43

2160 Words
Kedua Pria itu bertekuk lutut di hadapan bosnya. Mata seorang laki-laki yang sedang mengelilingi Mereka seolah haram untuk ditatap. “Gue udah bayar kalian mahal-mahal. Kenapa kalian gagal melakukan tugas itu?!” “Maaf, Bos. Tadi ada seorang laki-laki yang datang. Dia menghancurkan semuanya,” “Kasih tau siapa nama laki-laki itu!” “Bagas.” Sahut Pria yang sedari tadi diam. “saya mendengar nama itu ketika seorang wanita memanggilnya,” “Bagas?” Marsel mendengkus. Dia kira Arsen yang menyelamatkan Alista. Kini musuhnya bertambah satu. “Sa—saya permisi, Bos.” Iris mata Marsel yang hitam menatap Pria yang barusan angkat bicara. “Apa Lo bilang?” “I—istri sa—saya hari ini melahirkan. Dia butuh saya, Bos.” Pria paruh baya itu semakin tidak berani menatap Marsel. Ia semakin tertunduk, memandangi tanah di depannya. “Kalian berdua janji enggak akan buka rahasia tentang malam itu ke orang lain?” Marsel berjongkok, mengamati Kedua Laki-laki yang bergemetar ketakutan. “Janji, Bos.” “Saya tidak akan mengatakan apa-apa ke orang lain,” “Baiklah kalian boleh pergi.” Mereka berdua berterima kasih atas jawaban Marsel, kemudian berdiri dan berbalik badan. Marsel menyeringai. Cowok itu sudah mengeluarkan sesuatu dari balik sakunya. Dia menodongkan senjata api itu. Dalam sekejap, sebuah peluru melesat dan mengenai tepat di kepala Pria botak. Pria itu spontan terjatuh dengan darah yang mengalir. Laki-laki paruh baya yang membelalakkan mata. Dia menengok ke Marsel sebentar, sebelum akhirnya ngibrit pergi, namun sayang. Marsel bukan orang bodoh yang membiarkan calon pengkhianat pergi begitu saja dengan bebas. Cowok itu melepas peluru dan sukses mengenai kedua kaki Pria paruh baya. Marsel tersenyum penuh kemenangan. Dia mendatangi anak buahnya yang terlihat sekarat itu. Tanpa ragu, dia menginjakkan kakinya ke lengan Laki-laki paruh baya. Pria itu melihat Marsel dengan sirat penuh dendam. “Sa—saya a—akan mem...bongkar ke—jaha...tan... Ka—kamu...” “Memang Lo bisa melakukan itu? Berusaha lah sekeras mungkin, Payah! Usaha Lo akan percuma!” Marsel menginjak punggung laki-laki itu dengan penuh penekanan. Dia menodongkan pistol kembali. Dorrr! Tembakan itu mengenai kepala laki-laki paruh baya. Seketika isinya mulai berceceran keluar. Cairan merah muncrat, mengenai wajah tampan Marsel. Marsel mengusap darah yang ada di wajahnya. “Alista, gue enggak akan melepaskan lo,” ___***___ “Sofa nya letakkan di sini aja,” “Kak, tirai jendela harus diganti deh. Masa warnanya abu-abu. Harusnya yang cerah gitu biar semangat,” “Kak, ruang tengah masih kotor tuh. Sapu, ya.” “Oh iya, Lo enggak beli alat pel? Atau lupa? Harusnya Lo bawa alatnya, Kak.” Arsen memicing tajam. Sedari tadi kerjaan Alista hanya mengomel saja. Tidak membantunya sama sekali padahal, kan, kodratnya perempuan itu beres-beres rumah, masak, dan semacamnya. Arsen melempar lap yang ia pegang ke wajah Alista. Refleks Alista memekik jijik. “KAKAK!” Alista mendengus sebal. Dia menyingkirkan kain lap itu dari wajahnya. “gue udah mandi, lho, Kak! Kenapa lempar beginian coba?! Lempar jajan atau minuman botol kek! Malah lempar lap kotor!” protesnya dengan suara nyaring. “Siapa suruh diam begitu.” Arsen mengambil satu lap yang lain. Tidak ada niat untuk mengambil lap yang tadi ia lempar karena kemungkinan besar dirinya akan kena pukul oleh Alista nanti. “Lagi sakit perut ih. Masa tetap beres-beres. Lagian juga enggak mood buat bergerak banyak. Nanti nyeri di punggung gue semakin parah. “ “Paling itu akal-akalan Lo aja buat menghindar.” Alista mendelik tidak terima. “Beneran ini, loh, Kak! Ah, kayaknya Lo nggak tau gimana rasanya saat tamu bulanan datang,” “Tamu bulanan? Lo nunggak bayar tagihan kredit?” Arsen menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Alista dengan serius. Alista mematung, ia berkedip beberapa kali. “Bukan itu maksud gue, Kak.” Jawab Alista setengah gugup. “Terus apa?” “Lupain. Sana lanjut beres-beres!’” “Jawab dulu pertanyaan gue,” “Pertanyaan mana? Udah. Jangan dianggap serius. Gue tadi ngelantur enggak jelas kok,” jawab Alista berusaha menghindar. Dia tidak menyangka, sih. Kakaknya sudah sebesar itu tapi tidak tahu artinya ‘tamu bulanan’. “Aneh!’” decak Arsen. Ia melanjutkan perannya sebagai babu kembali. __***__ Angin-angin bertiup kencang malam ini. Hujan deras di luar menambah hawa dingin meskipun jendela dan segala fentilasi rumah sudah ditutup rapat. Tiga puluh menit lalu Arsen sudah menyelesaikan kegiatan beres-beresnya. Sekarang dia sedang melepas penat. Memakan camilan dan sesekali meminum kopi s**u hangat kesukaannya serta menonton film kesukaannya di televisi. Alista menggeserkan posisi duduk agar lebih jauh dari Arsen. Setelahnya dia merebahkan diri dan merebahkan kepala di pangkuan Arsen. “Kak, hari kemarin Lo bolos ke mana?” “Kemarin? Gue ke pantai buat menyegarkan pikiran,” “Serius Lo ke pantai? Kok enggak ngajak gue?” “Lah, Lo nya aja masih di sekolah,” “Lain kali kita ke pantai yuk, Kak.” Ajak Alista. Dia akui, Sudah setengah tahun ini, dia tidak ke pantai. Terakhir kali dia ke tempat itu saat kelulusan SMP. “Habis ujian,” “Gue pegang omongan Lo sekarang, ya. Awas!” “Iya bawel.” Arsen ogah-ogahan menanggapi Alista. Mengingat kejadian kemarin, Arsen menjadi teringat akan Nandin. Perempuan itu berbeda sekolah dengannya. Yang jelas, dia tidak mengetahui seragam dari sekolah mana. “Al,” “Kenapa? Mau minta maaf?” “Idih. Enggak nyambung amat,” Arsen melemparkan ciki balado yang ia pegang tadi. Alista memberesut. Ia balas melempar ciki miliknya ke wajah Arsen. “Kali aja. Dosa Lo kan banyak banget apalagi kesalahan Lo ke gue,” “Kesalahan apa? Lo kali yang punya kesalahan lebih banyak. Tadi kerajaan Lo Cuma rebahan aja, sedangkan gue beresin ini rumah.” Arsen mulai mengungkit-ungkit yang ia lakukan tadi. Alista yang mendengarnya pun menahan mati-matian untuk mengumpat. Eh, tapi emang benar, sih. Di posisi ini dia yang salah. “Udah, sih, Kak. Jangan ribut. Tadi Lo mau tanya apa?” tanya Alista, menghindari perdebatan. Kalau sampai ribut dengan Arsen, urusannya rumit nanti. “Seragam yang roknya hitam dari sekolah mana?” “Hah? Buat apa tanya gitu? Mau pindah Lo? Haah—apa jangan-jangan lo mau jadi transgender?” pekik Alista heboh. Arsen bergerak menjitak kening Alista. Tidak keras, namun cukup membuat Alista meringis. “Gue tanya, dijawab yang benar, Markonah.” “Ish! Nama udah aestethic juga malah tetap dipanggil ‘Markonah’!” sentak Alista tidak terima. Jika Arsen memanggilnya dengan sebutan tadi di depan banyak orang, bisa-bisa harga dirinya turun. “Iya bercanda. “ “Jadi seragam itu berasal dari SMA Pelita. Lo punya teman dari sekolah sana juga? Gue imbau, mending Lo jangan dekati Cewek yang namanya Bia.” Arsen terperangah. Kok Alista bisa tahu perempuan yang bernama Bia. “Lo kenal dia?” “Hah? Kakak juga kenal?” ‘”Kemarin gue ketemu dia secara enggak sengaja di pantai.” Jawab Arsen. “Aduh! Tapi Lo enggak buat ulang atau bikin mereka kesal, kan? Mending Lo menghindar aja deh! Ayah Bia itu investor terbesar di perusahaan Ibu. Kalau Lo buat si Bia marah dan Bia menghasut Ayahnya buat mencabut investasinya, bisa-bisa perusahaan Ibu bangkrut.” Jelas Alista dengan raut panik, berbeda dari sebelumnya. Arsen tertawa kecil. Andaikan Alista tahu yang sebenarnya kalau perusahaan itu adalah milik Lorenzo seutuhnya. “Kok malah ketawa?” Alista geram dengan respons Arsen. Kan, sekarang dia jadi merasa diledek. “Lihat aja, siapa yang paling berkuasa nanti. Gangguin Cewek kayak si Bia, kelihatannya seru.” ___***___ Alista masuk melewati gerbang sekolah yang sudah terbuka. Wajah yang memiliki vibes positif itu terus melemparkan senyum pada kakak-kakak kelas yang menyapanya. “Al, tunggu.” Marsel menarik lengan Alista dari belakang. Senyum di bibir Alista memudar. Raut wajahnya berubah menjadi datar. “Apa?” “Lo kemarin enggak pa-pa? Maaf, Al. Aku pulang duluan karena penbantu rumah telepon kalau Ibu pingsan. Tadi malam enggak terjadi sesuatu, kan?” Marsel memandang tubuh Alista dari bawah sampai atas. “hm?” lanjutnya berdeham karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Alista. Alista membuka mulut, hendak menjawab. Melihat seseorang di sebrang jalan sana, dia menatap Marsel kembali dan menjauhkan dirinya dari Cowok tersebut. “Kita putus sekarang,” Marsel tercengung. “Apa? Putus?” “Jangan dekat-dekat aku lagi sekarang. Aku kecewa. Kamu ninggalin aku begitu aja di tempat itu. Please, jangan memaksa aku untuk bertahan, Mar.” Alista melepaskan tangan Marsel yang menggenggamnya. Alista memutar badan, lantas melanjutkan langkahnya kembali ke kelas. “Alista, tunggu. Aku—“ “Lo enggak dengar kata sahabat gue? Jangan memaksa buat bertahan.” Kata Bagas yang kebetulan lewat. Marsel perlahan mengepalkan tangan. Gara-gara Bagas, semua rencananya hancur. “Tunggu,” Bagas menengok. “Habis pulang nanti kita ketemu di rooftop.” “Enggak ada waktu gue,” Bagas akan kembali berjalan. Namun perkataan Marsel berhasil membuat dia mengurungkan niat. “Ini tentang Alista.” ___****___ “Alista sayang, gue dengar Lo habis mutusin Marsel di dekat gerbang tadi, ya? Berarti udah jomblo lagi dong? Ayo, pacaran sama Bang Altair aja. Dijamin, Abang mah setia.” Altair menyugar rambut sambil menaikturunkan alis. “Mending gue lajang seumur hidup daripada sama Lo,” sanggah Alista, mulai menyapu debu yang ada di samping kaki Altair. “Yhahahahaha! Barusan Lo ditolak, Bro?’ Aji yang duduk di dekat mereka, tertawa ngakak. Baru pertama kali ini dia melihat Altair ditolak oleh seseorang. “Lagian enggak nyadar banget Lo. Modal wajah kayak tukang angkot aja ngarepin pacaran sama bidadari kayak Alista.” timpal Sandra. “Berisik kalian berdua.” “Wey..., Santai, Bro.” Aji menepuk pundak Altair. “EH, ALTA! LO BILANG APA TADI?! ALISTA MUTUSIN MARSEL DI DEKAT GERBANG?!” heboh Rifka. Kalau perihal begituan, Rifka yang paling maju di garda terdepan. “Aduh! Berisik ih!” Kiara mengusap-usap telinga. “kuping gue lama-lama tuli denger Lo teriak terus.” “Berisik, Ra! Ini berita terbaru. Perlu di update.” Rifka mulai mengeluarkan