Hati Yang Berubah

1051 Words
Hari ini, kembali menjadi neraka bagi Nila. Pengabaian yang dilakukan oleh Anggara ternyata tidak berhenti. Yang lebih menyedihkan Sinta seolah menjadi sekretaris favorit Anggara. "Sinta, Pak Anggara memanggil mu," ucap Sena yang keluar dari ruangan Anggara. Sinta nampak senang, berbanding terbalik dengan Nila yang wajahnya menegang. Apalagi Nila tersenyum lebar dan berlari kecil hingga melupakan s.o.p perusahaan. Sena menyadari kesedihan Nila. Wajah muram gadis itu menjelaskan semuanya. "Kamu baik baik saja?" tanya Sena. Nila tersenyum getir, tidak ada yang baik- baik saja di hidupnya. Rasanya ia ingin marah dengan semua ini. "Memangnya aku kenapa? tentu saja aku baik- baik saja." Sena menghela nafas panjang. Ia merasa kasihan pada mantan atasannya ini. Sejak Anggara muncul, hidupnya seolah dipenuhi masalah. "Kalau kamu butuh bantuan, katakan saja?" "Kalau aku butuh pekerjaan apa kamu bisa mencarikan?" Wajah sena menegang. Siapapun tahu kalau Nila diblacklist karena ulah Anggara. "Kau tahu aku cuma tangan kanan Anggara. Meski aku mau, tapi aku tidak memiliki kekuasaan apapun," jawab Sena. "Terima kasih, setidaknya aku tahu kalau ada orang yang sebenarnya bersedia menolongku." Sena mengangguk. Andai saja bisa ia sangat ingin menolong Nila pergi dari sini. Apa daya ia hanya seorang pegawai yang tidak memiliki pengaruh apapun di dunia bisnis. Menolong Nila sama seperti bunuh diri. Sena pun pamit meninggalkan Nila yang sibuk dengan komputernya. Ia tidak mau melihat air mata yang menetes di pipi gadis itu. Sena tahu benar kalau Nila sedang berusaha keras untuk menahan rasa sakit di hatinya. Kuharap kamu kuat, Nila. Fenomena itu membuat sebagian pegawai yang membenci Nila mulai menunjukkan taring mereka. Mereka mengira bisa menindas Nila karena yakin hati Anggara berpaling pada Sinta. "Wah, wah ada ampas yang dibuang nih," sindir Cecil. Anggara tidak jadi memecat mereka semua karena ucapan Jennifer kemarin. "Cecil, jangan begitu. Nanti kita dipecat lo..." ucap Terre. Tak lama kemudian keduanya tertawa mengejek. "Mana mungkin bos memecat kita demi ampas. Habis dihisap, dibuang dech cuih... hahaha." Nila hanya meliriknya sekilas lalu kembali dengan komputer. Meladeni mereka hanya akan membuang waktu. Tak lama, Sinta keluar dari ruangan Anggara. Cecil dan Terre segera menghampiri Sinta. Mereka bersiap menjilat Sinta. "Cecil, apa kamu ada acara? kita ke Cafe yuk." "Eh aku tahu butik yang bagus lo." "Atau kita ke salon bareng?" Sinta nampak menikmati pendekatan yang Cecil dan Terre lakukan. "Aku ingin, tapi Pak Anggara mau aku standbye. Jadi maaf ya..." jawab Sinta. Wajahnya yang polos membuat Cecil dan Terre tidak tersinggung. Mereka justru semakin menyukai Sinta. "Kalau begitu kamu hati - hati ya? Siapa tahu ada yan cemburu dan mencari masalah dengan mu," sindir Cecil sambil melihat ke arah Nila. Sinta nampak mengangkat sudut bibirnya, ada kepuasan di matanya kala ia kini berada di posisi Nila. Sekarang semua orang menghormatinya. "Aku yakin Nila tidak akan jahat sama aku. Lagi pula aku tidak melakukan apapun. " "Ya sudah, kami kembali ke ruangan dulu. Kalau ada yang menindasmu, bilang sama kami. Kita akan memberi pelajaran pada ampas." Sinta melambaikan tangan pada keduanya. Setelah itu ia duduk di kursinya. Sinta menunggu Nila untuk mengajaknya bicara. "Nila, wajah mu pucat. Apa kamu sakit?" tanya Sinta. Nila mencoba tersenyum meski berat. Apalagi ia melihat mata penuh kemenangan di mata Sinta. Gadis itu seolah ingin menunjukkan kalau ia sekarang memiliki hubungan istimewa dengan Anggara. "Tidak kok. Hanya lelah saja." Sinta menatap Nila dengan intens. "Nila, apa kamu marah karena Pak Anggara mengabaikan mu dan memilihku?" tanya Sinta. Tatapannya sangat dalam sampai membuat Nila serasa diintimi.dasi. "Kenapa aku marah, aku tidak bisa meminta Pak Anggara menyukaiku atau menghalangi siapapun yang Pak Anggara inginkan. Itu hak dia sepenuhnya." "Bearti aku bebas mendekatinya kan? kau tidak akan marah kan?" Nila menggigit bibirnya. Memang ia tidak bisa marah karena ia dan Anggara tidak memiliki hubungan apapun. "Itu bukan urusanku." Sayangnya, ia harus menerima kenyataan kejam. Devan menelepon dari rumah sakit. "Nila, pihak rumah sakit meminta mu melakukan pembayaran." Nila benar- benar tidak punya pilihan. Ia bingung kemana harus mencari uang. Ia yakin kalau Anggara tidak akan mau memberinya uang lagi setelah memiliki gadis lain. Ia pun mulai mencari nomor rekan kerjanya yang dulu. Kalau kau tidak menginginkan ku, aku yakin ada orang lain yang mau membayar ku, batin Nila. Sekarang kehormatan tidak lagi ada artinya dibanding kehilangan sang ayah. Ia tidak mau satu - satunya keluarganya pergi. "Halo Alex, ini aku Nila." "...." "Bisakah kita bertemu. Ah tidak aku akan mengirimkan mu pesan. " Dari balik pintunya, Anggara menatap tajam ke arah Nila. Ia pun menunggu Nila selesai bicara dengan Alex, lalu menghubungi pria itu untuk bertanya apa maksud Nila menghubunginya. xxxx Nila yang sepakat bertemu dengan Alex di hotel, segera berangkat. Ia tidak perduli dengan pandangan rekan kerjanya yang melihatnya berjalan keluar dari gedung perusahaan. Maafkan aku ayah, hanya itu yang Nila ucapkan dalam hatinya. Ia memang melakukan transaksi dengan Alex. Ia tidak lagi perduli jika dipanggil jal4ng. Gadis itu segera menuju ke kamar yang Alex katakan tadi. Akan tetapi, Nila sangat terkejut ketika melihat pria yang ada di dalam kamar hotel bukanlah Alex, melainkan Anggara. Gadis itu bahkan memucat menyadari jika ia dijebak. "Anggara?" Anggara berjalan menuju ke arahnya, tiap langkah yang ia ambil untuk memotong jarak antara dirinya dan Nila membuat Nila terpojok. Ia ingin lari tapi tidak memiliki jalan untuk pergi. "Kenapa anda di sini? dimana Alex?" tanya Nila. "Beraninya kamu mencari pria lain, Nila." "Itu bukan urusan anda, kita tidak memiliki hubungan apapun kecuali atasan dan bawahan." Nila melawan, lagi pula pria ini yang memilih pergi lebih dulu. Anggara mencengkeram rahan Nila. Ada amarah di matanya yang membuat Nila menciut. "Kau mau uang kan?" "Kamu kira aku ke sini untuk apa?" balas Nila meski pipinya sakit karena cengkraman tangan Anggara. "Bicth!" "Terima kasih, jangan lupa karena kamulah aku menjadi j4lang. " Anggara sangat kesal. Ia membungkam mulut Nila dengan bibirnya. Pria itu mencium Nila dengan kasar seolah melampiaskan rasa marah akibat pemberontakan Nila. "Asal kamu tahu, tidak akan ada pria yang mau membeli mu Nila. Kau hanya bisa mengemis padaku." Lagi - lagi pria ini membuatnya kesal. Entah apa yang Anggara inginkan. "Jika kamu mau uang maka memohonlah," desis Anggara. Nila awalnya ingin menolak, tapi ia ingat jika ada pihak rumah sakit yang sedang menagih biaya rumah sakit. Gadis itu pun akhirnya memohon. "Beri aku uang," lirih Nila. Anggara pun menarik Nila. Pria itu bertekad akan menghukum Nila. Ia akan membuat Nila jera karena mencari pria lain. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD