44

1961 Words
Marsel menaiki tangga rooftop dengan kedua tangan yang masuk di saku seragam. Dia duduk di bangku yang telah rapuh. Tubuhnya menyandar di tembok yang catnya sudah terkelupas. Beberapa menit lalu, dirinya sudah menelepon Bagas. Sampai saat ini orang yang dia tunggu belum datang juga. “Marsel!” Cowok itu mengumpat dalam hati. Bagaimana Alista bisa tahu dia ada di sini. Sial. Saat Alista semakin mendekat, Marsel menyunggingkan senyum. Ia berdiri dari duduknya. Menghadap Alista yang lebih pendek darinya. “Al, kan aku udah bilang ke kamu untuk tetap pulang.” “Kamu emang mau apa, sih? Yakin mau ketemu seseorang di tempat ini?” Alista melihat ke sekitar. Keadaan rooftop di sini membuatnya bergidik ngeri. “Yakin. Udah, kamu pulang aja.” “Enggak mau. Aku nungguin kamu aja di sini,” “Gak bisa, Al.” Marsel membuang nafas perlahan. “ini urusan Cowok. Kamu mending pergi. Setelah itu aku yang ke rumah kamu.,” “Beneran, Al.” “Ya udah. Aku pergi dulu, dadah!” Marsel memandangi kepergian Gadis itu. Ia mengeluarkan rokok di saku dan mulai mematik api, lantas menghisapnya. Marsel mengepulkan asap rokoknya ke langit-langit. Selama ini Cowok itu memang sering merokok. Tidak sering. Hanya ketika di situasi yang tidak sesuai dengan keinginannya. Seperti saat ini. Satu menit kemudian Bagas datang dengan seragam rapih, berbeda dengan Marsel yang sudah keluar dengan kancing terbuka menampakkan sebuah kaus hitam. Marsel berhenti dan langsung menginjak puntung rokok yang masih menyala. “Mau ngomong apa?” Kaki tegap Marsel berdiri. “Lo telat lima belas menit. Huku—“ “Langsung to the point. Waktu gue sedikit,” potong Bagas. “Kenapa Lo selalu dekat-dekat Pacar gue?” Marsel menatap serius. “Pacar? Jangan halu. Dia udah jadi mantan Lo,” tatapan Bagas berubah penuh peringatan. “Dia masih pacar gue. Alista Cuma berpura-pura mutusin gue biar si Arsen enggak ganggu hubungan gue sama dia,” kata Marsel jujur dengan santainya. Bagas tak percaya dengan penuturan Marsel. Alista yang dia kenal tak akan berbohong hanya demi tipe Cowok seperti Marsel. “Bilang aja itu akal-akalan lo biar gue cemburu. Alista emggak mungkin bohong ke semua orang Cuma demi mempertahankan hubungannya sama Lo. Jangan mimpi.” Marsel melemparkan tinju keras ke rahang Bagas. “Gue enggak mimpi, anjing! Gue sama dia benar-benar masih ada hubungan.” Bagas berdecih. Tatapannya terkesan meremehkan. “Ingat. Sekeras apapun Lo berusaha menempatkan lagi posisi Lo di hati dia, dia enggak akan bergeming. Gue akan ada di depan kalau Lo sampai berbuat yang enggak-enggak ke dia. Malam itu lo telah membuktikan sendiri, Lo bukan cowok baik. Lo Cuma mau merusak Alista.” “Iya! Gue mau merusak Alista! Gue mau dia rusak serusak-rusaknya! Kenapa? Lo mau menghentikan gue? Lo harus sadar! Lo enggak seiman sama dia. Kalian berdua enggak akan bisa bersama. Usaha Lo biar dia luluh dan suka sama Lo, semuanya akan percuma!” Marsel tertawa penuh kemenangan. “Gue sama dia masih bisa bersama dalam hubungan persahabatan. Habis ini, gue jamin Alista akan membenci Lo. Gue akan kasih tau semuanya. Biar dia gak terjerumus ke Cowok berengsek kayak Lo,” “Gue minta maaf.” Bagas seketika terheran-heran dengan pernyataan Marsel. “gue akan jauhi dia. Gue sadar selama ini yang gue lakuin salah. Gue benar-benar akan memutuskan Alista besok.” Sirat mata Marsel berubah menjadi penuh penyesalan. Bagas sungguh tidak mengerti dengan tingkah Marsel. Apa Cowok itu punya kepribadian dua makanya berubah dalam sekejap. “Boleh gue jadi teman Lo sekarang?” Marsel kini menatap Bagas dengan sirat penuh memohon. Bagas memandang Marsel sejenak. Memang dia tidak melihat kebohongan di mata itu, tapi hatinya menolak untuk percaya. Cowok itu mengangguk sekali sebagai jawaban. Marsel terlihat senang. Dia mulai memeluk Bagas. Sedangkan tangan satunya masuk ke dalam saku, lalu mengambil pisau tajam. “Selama gue hidup tujuh belas tahun, baru kali ini gue...” Marsel menyeringai. Ia mengarahkan pisau itu pada Bagas. “... melihat orang bodoh kayak Lo,” dia menusukkan pisau itu pada perut datar lawan bicaranya. Bagas berusaha mendorong tubuh Marsel, tapi punggungnya ditahan kuat. Pisau itu semakin masuk ke dalam dan mengobok-obok perutnya. “Tikus kayak Lo harus disingkirkan. Jangan harap Lo masih hidup besok! Gue enggak akan biarin satu orang pun menghancurkan rencana gue.” Merasakan Bagas sudah tidak sadarkan diri, Marsel langsung melepaskan paksa pisau yang menancap. Dia mendorong tubuh Bagas hingga terjatuh ke bawah. Cairan merah mengucur deras, keluar dari perut hingga mengalir ke sekitarnya. Seragam yang tadi berwarna putih bersih itu kini merah dan berbau amis. Marsel tersenyum puas melihat keadaan Bagas yang tak berdaya lagi. Satu masalah berhasil disingkirkan. Sekarang tidak ada yang menghalanginya. “Kalian! Keluar cepat!” titah Marsel pada empat orang yang bersembunyi di ruangan kosong yang ada di sana. Ruangan itu dulunya adalah ruang yang biasa dipakai untuk penyimpanan kursi-kursi rusak, meja yang sudah dicoret-coret, dan barang tak berguna lainnya. “Bawa dia ke dalam mobil. Bereskan semua jejak dan hilangkan bukti. Jangan sampai satu tetes darah pun tersisa. Mengerti?” perintah Marsel pada empat orang yang kini ada di hadapannya. “Mengerti, Bos!” jawab Mereka serempak. ___***____ Dengan kepala menunduk, Nandin memasuki rumah sakit dan berjalan ke ruang bersalin. Puluhan menit lalu pihak rumah sakit memberitahu kalau Bunda nya sudah melahirkan adik perempuan. Nandin sangat tidak sabar untuk melihat adik yang telah ia nanti selama sembilan bulan itu. “Bunda,” panggil Nandin. Dia berdiri di samping brankar dan menatap wajah Adiknya yang begitu cantik. “Dia cantik mirip Bunda,” jari telunjuk Nandin menyentuh hidung mancung Sang Adik. “Kamu telat pulang dua puluh menit. Tadi ada les? Atau kamu main ke rumah teman?” Jangankan ke rumahnya. Mereka aja enggak mau dekat-dekat sama aku, jawab Nandin dalam batin. Ia menengok ke Sang Bunda, “Tadi ada tugas mendadak, Bu. Jadi aku terpaksa tetap stay di sana,” setelahnya Nandi memberikan senyuman. Tepatnya senyum palsu. “Oh, Bunda kira kamu main. Mana teman-temanmu nih? Mereka tidak mau melihat rupa adik kamu?” tanya Risa pada Sang Putrinya. Ia menengok ke arah pintu, ternyata tidak ada tanda-tanda kedatangan seseorang. “Mereka..., sibuk buat persiapan ujian nanti, Bunda.’” Perhatian Risa tiba-tiba terpusat pada coretan di belakang kerah Nandin. “Coba berbalik,” titahnya untuk memastikan. Nandin dengan ragu berbalik, memunggungi Risa. “Siapa yang mencoretkan pulpen di sini?” Mata Nandin terbeliak. Dia spontan menjauh dari Risa. Melihat ekspresi Putrinya seperti itu, Risa semakin curiga. “Ini..., bukan apa-apa, kok, Bu. Tadi waktu jamkos teman-teman aku iseng gitu. Biasalah, mereka suka bercanda.” Ujar Nandin dengan gelagat gugup. Beruntung otaknya bisa berpikir alasan dalam waktu secepat itu. “Kamu menyembunyikan sesuatu dari Bunda?” “Sesuatu apa? Emang selama ini Nandin pernah punya rahasia?” dia terkekeh sendiri untuk mengalahkan rasa paniknya. Belum sempat Risa menjawab, bayi yang berada di gendongannya menangis. Risa langsung memberikan apa yang bayi itu inginkan. “Bunda sudah menelepon Ayahmu beberapa kali untuk datang ke sini. Tapi telepon Ibu malah tidak diangkat.” “Mungkin Ayah sedang sibuk,” “Dia selalu seperti itu dan tidak menepati janjinya. Ayahmu satu pekan lalu sudah berjanji akan mendampingi Ibu melahirkan, tapi sekarang dia melanggar janjinya sendiri.” Baru saja lima detik lalu dibahas, ponsel Nandin berdering. Gadis berambut keriting itu menyeluk saku seragam. “Ayah yang telepon, Bunda.” Wajah Nandin sumringah. Tidak membuang waktu lagi, dirinya langsung mengangkat panggilan tersebut. Nandin juga menyalakan loudspeaker agar Risa bisa dengar. “Halo, Ayah? Aku sama Ibu—“ “Apa benar Anda saudaranya Bapak Raiden?” Nandin dan Risa saling bertatapan tidak mengerti sebab tak mengenali suara barusan. “Saya putrinya. Ada apa, ya, Pak?” “Pak Raiden ditemukan tewas di hutan dengan luka tembakan yang terdapat di kaki dan kepala Beliau. Dan di sampingnya juga terdapat Pria yang mati karena luka tembakan juga.” “TIDAK! AYAHMU MASIH HIDUP!” lengkingan dari Risa membuat Nandin tersentak kaget. Ia mundur beberapa langkah dengan telepon yang masih tersambung. “Sekarang jenazah Ayah saya di mana, Pak? Bagaimana peristiwa itu bisa terjadi? Siapa yang menembak ayah saya?” “Untuk penyebabnya, saya tidak tahu kenapa, tapi yang pasti Bapak Raiden akan dibawa ke rumah sakit Dahlia untuk diotopsi.” Nandin mematikan sambungan telepon. Itu artinya jenazah Ayahnya akan di bawa ke rumah sakit ini. Dia beralih memandang Risa. Mata Nandin terbeliak mendapati Bunda nya sedang memegang d**a. Terlihat seperti kesakitan. Dia segera mengalihkan adiknya itu box bayi yang ada di dekat sana. Nandin berfokus kembali pada Risa. “Bunda, bunda kenapa?” “Bunda tenang, jangan panik. A—ayah baik-baik saya. Para polisi akan membawanya ke sini. A—aku nanti akan memastikan apakah itu jenazah Ayah atau bukan. Bunda tenang, ya. Ayah pasti tidak apa-apa,” Cengkraman itu semakin menguat. Serangan jantung itu datang tiba-tiba. Risa memang mempunyai penyakit jantung koroner. Mendengar Sang Suami meninggal, dia syok, marah, sedih. Hatinya berulang kali menolak kenyataan itu. Kini oksigen terasa semakin menipis. Ia menatap sang putri yang tengah panik. “Bu—bunda, titip Elsa...” Nandin menggeleng. Ia langsung memencet tombol merah di dekatnya. Tidak membutuhkan waktu lama, seorang dokter datang bersama beberapa suster. “Kamu keluar dulu. Kami akan menangani dia,” kata Sang Dokter. Nandin terpaksa keluar. Seorang suster tiba-tiba datang padanya dan memberikan bayi yang tengah tertidur pulas. Nandin dengan hati-hati menerimanya. Tepat setelah itu, pintu ditutup. Tubuh Nandin melemas. Ketakutan itu semakin besar. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa. “Apa benar Anda Nandin Elvita?” Nandin mendongak kala seseorang memanggilnya. Ternyata seorang polisi. Langsung saja dia berdiri. “Benar. Dari mana Bapak tahu nama saya?” “Di dompet korban ada fotomu bersama foto seorang wanita.” Nandin teringat. Sang Ayah suka menyimpan foto dirinya bersama sang ibu di dompet. Foto itu diambil saat hari kelulusan SMP beberapa bulan lalu. “I—itu foto saya bersama Ibu saya. Ayah saya di mana, Pak? Dia bisa diselamatkan? Bagaimana bisa ayah saya tertembak? Siapa yang menembaknya?” cecar Nandin. “Kamu tenang dulu. Ayah kamu tidak bisa diselamatkan. Untuk memastikan kalau korban ayah kamu, kamu perlu melihatnya di ruang jenazah.” Ujar Pak Polisi. Nandin melihat Sang Adik yang masih tertidur pulas. Dia tidak mungkin membawa bayi sekecil ini ke sana. Penglihatan Nandin mengedar ke sekitar sampai akhirnya terpusat pada seorang laki-laki yang pernah ia temui di pantai. Tanpa membuang-buang waktu, Nandin mendatangi Cowok itu. “Gue titip dia sebentar,” Nandin menyerahkan adiknya yang masih bayi. Cowok itu mengerjap bingung. Meski pada akhirnya menerima karena tidak tega dengan raut Nandin yang terlihat bersedih. Nandin langsung beranjak menuju ruang jenazah diantar polisi tadi. Dia harap orang itu bukan Ayahnya. Ia harap semua kejadian buruk yang terjadi hari ini adalah mimpi. Sungguh, dia tidak bisa menerima hal ini. Pintu jenazah dibuka oleh perawat laki-laki. Kaki Nandin mendadak bergemetar. Adrenalinnya meningkat tinggi. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulit. Degup jantungnya bertambah kecepatan tiga kali lipat. Dua Pria dewasa terbujur kaku di sana dengan ditutupi kain putih. Terdapat bercak darah di sana. Polisi menunjuk jenazah yang terletak di sisi kiri. Sementara perawat laki-laki tadi mulai membuka kain itu hingga terlihatlah wajah yang sangat Nandin kenal. Nandin mematung. Tangan tremornya hendak menyentuh luka tembakan Sang Ayah, tapi ia urungkan itu dan digantikan oleh gelengan cepat kepalanya. “Eng—enggak. Ayah enggak mungkin pergi secepat ini. Ayah ngapain tidur di situ? Ayo marahi aku, Yah! Hari ini nilai harian aku jelek! Ayo marahin aku! Kenapa Ayah malah tidur? Ayah mau aku jadi anak bodoh? I—Bu udah melahirkan, Yah. Ayah enggak mau lihat Elsa? Aku yakin Elsa pengin banget digendong Ayahnya. Ayo, bangun. Bangun Ayah! BANGUN!” Nandin mengguncangkan bahu lebar Sang Ayah. Dadanya terasa sesak. Orang yang selama ini menjadi penyemangatnya kini sudah tidak ada. Teriakan itu kini terganti dengan isak pilu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD