. "Iya, Tante, Om." Tania dan Davin menjawab kompak. Keduanya akhirnya berbincang, mengenang masa lalu mereka. Walaupun, rasa canggung menyelimuti keduanya karena setelah beberapa tahun tidak bertemu. Dan perasaan Tania yang ternyata belum berubah sejak pertama ia merasakannya. Sepanjang percakapan, Davin terus saja menunjukkan senyum manisnya. Dan harus Tania akui, senyum itu ternyata masih memikatnya sampai sekarang. Tania terdiam sejenak. Memandang wajah dan senyum yang ia rindukan selama ini. Davin melambaikan tangannya ke depan wajah Tania. "Kok bengong, Tan?" "Eng… Enggak kok." Tania tergugup. "Oh iya, bukannya lo pindah ke Australia? Kok sekarang kelayapan di sini?" Tania mengalihkan pembicaraan. Davin menjelaskan bahwa ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Indonesia. "Iya intinya gue mau balik. Gak betah di sana. Lebih baik di sini, rumah kita sendiri." Davin berbicara dengan hampir bernada. Tania benar-benar rindu pada lelaki itu, senyum manisnya, cara bicaranya, selera humornya yang garing tapi selalu berhasil membuatnya tertawa. "Tapi masa lo gak betah, Dav? Bukannya di luar negeri lebih enak?" "Gak enak. Enakan di sini. Di sana gak ada lo sih." "Receh, Baaang!" Tania memukul bahu Davin pelan. "Gak usah sok imut, Tan. Pipi lo makin kayak bakpau." Davin menggoda lagi dengan sedikit mencubit pipi Tania. Sederhana, bahkan tidak berfaedah. Tapi bersama Davin, semuanya terasa indah. Tania menikmati waktu-waktu bersama lelaki itu, ia berharap waktu akan berjalan lambat. Keduanya semakin seru membahas perjalanan masing-masing dan memecah kecanggungan yang sedari tadi menyelimuti mereka berdua. Ekhm... Dehaman seseorang akhinya menghentikan percakapan mereka yang semakin lama semakin seru. Aly. Ya, lelaki itu ternyata yang menggangu acara nostalgia mereka. Kemudian, Aly menyapa Davin dengan gaya khas lelaki. "Hey, Bro! Apa kabar?" Davin Membalas, "Baik, Man! Lo?" "Seperti yang lo liat," jawabnya singkat. "Oh iya, Bro. Udah nostalgianya?” tanya Aly. “Gue mau ajak dia balik nih," sambungnya. Davin terdiam sejenak. "Mmm... Oh iya. Sorry, tadi gue pinjem cewek lo bentar. s****n ya gue keduluan." Kemudian, Davin tertawa. Namun, Aly tak begitu menggubris kata-kata Davin. Aly langsung menarik lengan Tania. "Udah pacarannya? Mama sama Papa udah nunggu tuh!" Nada bicaranya datar, Tania tak bisa mengartikan ekspresi wajahnya. "Siapa juga yang pacaran? Dih!" Tania menatapnya kesal. "Davin itu teman lama gue. Jadi wajar kan kalo gue sekedar bernostalgia?" "Gak nanya!" *** Pagi itu Tania berjalan tergesa-gesa di koridor kampus. Dengan wajah yang sumringah dan senyum yang masih tercetak di bibir sejak semalam. Hari yang baru dengan semangat baru dan harapan-harapan yang akan kembali. Ia teramat bahagia dan tak sabar menceritakan apa yang ia rasakan pada sahabatnya, Vanya. Ia tak sabar melihat reaksi sahabatnya saat mendengar ceritanya. Tania menepuk pundak Vanya yang tengah menguap."Masih pagi udah nguap kayak kudanil, Va. Semalem gak puas tidur ha?" "Hue hasih hantuk huaaan..." Vanya menjawab sambil menguap lebar. Alhasil, kata-katanya tak begitu jelas terdengar. Tania terkikik geli melihat tingkah Vanya yang benar-benar kocak. Seharusnya, pagi-pagi itu semangat, mengawali hari dengan tubuh yang bugar dan siap menjalani hari, tapi Vanya masih saja mengantuk. "Sadar, Va! ngantuk mulu kerjaan lo!" Tania mencoba menularkan semangatnya kepada Vanya. "Ya udah gue ke toilet dulu bentar ya." Vanya bangkit dari duduknya. **** Vanya membalikan bangkunya menghadap ke arah Tania. Tentu semua tahu, jika mereka berdua akan memulai suatu ritual, yaitu bergosip. "Oh iya semalem gimana, Tan? Yang lo chat itu." Vanya menggeser-geser posisi duduknya, mencari titik nyamannya. "Jadi semalem itu gue," Kata-katanya terhenti saat melihat seseorang yang baru saja masuk. Aly, dia mengalihkan fokusnya, seperti tak ingin melewatkan pandangan ke arahnya, tapi Tania tersadar kembali, dan melanjutkan pembicaraannya. "Tebak ketemu siapa?" "Ah, Tania gak usah bikin gue kepo dong. Yang gue tau semalem kan lo pergi ke acara anniversary apa gitu." Vanya menerka. "Nah terus lo tau gak itu acaranya siapa?" Senyum Tania merekah. "Idih malah senyum-senyum. Cepet cerita elah. Ketemu siapa sih? Aing penasaran nih." Vanya memakai kata 'aing' yang dalam bahasa indonesia berarti 'saya'. Tetapi, kata itu cukup kasar bila diucapkan. Hanya dipakai dalam pergaulan saja. "Gak sabaran! Gue maunya lo nebak." Seringai jahil tercetak di wajah Tania. Vanya memutar bola matanya menanggapi pernyataan Tania. "Alah sok misterius lo!" Anak-anak kelas mendadak ribut menanyakan kebenaran berita bahwa dosen yang mengajar kelasnya pagi ini tidak masuk. Tentunya, memastikan bahwa dosen tak hadir itu bukan sekedar isu belaka. Pasalnya, meskipun baru menyandang status mahasiswa, namun kebebasan masih tetap diharapkan. Tak berbeda jauh saat masih duduk dibangku sekolah menengah, jamkos adalah hal terindah bahkan bila dibandingkan dengan cinta pertama. "Cabut kuy, Tan. Mayan kan biar gue gak ngantuk. Untung hari ini dosen berbaik hati gak masuk hari ini. Kan gue gak perlu berngantuk-ngantuk di kelas." Vanya merapikan tasnya. "Itu mah emang dasar lo males aja. Tapi boleh juga, lagian gue juga gak mood belajar. Lagi pengin ngerumpi aja. Banyak yang mau gue ceritain juga." Tania akhirnya mengiyakan ajakan Vanya dan ia hanya geleng-geleng kepala menyaksikan ketidak konsistenan Tania. Mereka mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol berlama-lama. *** "Jadi, tadi gimana lanjutannya? Lo ketemu siapa?" Vanya mengaduk-aduk es cappucinonya. Tania menghela napasnya. Menahannya sebentar sebelum akhirnya mengembuskan napasnya dan mengucapkan kalimat yang membuat Vanya terkejut. "Oke, jadi gue ketemu Davin!" Vanya terbatuk karena tersedak minumannya sendiri. "Whaaat?" Tania hanya membalasnya dengan anggukan, dan kembali asyik dengan es krim vanilla dihadapannya yang tinggal tersisa setengahnya. "Ceritain, Tan. Cepet gak pake ngeles." Vanya menarik tangan Tania hingga es krim yang disendok meleset masuk mulut dan mengotori pipi Tania. "Sabar, Va." Tania membersihkan es krim yang mengotori pipinya menggunakan tisu. "Jadi, acara anniversary yang dihadiri bokapnya Aly itu, anniversary perusahaan bokapnya Davin." Tania bercerita tentang pertemuannya dengan Davin dan Vanya menyimaknya dengan antusias sambil sesekali menyeruput minuman dinginnya. "Cie Tania gagal move on," goda Vanya di sela-sela pembicaraan mereka. Tania membungkam mulut Vanya. "Dih move on apaan? Siapa juga yang pernah jadian?" Tania akhirnya salah tingkah sendiri karena Vanya terus saja menggodanya. Bagaimana tidak, Vanya adalah orang yang tahu banyak mengenai Tania dan Davin. Tania tidak bisa bohong lagi, perasaan yang berhasil ia kubur dalam-dalam dulu, kini mencuat kembali ke permukaan. Dan ia tak tahu lagi bagaimana cara menghapusnya lagi. Semua terlanjur datang tanpa bisa ia kendalikan. Bahayanya, ia bahkan tidak tahu akan bertemu lagi kapan dengan lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu. Ada rasa sesal ketika sebelumnya ia tak menanyakan akan kuliah di mana lelaki itu. Atau sekedar menanyakan kontaknya yang aktif. Karena sudah kadung. Percuma saja ia diam atau berusaha membohongi diri, karena pada dasarnya, perasaannya itu memang tidak pernah berubah, meski dulu sempat ia coba abaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD