"Nila, apa yang kamu lakukan?" tanya Anggara. Wajahnya kini terlihat aneh ketika bertanya pada gadis yang menatapnya penuh rasa takut.
"Kenapa berisik sekali?" keluh Devan yang terbangun karena suara- suara di sekitarnya. Awalnya ia tidak curiga sama sekali dengan apa yang terjadi sampai ia melihat Nila yang memeluknya erat.
"Nila? kenapa kamu di sini?" tanya Devan yang masih serak.
Kemudian ia menyadari jika ada sosok lain di kamarnya. Yang ternyata adalah Anggara.
"Kau juga? kenapa kalian ada di sini? Ini masih sangat pagi," gerutu Devan. Beberapa kali pria ini menguap, hingga beberapa detik kemudian ia sadar dan teringat akan kondisi Nila yang shok.
"Nila, kamu mau tidur di sini?" tanya Devan.
Nila mengangguk tapi sesaat kemudian dia menatap tajam pada Anggara yang berada di dekat ranjang. Gadis itu benar -benar memberikan tatapan bermusuhan sekaligus takut pada Devan.
"Baiklah."
"Tidak! Dia tidak bisa tidur denganmu," tolak Anggara.
Pria berwajah tegas nan tampan itu hendak meraih tangan Nila. Ia jelas tidak terima jika Nila ingin tidur bersama Devan. Secara aneh, Devan mengklaim kalau Nila adalah miliknya, padahal ia adalah orang yang paling menyakiti Nila.
"Kyaaa! orang jahat... pergi!" Nila justru berteriak dan memeluk Devan untuk menyembunyikan wajahnya. Tingkahnya seperti anak- anak yang ketakutan.
"Anggara, dia nampaknya masih belum pulih. Saat ini Nila merasa nyaman bersama jadi dia berada di sini."
Hati Anggara kembali seperti dihantam. Ternyata Devan dipilih Nila untuk menjadi tempat teraman bagi gadis itu.
Berbanding terbalik dengan Anggara, Devan justru merasa senang Nila memilihnya menjadi tempat teraman. Ia bahagia karena hal itu membuktikan jika dalam bawah sadar Nila, gadis itu benar- benar mempercayainya.
Mungkin karena aku adalah teman masa kecil sekaligus dokter yang merawat ayahnya, batin Devan. Meski demikian hal itu tidak mempengaruhi kebahagiannya.
"Baiklah, aku hanya ingin memberikan sarapan untuk Nila. Aku tidak ingin dia sakit karena terlambat makan," jawab Anggara.
"Serahkan padaku, aku akan merawatnya."
Dengan berat hati, Anggara berbalik meninggalkan Nila dan Devan di kamar.
"Aku masih mengantuk, apa kamu mau tidur lagi?" tanya Devan.
Nila menggelengkan kepalanya. Ia terlihat sangat imut saat melakukannya.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Devan. Ia sadar jika Nila harus diperlakukan seperti anak kecil sampai gadis itu keluar dari tembok pelindung yang ia bangun. Rasa shok yang ia alami membuatnya menjadi seperti anak kecil. Dan butuh keberanian untuk keluar dari trauma itu.
Tanpa disangka Nila memilih Devan jalan- jalan. Langkah kakinya berhenti di kolam renang. Tanpa pikir panjang gadis itu melompat. Beruntung dia tidak memilih tempat yang dalam karena Nila terlihat tidak bisa berenang.
Hampir saja jantung Anggara copot ketika Nila melompat ke kolam.
"Nila itu berbahaya!" pekik Anggara.
"Hahahah ..." Anehnya Nila justru tertawa senang. Ia bermain air dan mulai menyiram air ke wajah Devan.
"Hei hentikan nanti aku basah!" Devan kelabakan menghindari cipratan air dari Nila, sayangnya itu sia-sia. Dia sudah basah karena Nila tanpa ampun menyiram air pada Devan.
"Haha, rasakan!"
''Awas kamu, akan aku balas!"
Devan pun akhirnya terpancing. Ia ikut menyiram air ke arah Nila. Jadilah mereka berdua siram - siraman. Keduanya seperti anak kecil yang bermain ketika masih kecil. Rasanya sangat menyenangkan. Hal ini mungkin sesuatu yang sudah lama tidak mereka rasakan. Bahagia tanpa memikirkan masalah ketika dewasa.
Tak jauh dari sana, Anggara memperhatikan Nila dan Devan yang sedang bercanda di kolam. Hatinya kembali merasa perih. Tawa Nila akhirnya hadir lagi di bibir gadis itu. Yang menyedihkan bukan dirinya yang membuat Nila tertawa.
Aku benar-benar membuatku kehilangan senyum.
Anggara ingat jika Nila tidak pernah tersenyum lebar dan lepas seperti ini sejak mereka bertemu. Nila hanya tersenyum sopan dan sendu. Dan ia pun merindukan senyum Nila yang sudah ia hilangkan.
Andai saja kau tersenyum bukan karena Devan tapi karena aku?
"Wah ada yang cemburu," cibir Jacko.
"Rupanya kamu terlalu menganggur sampai mengurusiku?" geram Anggara. Padahal ia sangat sibuk tapi entah kenapa Jacko tidak mau pergi dari pulau ini.
"Kebetulan aku bebas. Tidak ada masalah penting yang membutuhkan tenagaku dan aku bersyukur karena aku bisa melihat mu patah hati."
"Diam kau," umpat Anggara.
"Lihatlah wajahmu yang konyol karena patah hati. Sangat menggelikan."
Anggara tidak mau membalas ucapan Jacko. Ia akui jika dirinya sangat menggelikan. Ia jatuh cinta pada gadis yang sudah ia sakiti. Meninggalkan sesal yang mendalam.
"Nila ayo makan. Kamu tidak boleh kelaparan," ucap Devan. Ia memberi Nila handuk. Pria itu sangat berhati - hati agar tidak melihat ke arah bagian Nila yang menonjol. Bagaimana pun yang berubah dari Nila adalah otaknya bukan tubuhnya. Gadis itu masih sangat seksi dan cantik dengan liukan liukan tajam di tubuhnya.
"Aaa..." Kali ini Nila membuka mulutnya seolah ingin disuapi. Devan pun menurutinya. Kini ia yakin jika Nila sedang melarikan diri dari masalahnya.
"Iya sabar, ini makanlah."
Nila memakan semua suapan dari Devan. Gadis itu bahkan tanpa malu duduk di pangkuan Devan meski tangannya sibuk melakukan sesuatu. Yah Nila sibuk bermain dengan menumpuk batu di sekitar kolam.
Anggara kembali tertegun melihat interaksi keduanya. Hal ini membuat Jacko tidak tahan.
"Apa kamu hanya akan diam?"
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?"
"Dekati dia, gunakan apapun agar dia tidak lagi takut padamu. "
Anggara merasa itu tidak mungkin. Melihatnya saja gadis itu berteriak dan histeris. Anggara takut Nila benar benar gila jika ia memaksa berdekatan dengannya.
"Kurasa itu tidak bisa. "
"Nih..."
Jacko melempar topeng yang terbuat dari kayu yang diukir.
"Kamu akan seperti pangeran bertopeng jika memakai itu. Dekati Nila dengan menggunakan itu. Beri dia hadiah atau apapun."
Anggara menatap topeng itu lamat- lamat. Meski ragu akhirnya ia ingin mencoba.
"Baiklah," jawab Anggara.
Jacko mengacungkan jempolnya memberi semangat. Ia memperhatikan Anggara yang masuk ke ruangannya. Pria itu tidak sabar melihat apa yang akan dilakukan oleh Anggara setelah ini.
Pantas saja Marquist ingin menghabisi Nila, efek gadis itu padamu memang sekuat ini.
...
Di saat Nila sedang asyik menerima suapan dari Devan, tiba-tiba ada mawar dan boneka beruang pink ada di depan Nila. Gadis terkejut lalu menoleh ke arah orang yang memberi boneka.
"Untukmu," ucap Anggara yang kini mengenakan topeng.
"Siapa kamu?"
"Aku pangeran boneka beruang. Boneka ini kesepian dan ingin menjadi teman mu."
Nila yang polos tentu saja senang. Ia yang berwatak anak kecil sangat mudah dikelabui. Tanpa curiga ia bermain dengan Anggara yang memakai topeng.
Syukurlah, kuharap ini awal yang bagus.
Tbc.