Bertemu Kembali

1051 Words
Ara berdiri di tengah kamar, matanya memindai setiap sudut ruangan dengan tatapan yang penuh kegelisahan. "Huaa, kemana ya kok enggak ketemu sih," gumamnya sambil mengusap squisy nya yang basah oleh asinya yang terus menerus rembes. Ia merasa tidak nyaman dan kesakitan, sesuatu yang tidak seharusnya terjadi mengingat kondisinya yang bukan seorang ibu menyusui. Tangannya bergerak cepat membuka setiap laci dan mengobrak-abrik isi lemari, mencari pompa asi yang seolah-olah menghilang ditelan bumi. "Ini gila, sakit banget," keluhnya sambil meremas kain kaosnya yang sudah basah kuyup. Asinya terus keluar dengan deras, membasahi apa saja yang bersentuhan dengan tubuhnya. Ara melangkah gontai menuju kamar mandi, mencoba meredakan rasa nyeri yang semakin menjadi. Cermin di kamar mandi itu memantulkan sosok wanita muda yang terlihat pucat dan kelelahan. "Gue harus ke rumah sakit, ini nggak normal," ucapnya pada bayangan sendiri dengan nada yang serak. Pikirannya melayang ke percakapan terakhir dengan dokternya yang mengatakan bahwa keadaannya hanyalah efek samping dari kelebihan hormon dan seharusnya tidak berbahaya. Namun, realita yang dihadapi Ara jauh dari kata tidak berbahaya. Rasa nyeri yang menusuk membuatnya tak bisa berpikir jernih, dan asinya yang terus menerus keluar membuatnya merasa seolah-olah tubuhnya tidak lagi berada di bawah kendalinya sendiri. Setelah mengumpulkan segenap kekuatannya, Ara meraih ponselnya dan menekan nomor gawat darurat. Setiap detik terasa seperti jam bagi Ara saat ia menunggu bantuan datang. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas, dan rasa sakit yang semakin mengintensif memaksa air mata mengalir di pipinya. Saat suara sirene ambulans terdengar dari kejauhan, Ara merasa secercah harapan. Ia berjalan dengan langkah goyah menuju pintu depan, menahan rasa sakit yang kian menggila. Dengan terbata-bata, ia membuka pintu dan disambut oleh para medis yang segera menanganinya. "Hikss hikss sakit, ini kenapa ya. Apa jangan jangan aku sakit parah lagi hikss hiks. Papa Mama maafin Ara ya, kalau Ara meninggoy kalian harus hidup bahagia." ucap Ara sambil mengusap air matanya. Di dalam ambulans, Ara terkulai lemah dengan infus yang terpasang di lengannya. Rasa sakit masih ada, namun ada rasa lega karena tahu bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju pertolongan. Matanya yang sembab menatap langit-langit ambulans, berharap semua ini segera berakhir dan ia bisa kembali ke kehidupan normalnya tanpa harus terus menerus berjuang melawan rasa sakit dan ketidaknyamanan yang luar biasa. "Nona tolong jangan banyak gerak ya, kita akan segera sampai." ucap suster perempuan yang ada di samping Ara. "Hiks hiks tapi ini sakit loh. Ayo tukeran, aku pake punya kamu aja, kamu pake punya aku. Walaupun masih gede punyaku tapi gak papa. Daripada tiap hari harus ngerasain nyeri kaya gini." celetuk Ara sambil menangis sesenggukan. Sang suster yang bingung pun hanya bisa diam, sungguh ia tak bisa berkata kata lagi. "Kenapa diam sus? suster insecure karna punya suster kecil, gak papa kok. Yang penting enggak sakit sakitan kaya Ara." ucap Ara sekali lagi. Sang suster pun langsung kesal karna ia merasa iri kenapa punya dia sangat kecil tak sebesar punya pasien di depannya ini. "Kita sudah akan sampai, jangan banyak bicara." ucap suster ini. "Ayo cepetan ini makin sakit, parahnya sampai sesak nafas aku sus." ujar Ara sambil mencoba menghirup udara banyak banyak. Sesampainya di rumah sakit, Ara yang kesakitan langsung diturunkan dari ambulans dengan tergesa-gesa. Para medis bergegas membawanya ke dalam ruangan pemeriksaan, roda kursi dorongnya berdecit kecil seraya melintasi koridor yang dipenuhi lantai mengkilap. Wajah Ara pucat pasi, kedua tangannya memegang d**a, matanya berkaca-kaca mencerminkan rasa sakit yang dia rasakan. "Dokter, d**a saya rembes, sakit banget," keluh Ara dengan suara tercekat, napasnya terengah-engah. "Tenang, Nona. Coba tenang dan tarik napas dalam-dalam," ujar dokter yang memeriksanya, berusaha menenangkan. Ara mengangguk, meski tetesan air mata masih terus berjatuhan dari matanya yang sembab. Tidak lama kemudian, seorang pria muda yang juga kesakitan datang dibawa masuk ke ruangan gawat darurat tepat di sebelah tempat Ara diperiksa. Itu adalah Xavier, yang ternyata alerginya tadi tak bisa di anggap remeh. Tentu saja Xavier langsung pergi ke rumah sakit. Untuk meminta pertanggung jawaban dari dokter karna memberikan asi pada Mama nya untuk dirinya yang tidak premium. "Sakit sialan sshhh!" kata Xavier dengan suara parau, mencoba untuk tetap tenang namun jelas terlihat kesakitan. Dokter yang menangani Ara segera memanggil rekan sesama dokternya untuk membantu Xavier, sementara dia kembali fokus pada Ara. "Gak mungkin kalau ini cuma kelebihan hormon aja dok. Tapi kenapa asi nya makin deras keluar? Padahal saya enggak hamil, enggak punya baby juga," ujar Ara, bingung dan takut dengan kondisi yang dialaminya. Dokter mendengarkan dengan seksama, kemudian memeriksa lebih detail. "Kita akan lakukan beberapa tes untuk memastikan apa penyebabnya, Nona Ara. Sementara itu, coba tenang dan jangan terlalu banyak bergerak," instruksi dokter tersebut, mencoba memberikan kepastian meski dalam hati juga masih penuh tanda tanya. Di ruangan sebelah, Xavier berjuang dengan alerginya. Dokter memberinya beberapa suntikan untuk meredakan reaksi alergi yang dialaminya. Napasnya perlahan mulai mereda, meski d**a masih terasa sesak. Ara, yang mendengar keributan dari ruangan sebelah, menjadi semakin cemas. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya melayang-layang antara kekhawatiran akan kondisinya sendiri dan rasa ingin tahu apa yang terjadi di brangkar sebelahnya ini. Dokter kembali ke ruangan Ara dengan beberapa lembar hasil tes. "Nona Ara, hasil tes menunjukkan ada ketidakseimbangan hormon yang cukup signifikan. Ini yang menyebabkan produksi asi meningkat. Kami akan berikan beberapa obat untuk menstabilkan kondisi hormon anda," jelas dokter tersebut dengan nada yang menenangkan. Ara mengangguk, merasa lega ada penjelasan tentang apa yang terjadi padanya, namun masih ada rasa khawatir yang menggelayuti hatinya. Sementara itu, di ruangan sebelah, Xavier mulai bisa bernapas dengan lebih lega. Dia duduk sambil menopang kepala yang masih terasa berputar. Dokter yang menangani Xavier kemudian berjalan menghampiri Ara dan dokternya, memberikan informasi bahwa pasien sebelahnya mulai membaik. Ara merasa sedikit lega mendengarnya, namun tetap merasa sedih dengan situasi yang tengah dihadapi mereka berdua di rumah sakit ini. Dalam keadaan yang tidak menentu, kedua dokter tersebut saling memberikan dukungan meski hanya melalui tatapan mata yang penuh empati. Di tengah kebingungan dan rasa sakit, ada kehangatan yang terjalin di antara mereka, sebuah ikatan yang muncul dari rasa saling mengerti akan penderitaan para pasiennya. Deg! Jantung Xavier rasanya akan kelaur dari tempatnya, saat melihat pasien di sebelahnya adalah Ara, perempuan yang menjadi incarannya. Namun kini ia salfok pada kedua squishy kembar Ara yang sangat basah itu. Kedua dokter itu langsung keluar dari gawat darurat tersebut. "Baby kamu punya asi, hmm? kasih aku nen, bisa engga?" bisik Xavier dengan suara seraknya. Jakun Xavier langsung naik turun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD