46

2159 Words
“Gue sebelumnya pernah ketemu dia. Mungkin itu alasannya dia percaya sama gue,” Arsen memandangi lagi wajah menggemaskan bayi itu. “dia cantik. Pantes Kakaknya juga cantik,” Arsen kini menengok ke Alista yang juga tengah meninjau bayi ini. “Dokter udah keluar?” Alista menggeleng lamat. Tatapannya berubah menjadi teduh. Tidak ada semangat. “Mereka masih belum keluar. Lo udah coba mengabari keluarganya, Kak?” “Gue enggak tau kata sandinya,” “Coba sini,” tagih Alista. Tangan kanan Arsen langsung menyerahkan benda yang dipinta Alista. Alista langsung membuka ponsel itu. Terdapat angka-angka di sana. Alista berpikir keras. Ia coba masukkan tanggal lahir Bagas. Ternyata salah. “Biasanya Cowok pakai tanggal lahir pacarnya buat password.” Kata Arsen tanpa mengalihkan pandangan. Betul juga, batin Alista. Tapi seketika garis kerutan terlihat jelas di keningnya. “Emang Bagas punya pacar?” selama ini Alista tidak pernah melihat Bagas dekat dengan perempuan di sekolah. Arsen menggedikan bahu. “Coba masukin tanggal lahir Lo,” lanjutnya mengasih saran. “Masa tanggal lahir gue?” Alista menggeleng-geleng. “enggak ada hubungannya.” “Iya udah. Enggak usah dibuka. Simple,” jawab Arsen cuek. Bukannya dia tidak peduli dengan Bagas, melainkan Arsen kesal karena sudah mencoba memasukkan sandi berpuluhan kali, tapi tetap tidak terbuka. “Ish.” Alista menatap ponsel kembali. Jari-jari cantiknya itu memencet tanggal lahirnya. Seketika kedua matanya terbuka lebar. Tanggal lahirnya ternyata cocok! “Kok bisa?” Alista terheran-heran. Memang segitu penting dirinya sampai-sampai Bagas memakai tanggal lahirnya untuk password. “Bagas suka sama Lo,” kata Arsen tiba-tiba. Alista malah tertawa kecil. “Enggak mungkin.” Dia lantas mengecek ke daftar panggilan. Banyak telepon dari Bibi Bagas yang tidak terjawab dan juga panggilan dari Keyla. Saat membuka pesan, Alista kembali terkejut melihat seratus satu pesan dari nomor tidak dikenal. Entah nomor siapa. Ia mengurungkan niat untuk membuka pesan itu lantaran bukan tujuannya sekarang. Tanpa buang waktu lagi, Alista langsung menelepon Bibi Bagas. “BAGAS! CEPAT PULANG SEKARANG! KENAPA DARI TADI PANGGILAN BIBI TIDAK DIANGKAT, HAH?! KAMU ANGGAP BIBI INI APA?” Alista menjauhkan ponsel itu dari telinga. Suara itu pengang sekali! Sambil mengusap-usap telinga, Alista mendekatkan mulutnya pada ponsel tersebut. “Bibi.., ini bukan Bagas. Aku Alista, aku mau kasih tahu kalau tadi Bagas terluka dan sekarang dia lagi ditangani Dokter. Bibi bisa ke sini?” “Terluka? Kok sampai dibawa ke rumah sakit?!” “Iya, makanya Bibi ke sini. Nanti aku ceritain secara detail,” Tut. Panggilan diputus oleh Bibi. Alista merasa lega. Bebannya berkurang meskipun sedikit. “Gimana?” “Bibi Bagas bersedia ke sini,” ___**___ Nandin berjalan dengan tatapan kosong setelah keluar dari ruangan jenazah itu. Wajahnya kini memerah dan penuh air mata. Berkali-kali dia menyeka air matanya, semua akan percuma. Bulir bening itu pasti akan keluar lagi dari matanya. Tubuhnya yang ringkuh itu kini terduduk di salah satu ruang tunggu sebuah ruangan. Dia mengeluarkan sebuah gelang hitam dari saku seragamnya. Gelang itu bukan gelang miliknya. Bukan juga milik sang ayah. Benda ini menyangkut di ikat pinggang Ayahnya. Melihat itu Nandin langsung mengambil sebab gelang hitam ini asing. Nandin bertekad untuk mencari tahu siapa pemilik gelang ini. Dia menatap lamat dan menggenggam gelang itu kuat-kuat. Kemungkinan besar benda tersebut milik orang lain. Orang yang nantinya akan Nandin minta petunjuk. “Apa benar kamu keluarga pasien Risa?” Nandin mengusap kasar air matanya sebelum menoleh dan berdiri. “Saya Putrinya.” “Pasien Risa meninggal pada pukul enam petang lewat lima menit karena serangan jantung.” Nandin mematung. Dia berlari menerobos masuk ke dalam. Tubuh Ibunya sudah ditutupi kain putih polos. Lagi, tangisan yang tadinya reda kini pecah. Ini hari terburuk. Sangat buruk. Kehilangan dua orang paling berarti dalam hidupnya sekaligus. Di hari yang sama. “Ibu..., Jangan tinggalin aku sama Elsa. Kenapa Ibu ninggalin aku? Ibu sama Ayah jahat. Kalian berdua enggak sayang aku. Ibu boleh pergi, tapi jangan sekarang. Aku mohon, jangan pergi bersama-sama. Kalian berdua berarti banget di hidup aku. Aku mohon, Bu. Aku mohon...” suara Nandin bergemetar bahkan terdengar seperti gumaman bagi siapapun yang mendengarnya. Air mata itu keluar deras, membasahi pipi. Suster yang ada di sana menitikkan air mata. Tidak ada yang berani memindahkan brankar itu ke ruang jenazah. ___***____ “Pasien mengalami pendarahan hebat tadi. Beruntung kami bisa menanganinya dan stok darah ada. Sekarang Pasien mengalami koma. Kami tidak tahu kapan sadarnya. Kami serahkan semua pada Tuhan. Permisi,” Dokter itu membungkukkan badan dan melewati Mereka berdua. Bibi Bagas dengan gusar masuk ke dalam. Alista terduduk lemas. Pandangannya terlihat tidak percaya kenyataan ini. Arsen menyentuh pundak Alista. “Gue yakin dia sadar sebentar lagi,” kata Arsen. “Siapa yang menusuk dia, Kak?” parau Alista. “Gue enggak tau. Besok gue akan kasih tau yang lain biar Mereka bisa bantu buat cari pelakunya,” jawab Arsen. Alista membungkuk dan menutup wajah dengan kedua tangan. “Bagas itu Cowok baik, Kak. Dia enggak mungkin punya musuh,” “Kita enggak tau masalah orang sebenarnya. Setiap orang itu pasti ada orang yang membenci, Ta.” Kata Arsen. Ia masih menimang bayi digendongannya. Dari tadi Arsen menunggu Nandin datang, namun sudah setengah jam berlalu belum juga muncul. Suara tangisan bayi merebak di antara Mereka. Arsen menatap gusar. Inilah yang dia takutkan sedari tadi. Alista melirik Kakaknya yang tampak panik. “Sini,” tawarnya. Siapa tahu bayi itu diam. Arsen menggeleng, “Dia butuh Ibunya, Ta.” Arsen segera berdiri. Semua orang menatapnya. Ia tak peduli akan hal itu. Arsen menengok setiap ruangan yang dia lintasi. Nandin tidak juga ketemu. “Sus,” panggil Arsen pada seorang wanita yang kebetulan lewat. Suster perempuan itu berhenti. “Iya, kenapa?” “Ada Perempuan di sini yang bernama Nandin?” “Nandin?” Suster itu mengernyit. “maaf, saya tidak tahu nama itu.” Arsen melanjutkan langkah. Ia menyelusuri lorong rumah sakit. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Nandin. Arsen mengesah panjang. Dia tiba-tiba berhenti ketika mendengar suara isakan. Arsen mendekati sumber suara yang ternyata mengarahkannya pada sebuah ruangan. Tampaklah seorang Gadis tengah terduduk di samping brankar. Dari sisi yang ia lihat, Arsen bisa mengenali kalau Cewek itu adalah Nandin. Empat suster yang ada di sana seketika menengok. “Nan—“ “Ibu jangan pergi! Aku mohon, jangan pergi, Bu!” Arsen terperangah. Dia tidak menyangka Nandin sedang berduka. Arsen kira Nandin kabur karena tidak mau merawat bayi ini. Arsen langsung menyerahkan Elsa bayi ke salah satu Suster. Sebelum itu dia bertanya untuk memastikan. “Sus, kalau boleh tau bayi ini anak siapa?” Suster itu berhenti. “Anak Pasien Risa. Dia baru saja meninggal beberapa menit lalu.” “Perempuan itu anak Tante Risa juga?” “Iya betul. Dia kakak dari bayi ini,” tutur Sang suster. Arsen mengangguk paham. Dia membalikkan badan, bersiap untuk pergi, namun melihat brankar itu akan dipindahkan ke ruangan lain dan Nandin tampak memberontak, hati Arsen tergerak. Dia menghampiri Nandin, lantas menahan tubuh Cewek itu agar tidak memegang brankar lagi. Nandin menoleh. Seketika dia memberontak keras. Beruntung tenaga Arsen lebih besar daripada Nandin yang ringkuh itu. “LEPAS! AKU ENGGAK AKAN BIARIN IBU DIBAWA KE RUANGAN LAIN! IBU HARUS DI SINI! DIA HARUS—“ Plak! Arsen menampar Nandin hingga terdengar suara yang nyaring. “Biarin Ibu Lo tenang,” Nandin memegang pipinya yang terasa panas serta perih. “Kamu enggak berhak buat nampar aku!” “Kalau gue enggak menampar, Lo enggak akan sadar, Nad! Ibu Lo butuh tempat peristirahatan yang baik, bukan ditahan di sini terus. Lo harusnya sadar akan hal itu!” gertak Arsen. Nandin tidak kuat berkata-kata lagi. Tenggorokannya tercekat. Seluruh tenaga seakan lenyap. Hampir saja akan ambruk ke bawah, Arsen langsung menahannya dan membawa Nandin ke pelukan. Nandin menangis terisak.ia menenggelamkan wajahnya di d**a bidang Arsen. Nyaman. Beban yang dikeluarkan Nandin seakan hilang begitu saja. Beginikah rasanya memiliki seseorang yang mau menjadi sandarannya? “Gue enggak tau gimana rasanya ada di posisi Lo. Tapi gue berharap lo kuat menghadapi. Adik Lo tadi nangis. Dia butuh seorang Kakak.” Kata Arsen berusaha menenangkan. Ia mulai mengelus kepala Nandin, memberikan kekuatan yang dia punya. Alista terpaku menyaksikan pemandangan yang ia lihat sekarang. Ia menatap mereka dengan tatapan tak suka. Di hati Alista... Entah kenapa, dia tidak rela Mereka dekat. Alista bingung dengan hatinya. Ia tak tahu mengapa dia tidak suka melihat kedekatan Arsen dengan perempuan lain. Alista berbalik badan, dan pergi dari sana. Air mata menitik. Sial. Mengapa dirinya jadi sedih seperti ini? Alista langsung mengusap air mata itu. ___***____ “Gimana ceritanya si Bagas ditusuk?” “Kelihatannya Bagas itu anak baek, lho. Kenapa bisa se-tragjs itu?” “Gue harap dia cepat sadar dari koma. Enggak tega liat dia lama-lama terbaring di rumah sakit,” “Kita harus kerja sama buat cari pelakunya!” “Susah, Na. Bahkan tempat Bagas ditusuk aja, polisi enggak ada yang tau.” “Wah, penjahatnya pintar sampai enggak ninggalin jejak satupun.” “Kemungkinan Bagas itu ditusuknya bukan di sekolah ini. Iya enggak, sih?” “Iya benar!” Bisik-bisik dari para murid perempuan terdengar di sepanjang koridor sekolah. Berita ditusuknya Bagas membuat seisi sekolah geger tidak karuan. Mereka bertanya-tanya siapa yang tega melakukan itu padahal image Bagas terlihat baik. Alista diam, tidak ikut Mereka bergosip. Dia tengah sibuk karena tumpukan buku di tangannya ini. Bu Farida menyuruhnya untuk menaruh semua buku paket bahasa Indonesia ke perpustakaan. Tadinya akan menolak, namun Alista baru ingat. Hari ini dia piket. Mau tidak mau, dia harus meletakkan buku-buku ini. Bruk! Seseorang menabraknya dari depan. Dalam sekejap, buku yang Alista susah payah ia susun, berjatuhan ke bawah. Alista memicing mata pada orang itu. “Maaf,” Wajah Alista berubah total. Senyum perlahan terbit di wajahnya yang cantik. “Enggak pa-pa kok,” dia berjongkok, menyusun semua buku. “Maaf, Yang. Aku enggak bisa bantu,” lirih Marsel, takut terdengar yang lain. Cowok itu kemudian beranjak dan melewati Alista begitu saja. Alista hanya tersenyum dan mengangguk samar. Baru saja akan mengambil satu buku yang tersisa, kaki seseorang menginjak buku itu. Alista berdecak kesal melihatnya. Apalagi ketika dia mengenali siapa pemilik sepatu itu. “Ups, sorry. Gak sengaja,” Alista mengangkat tubuhnya. “Gue miris sama Cewek kayak Lo,” Rachel mendelik. “Cantik-cantik, tapi telinganya enggak berfungsi!’ lanjut Alista. “Masih mending dong! Daripada Lo diputusi dengan alasan yang nggak jelas! Cewek modelan kayak Lo, cocoknya bersanding sama si Jaka ada sana! Jangan sama Marsel. Bisa-bisa keturunan gue rusak nanti! Lo—“ Dug! Alista melempar salah satu buku paket ke wajah Rachel. “Ngomong tuh dipikir dulu! Kalau iya gue jelek, kenapa Marsel suka sama gue waktu itu? Emang ada orang yang maksa dia? Enggak, kan?” “Hih! Sialan, Lo, ya!” Rachel melangkah maju. Kedua tangannya kompak menarik rambut Alista. Suara pekikan terdengar membuat murid-murid yang tadinya hanya melintas kini memutuskan untuk berhenti dan menyaksikan. Alista balas menjambak kuat helaian rambut Rachel. “Gue enggak akan biarin Lo lepas! Rambut Lo akan habis di tangan gue!” “Bangs*t! Lepasin gue, anj*Ng!” umpat Rachel membuat sekitarnya ternganga kaget. Pasalnya Rachel tuh terlihat seperti Cewek baik-baik, namun perkataan kotor yang diucapkan tadi mematahkan semuanya. “Rachel! Berhenti!” Marsel datang dan berusaha menghentikan. Rachel menyeringai kecil. Tangannya terulur, hendak menarik seragam Alista. Namun Alista bukanlah seorang yang bodoh dan lambat. Terlebih dahulu dia menahan dan menarik seragam Rachel. Semua orang terpekik tidak menyangka. Dalam waktu singkat, seragam Rachel di bagian punggung sobek. Seseorang membalikkan paksa tubuh Alista dan menampar keras pipi Cewek itu. Alista tertoleh ke samping. Ia memegangi pipinya yang terasa panas dan perih. “Mar—marsel kamu...” Marsel tidak menjawab. Dia melepas seragamnya hingga kini ia hanya memakai kaus hitam. Cowok itu mengenakan seragamnya di tubuh Rachel. Hening. Semuanya tidak berani buka suara apalagi melihat Marsel semarah itu. Nyali Mereka menciut seketika. “Kenapa Lo nampar Lista, b*****t!” Arsen datang dari arah belakang. Tanpa ba-bi-bu lagi dia meninju rahang Marsel hingga terdengar suara mengerikan. Teriakan ngeri dari mulut murid lain mulai terdengar lagi. Mereka lagi-lagi kompak menjauh. “Ar, udah.” “Jangan belain dia lagi!” kilat marah dari mata Arsen yang tajam itu teralihkan kembali ke Marsel. “sepupu Lo sendiri yang bersalah tadi. Dia yang mulai keributan ini. Harusnya Lo cari tahu sebenarnya dulu. Jangan main menghakimi seseorang begitu aja!” “Oh, iya? Apa gue harus tetap diam saat sepupu gue ditarik seragamnya? Lo mau dia telanjang di depan umum. Hm?” Marsel menanya balik. Alista menggeleng kepala, “Bukan gitu, Marsel. Aku narik seragam dia karena refleks mau melindungi diri. Rachel lebih dulu yang mau menarik seragam aku. Kamu—“ “Al! Bisa enggak, sih? Gak usah bohong! Jelas-jelas Lo yang narik seragam gue. Jangan beralasan enggak jelas Lo!” potong Rachel. “ALISTA, MARSEL, RACHEL DAN ARSEN. KALIAN KE RUANG BK SEKARANG!” suara bariton menyergah pertengkaran yang terjadi. Pak Ado—sang guru BK datang dengan penggaris panjang di tangannya. Semua orang bergidik ngeri dan melanjutkan langkahnya kembali, bersikap tidak melihat kejadian apa-apa tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD