Beberapa kali Anggara mencoba untuk mendekati Nila, tapi yang ia dapatkan hanyalah suara jeritan ketakutan Nila. Seperti sekarang, Anggara mencoba memberi Nila makan karena ia tidak makan selama seharian. Gadis itu hanya merenung dengan air mata yang tak berhenti menetes.
"Pergi! kamu jahat! kubilang pergi!" teriak Nila. Ia melempar semua barang - barang yang ada di kamar ini.
"Nila tenanglah. Aku akan pergi tapi kamu harus makan, okey?" kata Anggara. Kedua tangannya terentang ke depan seolah menyerah dan menuruti semua yang Nila inginkan.
Sayangnya niat baik dari Anggara tidak pernah sampai di otak Nila. Di matanya Anggara menjadi sosok yang hendak menghukumnya. Gadis itu bahkan menutup kepalanya dan kembali meringkuk. Ini membuat hati Anggara semakin sakit.
"Nila, aku akan keluar. Jangan takut. Aku akan keluar."
Anggara pun akhirnya menutup pintu. Sungguh ia tidak menyangka jika gadis itu akan menjadi seperti ini. Setiap kata yang Nila ucap menjadi pukulan telak di hatinya. Rasanya lebih sakit dari luka tertembus peluru.
Mana dokter yang aku inginkan? kenapa dia belum datang? gerutu Anggara dalam hati. Ia tidak sabar menunggu kedatangan dokter yang Jacko kirim. Itu karena ia tidak sanggup melihat Nila yang begitu rapuh.
Suara pintu yang digedor dengan benda berbahan besi terdengar keras. Anggara yakin jika orang yang berani mengedor pintu ganda, besar yang terbuat dari pohon oak itu adalah dokter yang dikirim oleh Jacko.
"Sebentar, aku datang!" jawab Anggara.
Akan tetapi secara mengejutkan, yang berada di depan pintu adalah Devan dan Jacko.
"Kau!" hampir saja Anggara meninju Devan seandainya ia tidak teringat dengan Nila.
"Kau seperti tidak senang dengan kehadiran kami. Ingat hanya dia satu satunya dokter yang mau aku ajak ke sini," omel Jacko.
Devan juga tidak mengira jika orang yang dimaksud oleh Jacko, salah satu pasien yang pernah ia selamatkan adalah Anggara. Pria yang membuat Nila menderita.
"Saat ini bukan waktu yang tepat untuk protes. Segera periksa Nila, dia ada di kamar, " kata Anggara. Dia berjalan cepat menuju ke kamar Nila.
Devan yang mengikuti dari belakang tersentak ketika mengetahui jika pasien yang psikis- nya terguncang adalah Nila. Jacko hanya mengatakan kalau istri temannya mengalami shok hebat dan bertindak diluar kendali. Devan tidak pernah mengira jika gadis itu adalah Nila.
Ketika pintu terbuka, Devan merasa hancur kala gadis yang sudah ia kenal sejak kecil meringkuk ketakutan. Dengan cepat Devan memeluk Nila.
"Nila, Nila ini aku... kamu tidak apa - apa kan?"
Nila justru menggelengkan kepalanya keras. Ia masih menutup telinganya dan enggan menatap Devan.
Emosi Devan pun tidak terbendung. Ia begitu marah pada Anggara yang membuat Nila menjadi seperti ini.
"Apa yang sudah kau lakukan pada Nila! Apa kau belum cukup membuatnya menderita hah!?" teriak Devan. Bagaimana pun ia merasa tidak terima Nila menjadi kacau karena Anggara.
Ketegangan pun terjadi di antara Anggara dan Devan. Hal itu membuat Jacko terkejut. Ia tidak menyangka kalau Devan dan Anggara sudah saling kenal.
"Aku? justru pihak rumah sakit mu yang membuat Nila menjadi seperti ini. Pengamanan kalian yang lemah membuat Nila bisa dengan mudah diculik."
"Apa?"
"Nila hampir mengalami pemerk0sa4n dan menjadi korban industri film dewasa. Dia sepertinya shok karena itu," jelas Anggara. Hatinya masih tidak terima jika dirinya juga penyebab Nila terganggu emosinya.
Sementara itu, Jacko yang sebenarnya menculik Nila bersikap seolah tidak memiliki dosa. Ia hanya melihat ke sana ke mari dan enggan terlibat adu mulut dengan dua laki laki di depannya.
Karena tidak memiliki pilihan lain selain percaya pada Anggara, Devan menggendong Nila ke ranjang. Ia memberikan suntikan penenang pada Nila. Ia juga memberi sedikit obat antidepresan pada Nila. Devan berharap saat Nila bangun, gadis itu menjadi lebih baik.
Melihat Nila yang tertidur dengan damai, membuat Anggara lega. Namun ada rasa takut yang mulai menghantuinya. Ia mulai takut kehilangan Nila.
Selesai memastikan Nila tertidur, ketiga pria itu meninggalkan kamar.
"Bagaimana?"
"Nila mengalami guncangan mental. Kurasa kau tahu jelas penyebabnya. Stimulasi penderitaan yang kau berikan ditambah beban untuk pengobatan ayahnya dan percobaan pemerk0sa4n kemarin membuatnya runtuh." Devan tidak melembutkan kata- katanya sama sekali. Ia ingin pria itu merasa bersalah dan tertekan.
"Tidak semua orang kuat menghadapi penderitaan bertubi- tubi Anggara. "
Anggara terdiam. Ingin sekali ia memaki dirinya yang tidak memperhatikan hal itu.
"Sekarang masalah baru yang harus kau hadapi adalah mengatakan pada Nila kalah ayahnya meninggal. Jenazah pria itu aku makamkan disebelah ibu Nila."
Sebagai teman Nila sejak kecil, ia bersedia menanggung semua biaya pemakaman. Itu karena ia mendapati jika Nila tidak bisa dihubungi. Meski terdengar lancang, tapi ia tidak bisa membiarkan ayah Nila dibiarkan begitu saja di ruang jenazah. Tanpa ia duga jika Nila menjadi korban penculikan. Dan Devan yakin semua ini ada kaitannya dengan Anggara.
Anggara membeku, otaknya seakan kacau. Ia seolah mendengar hal paling mengerikan di dunia ini.
"Tidak, jika Nila tahu maka dia akan hancur. Kita tidak bisa membiarkan Nila tahu Devan. "
"Tapi sampai kapan kita menyimpan rahasia ini."
"Selama yang dibutuhkan. Nila masih shok, apa jadinya jika dia mendengar kalau ayahnya sudah pergi."
Devan tersenyum sinis. Ia menatap tajam pada pria yang sejak kehadirannya membuat Nila jatuh ke jurang penderitaan.
"Kenapa? bukannya kamu senang melihat Nila tersiksa. Tujuan utama mu kini terwujud. Bukankah seharusnya kamu merayakan kehancuran Nila?" cibir Devan.
"Diam! aku tidak begitu!" bantah Anggara.
" Terserah," sinis Devan. Pria itu kemudian memperhatikan ke arah pintu- pintu yang ada di sebelah kamar Nila. Bangunan ini benar - benar tidak kekurangan kamar. Bahkan dalam kondisi jarangnya perabotan, ruangannya masih berbau mewah. Devan mulai mencurigai identitas asli Anggara. Terutama melihat Jacko yang dengan mudah mengendarai pesawat.
Siapa sebenarnya pria ini? pekerjaan apa yang ia lakukan sejak menghilang dulu?
Devan berniat menyelidiknya, untuk itu ia tidak boleh pergi dari pulau ini.
"Apa kamar di sebelah Nila kosong? aku akan menginap untuk memantau kondisinya," tanya Devan.
"Pilih sesuka mu," jawab Anggara. Ia dengan lesu meninggalkan Devan yang memilih kamar.
"Hidupmu rumit sekali, kenapa tidak sepertiku yang bebas," ujar Jacko.
"Bebas? jangan bermimpi, kau masih terikat rantai Marquist. "
"Hai itu kasar sekali. Aku bawahanya jelas harus menurut pada perintah atasan. Namun aku tidak memiliki masalah dengan perasaan. Lihatlah, kau sangat kacau hanya karena wanita. "
Anggara tidak menjawab, Jacko benar. Dirinya memang kacau sejak melihat Nila terguncang. Rasanya dunianya runtuh.
"Ngomong- ngomong bagaimana kamu bisa kenal dengan Devan?" tanya Anggara.
"Simple, aku terluka dan hampir tewas lalu tanpa sengaja dia lewat dan menyelamatkan ku."
Pantas saja Devan menjadi dokter yang dipilih Jacko. Yang ia tahu, Jacko sangat sulit berdiri di dekat orang dalam waktu yang lama.
***
Esok hari, Anggara bangun lebih awal. Ia berniat menjenguk Nila dan melihat kondisinya. Tak lupa pria itu menyiapkan bubur untuk sarapan Nila.
Perlahan, Anggara membuka pintu. Ia terkejut ketika melihat Nila tidak ada di kamar. Anggara yang tidak ingin membuang waktu dengan mencari satu persatu kamar, memutuskan melihat dengan cctv.
"Dia berjalan keluar kamar?" Anggara mengira jika Nila pasti sudah pulih karena keluar dari kamar tanpa ketakutan. Apalagi gadis itu menuju ke kamar lain dan tidak keluar.
"Jadi dia ingin pindah kamar?" gumam Anggara.
Anggara akhirnya menuju ke kamar yang dimasuki Nila, hanya untuk melihat gadis yang ada di pikirannya memeluk Devan yang tertidur pulas.
"Nila!?"
Hati Anggara memanas. Untuk pertama kali, ia begitu terpukul.
Tbc.