"Jangan pernah berharap kebahagiaan di dunia. Karena segala hal yang ada di dunia tidaklah kekal"
- Emily Fardevan -
Reihan POV
"Aku tak sabar anda menjadi seorang ayah untuk anak kita Tuan Reihan. "
"Apakah kau merasakan hal yang sama Tuan Reihan?"
Dia, terus saja mengoceh di depanku. Ya! Dia Sintiya El Malik. Sedangkan aku terus menatapnya dengan tajam. Tanganku mengepal. Menahan segala amarah yang ingin meledak di dalam benakku.
Ia bahkan berani duduk di depanku dan mengusap wajahku tanpa merasa takut sedikitpun.
"Bersiaplah Tuan Reihan menjadi seorang ayah untuk anak kita." tuturnya dengan senyum yang terbit di bibirnya. Seolah ia tak merasa bersalah sediktpun atas tindakan yang dilakukannya.
Aku, aku sudah tak tahan dengan semuanya. Ku cekal tangannya dan menekannya dengan kuat. Ku jatuhkan tubuhnya dan membalik posisi kami berdua. Ia berada di bawah sedangkan aku berada di atas.
"Camkan baik-baik! Hal itu tak akan pernah terjadi!" ucapku tajam
"Oh iya kah?" tanyanya seraya menaikkan alisnya sebelah. Seolah menantang diriku.
"Iya itu sudah pasti!" balasku cepat
"Tapi liatlah tanda yang telah anda buat di sekujur tubuhku." ujarnya dengan memperlihatkan tanda merah.
"Lalu apa hubungannya!? Tak ada hubungannya denganku!" balasku mengelak perkataannya. Bagiku, itu tak akan berarti untukku. Hal itu juga tak akan bisa menjadi bukti yang kuat. Jadi aku tak peduli tentang dirinya dan tanda yang ada di sekujur tubuhnya.
"Ada arti semuanya. Anda sangat menikmati malam kemaren bersamaku. Hingga rahimku masih terasa hangat hingga sekarang." Balasnya berbisik kepadaku dengan senyuman yang masih terlukis di sudut bibirnya. Seolah ia merasa bahagia dan bangga mengatakan hal itu. Tanpa ada sedikitpun rasa malu.
Ku naikkan alisku dan bertanya, "Lalu?''
''Lalu aku yakin jika secepatnya memiliki anak darimu dan..'' Ujarnya dengan sepenggal kata yang masih belum selesai. Seolah sengaja berhenti dan diam. Agar memancing responku. Ya, dia memang sengaja memancingku.
"Dan apa?'' tanyaku. Melihat ke matanya dengan sorot mata yang masih tajam
"Dan pernikahan yang kau idamkan bersama dengan Kirani yang kau cintai akan hancur.'' Jawabnya dengan senyum jahatnya.
Ku tarik lehernya dan mencengkramnya dengan kasar. Tak peduli ia merasakan sakit. Ia merintih kesakitan. Memintaku untuk melepaskan cengkraman tangannya dari lehernya. Bukannya melepaskan, aku justru semakin menekannya. Tak peduli jika ia kehilangan nafas ataupun mati. Dia telah memancing emosiku dengan sengaja. Jadi aku melawan, Melawan semua musuh maupun orang yang memancing emosiku dan mengusikku. Aku benar-benar tak suka jika diusik. Jika aku merasa terusik maka aku akan bertindak dan memusnahkan siapapun orang yang mengusikku. Itulah prinsip yang selalu ku terapkan dalam kehidupanku.
''Akhh sa..kitt.. Le..pashh.'' Rintihnya kesakitan. Deru nafas yang tersenggal-senggal dapat ku dengar. Dan aku semakin merasa puas melihatnya.
''Ini sakit? Ini bukan apa-apa. Akan ku tambah? Biar kau merasakan gimana rasanya diusik!'' Ucapku berbisik seraya tersenyum sinis.
Aku terus menekan cengkraman tanganku di lehernya. Menambah tekanan setiap detiknya. Ku liat wajahnya memerah. Aku semakin puas melihatnya. Saat aku tengah menyakiti Sintiya, ku dengar suara pintu kamar yang didobrak oleh seseorang. Ku dengar suara seseorang.
''APA YANG KAU LAKUKAN PADA ADIKKU b******k!'' Ucap seseorang
Mendengar suara seseorang, reflek ku lepaskan cengkraman tanganku dari lehernya. Melihat sosok di balik suara tersebut. Ku menoleh ke belakang dan melihat sosok Rafael, rekan bisnisku yang telah berdiri di belakangku. Matanya melotot memandangiku. Aku bergegas turun dari ranjang. Memakai kemejaku dan celana pendek dengan cepat. Aku bukan merasa takut tapi aku hanya takut dia salah paham.
"Kakk hiks..'' rintih Sintiya menangis di hadapan kami bertiga. Dia masih berada di ranjang.
Rafael bergegas ke arah ranjang dan mendekati Sintiya. Memberikan pelukan pada Sintiya. Beberapa saat kemudian, Rafael melepaskan jaket miliknya dan memakaikan kepada Sintiya. Ku lihat Rafael yang membantu Sintiya mengenakan jaket. Pandangan Rafael terhenti saat melihat tanda ruam merah di sekujur tubuh adiknya. Amarahnya mendidih seketika. Raut wajah Rafael pun berubah. Alisnya berkerut dan kelopak mata melotot ke arahku.
''KAU! APA YANG KAU LAKUKAN PADA ADIKKU!'' tanya Rafael kepadaku dengan nada tinggi, sorot mata tajam dan kedua alis mengerut
''Aku? Aku tak melakukan apa-apa Tuan Rafael.'' Jawabku menutupi perbuatan yang ku lakukan. Aku terpaksa berbohong karena pada dasarnya yang berbuat salah pertama kali adalah Sintiya dan bukan aku.
Tangan Rafael menyeret dan menarik kerah kemejaku secara tiba-tiba. Aku merasa terkejut saat mendapati perlakuan Rafael kepadaku.
''Jika kau tak melakukan apa-apa pada Adikku lalu kenapa dia tak memakai baju! Lalu bagaimana tanda merah itu ada di sekujur tubuhnya!'' Tanya Rafael kepadaku dengan nada keras di depan wajahku.
''Ya, anda tanya saja pada adik anda. Saya tak bersalah, justru adik anda lah yang menyeret saya ke kamar ini.'' Balasku dengan santai. Aku malas jika harus menjelaskan jadi ku minta Rafael bertanya kepada Sintiya, adik yang dia sayangi. Aku hanya ingin Rafael mendengar hal itu dari bibir adiknya sendiri. Itu lebih baik daripada menguras tenagaku.
''KAU!''
''Kenapa anda bertanya pada saya? Silahkan tanya kepada adik anda sendiri.'' balasku santai dan enteng tanpa gentar. Karena aku tau jika aku tak salah. Cukup bersikap santai saja.
Rafael pun melepaskan kerah bajuku dan berjalan ke ranjang Sintiya.
''Apa yang terjadi padamu El?'' Rafael mulai bertanya kepada Sintiya
Sintiya menatap mataku lalu beralih menatap ke arah Rafael kemudian menundukkan kepalanya, ''Dia menarikku ke kamar ini dan menuntaskan hasratnya padaku kak.'' Ujarnya berbohong di hadapan Rafael
''TIDAK! ITU TIDAK BENAR!'' Elakku secara lantang setelah ia mengatakan kebohongan pada Rafael. Bagaimana mungkin dia mengatakan hal yang bohong. Cih! Aku baru sadar jika dia sangat licik dan mencoba membuat permainan denganku.
Rafael berbalik dan melihatku dengan tatapan mata yang menyala. Aku hanya bisa meneguk ludahku saat dia mulai berjalan ke arahku. Tepat di hadapanku, Ia mulai menarik kerah bajuku ke atas.
''Tuan Rafael ini tidak seperti yang dikatakan oleh adik anda! Sintiya berbohong! Percayalah padaku!'' Ucapku membela diri. Aku tak mau kalah dengan kebohongan yang dibuat oleh Sintiya. Aku berusaha untuk membela diri sebisa mungkin, Selagi hal itu benar.
''Kak hiks..'' Sintiya mulai berdrama dengan menangis di depan Rafael
Tangan Rafael beralih dari kerah bajuku menjadi ke leherku. Dia mencekik leherku dengan kuat. Tak hanya mencekik akan tetapi juga mencengkram. Membuatku tak bisa bernafas.
''Mata kau buta ya! Liat semua tanda merah di tubuh adekku. Apa itu kebohongan!'' Teriak Rafael
''Sekarang coba jawab aku apakah itu bohong atau tidak!'' Lanjut Rafael membentakku
''JAWAB! KENAPA DIAM SAJA HAH!''
Tentu aku tak bisa menjawab! Orang kau mencekikku! Batinku menggerutu. Mataku melihatnya sedangkan tanganku mencoba untuk melepaskan tangan Rafael dari leherku.
Perseteruan kami masih berlanjut dengan Rafael yang masih mengcengkram erat leherku dan aku yang menahan sakit. Hingga suatu detik..
Brak!
Ada suara yang mengguncang ruang pintu kamar. Membuat kami semua menoleh ke belakang. Melihat sosok di balik suara tersebut.
''Bos! Gawat!''
Seorang laki-laki bertubuh kekar nan tinggi. Seorang laki-laki itu tak lain adalah Joshua, tangan kanan Rafael. Dia berjalan ke arah kami berdua.
''Bos hentikan! Kita harus menolong Kirani!" Teriak Joshua
Setelah Joshua berteriak menyebut nama Kirani, Rafael melepaskan tangannya dari leherku.
"Apa yang terjadi pada Kirani!" ucap kami berdua bersamaan.
"Kirani berada di tangan dan disekapKevin!" tutur Joshua mengungkapkannya
"Apa!?"
Hal apa yang sebenarnya terjadi pada Kirani?
Apakah Kirani dapat diselamatkan oleh Rafael dan Reihan?
Nantikan Di chapter berikutnya!