ponsel. Jari-jarinya itu mengetik informasi yang dia dapat tadi. Di ambang pintu sana, Alista masih menyapu karena hari ini jadwal piketnya. Dia tidak melarang apalagi keberatan mengetahui Rifka menyebarkan berita itu. “Al, kok Lo diem aja, sih?” Kiara terheran-heran. “berarti berita itu benar?” “Iya, Kiara cantik. Berita itu benar dan dia sekarang udah jadi pacar gue satu-satunya.” Sahut Altair. “Gak nanya!” balas Kiara sewot. Entah kenapa kalau dia berbicara dengan Altair, bawaannya emosi. Alista mendekati Kalista dan menyerahkan sapu yang dia pegang. “Giliran Lo,” “Makasih, Al.” “Hah? Karena?” “Karena Lo udah dengarin nasihat gue,” Karisa menarik sudut bibir. Alista membalasnya. Namun di dalam hatinya dia merasa bersalah karena sudah membohongi semua orang. “Jantung gue bermasalah! Lo manis banget, sih, Al!” lagi, Altair melemparkan gombalan. Alista terkekeh. Ia melirik ke arah Altair. “Lo juga ganteng.” Para murid laki-laki yang ada di dalam kelas spontan berteriak heboh. Mereka iri dengan Altair. Lama kelamaan situasi kelas menjadi ricuh. Ada yang menjadi pengamen dadakan, menyanyi tidak jelas, saling mengusili satu sama lain, dan kejar-kejaran tidak jelas. Hari sudah semakin siang, namun guru yang seharusnya mengajar belum datang juga sekarang. Melihat teman-temannya sedang memojok menyaksikan film horror bersama-sama, Alista memanfaatkan itu untuk menemui seseorang. Kaki jenjangnya melangkah keluar. Tidak ada satu murid—ralat, ada satu murid yang melihat Alista keluar. Murid laki-laki itu mengikuti Alista secara diam-diam. Alista berhenti di depan kamar mandi. Di sana sudah ada seseorang yang menunggu dan memasukkan kedua tangannya di saku celana. “Marsel, aku datang.” Marsel membalikkan badan. Senyum yang membuat Alista candu itu akhirnya Marsel tampakkan. Alista memeluk tubuh Marsel. “Kamu beneran maafin atas kesalahan aku?” “Kenapa enggak? Aku tau itu bukan sepenuhnya salah kamu.” Alista melengak, memandang wajah Marsel yang berjarak dekat dengannya. “sekarang gimana keadaan Ibu kamu? Calon adik sama Ibu kamu enggak apa-apa, kan?” “Mereka baik-baik aja, Sayang.” “Sekarang semua orang tahu kalau kita udah putus. Kita jalanin semuanya diam-diam aja, ya?” “Tapi kamu mau enggak, mengabulkan satu permintaan aku?” Alista mengangguk cepat menanggapinya. “Permintaan apa?” bersamaan dengan pertanyaan itu, Marsel melepaskan pelukan. “Jauhi Bagas. Dia bukan orang yang tepat buat jadi sahabat kamu,” “Apa?” Alista langsung menggelengkan kepala. “dia baik banget kok. Kamu lupa kalau semalam Bagas yang menyelamatkan aku?” “Persahabatan Cowok dan Cewek itu enggak bertahan lama, Al. Pasti kalian suatu saat nanti akan saling suka. Aku yakin hal itu karena aku sendiri pernah mengalaminya. Aku mau kamu tetap suka aku. Bukan Cowok lain,” tutur Marsel. Alista malah terkekeh kecil. “Ya ampun, enggak bakal, Mar. Aku sama dia sebatas teman doang. Udah.” “Kamu enggak bisa menjamin hal itu,” “Aku bisa menjamin hal itu enggak akan terjadi,” jawab Alista dengan mantap. Dia mendekap tubuh Marsel lagi. Tidak tahu kenapa, Alista merasa nyaman. Sementara Marsel mulai menoleh ke seseorang yang menguping di sudut sana. Seringaian seram dari Marsel berhasil membuat orang itu menunduk dan pergi. Berpura-pura tidak melihat interaksi Alista dan Marsel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD