Putri memaksakan senyum yang sangat manis di depan wajah Gandi. Lalu dia mengusap tangan Gandi dengan gerakan yang sangat lembut.
"Jangan terlalu panik, Gan. Jangan juga tersulut emosi. Jika kamu belum ingin Nadia mengetahui tentang pernikahan kita, maka teruslah menghindari pertanyaannya. Lama-lama dia juga akan menyerah."
Gandi menatap menatap wajah Putri yang cantik. Dari kerling matanya, istri keduanya itu mengajaknya bermain-main. Oh, dia tidak menyesal mengikuti saran kedua orangtuanya untuk menikahi Putri karena perempuan ini sangat hot dan menyenangkan. Gairah mudanya bangkit kembali lewat Putri.
Gandi memindahkan tangannya ke kerah piyama Putri. Kedua tangan kokohnya mulai membuka kancing piyama itu. "Kamu benar. Selama dia tidak melihat langsung kita bersama, maka kecurigaannya itu hanyalah bualan belaka."
"Dan sebaiknya, kamu harus pintar-pintar mencari waktu bersamaku. Jangan setiap malam ada di sini. Akibatnya fatal. Dia bisa curiga," sahut Putri lembut dan setengah mendesah. Tangannya juga mulai membuka kancing baju Gandi.
Gandi tersenyum. "Ternyata kamu lebih bijaksana dibandingkan Nadia. Kamu bisa memposisikan diri kamu sebagai istri kedua. Kamu tidak serakah. Baiklah aku akan mencari waktu untukmu agar Nadia tidak curiga. Dan yang pasti, kamu lebih menyenangkan dibandingkan Nadia."
Kini Putri yang tersenyum. Ternyata Gandi masuk ke dalam tipu dayanya. Tentu saja dia hanya pura-pura bijaksana demi mendapatkan hati Gandi. Sesungguhnya, dia pun ingin menguasai Gandi sepenuhnya.
Siapa sih wanita yang tidak menginginkan Gandi? Gandi itu adalah pria tampan yang kaya raya. Keluarganya memiliki perusahaan sendiri. Maka, wanita yang bisa menikahi Gandi sangat beruntung.
Begitu pun Putri. Dia tidak menyangka kalau akhirnya dia bisa menjadi istri Gandi juga. Sepertinya, semesta memang mendukungnya dengan sulitnya Nadia hamil. Dan akhirnya, Ambar mengambilnya sebagai menantu.
Putri tidak akan menyia-nyiakan statusnya saat ini sebagai istri Gandi. Dia akan menjadi istri satu-satunya setelah menyingkirkan Nadia dengan cara yang manis.
"Hei, kenapa kamu melamun, sayang?" Gandi mengangkat dagu Putri dengan lembut. "Aku ada di sini. Janganlah melamun. Aku membutuhkanmu."
Putri kembali tersenyum. Dia lalu menempelkan bibirnya ke bibir Gandi. Keduanya kemudian tenggelam dalam hasrat yang menggebu-gebu.
Sebelum ini, tepatnya setengah bulan yang lalu saat Gandi dan Nadia diundang datang ke rumah orangtuanya untuk makan malam, Gandi memang tidak punya niat untuk menikah lagi. Tapi begitu melihat calon istrinya adalah Putri, Gandi seperti tidak berdaya. Putri adalah wanita yang sangat dicintainya di masa lalu. Dan cinta itu masih ada meskipun dia sudah menikahi Nadia.
Apalagi alasan kedua orangtuanya menyuruhnya untuk menikah lagi cukup kuat. Yaitu menginginkan bayi darinya. Lebih tepatnya orang yang sudah menikah harus memiliki keturunan sebagai ahli warisnya nanti.
Akhirnya di malam itu juga Gandi cenderung menerima perjodohannya dengan Putri meskipun bibirnya mengatakan meminta waktu. Tapi esok harinya pikirannya cenderung pada Putri. Di hari itu juga dia mengambil keputusan untuk tidak menunda pernikahannya sebulan lagi melainkan secepatnya.
Beberapa hari kemudian, Gandi menikahi Putri secara siri dan mereka langsung pergi ke Bali untuk berbulan madu.
***
Malam beranjak semakin larut. Nadia berdiri di jendela ruang tamunya menatap halaman depan. Dia menanti seseorang yang tadi pergi pulang. Tapi ini sudah pukul 12 malam. Sepertinya di jam selarut ini yang ditunggunya itu tidak akan pulang lagi.
Dengan wajah muram, Nadia menutup tirai jendela. Dia mengambil duduk di sofa dan termenung. Saat ini dia berpikir apakah saat ini dirinya telah melakukan hal yang salah hingga Gandi sangat marah?
Oh, mungkin marahnya memang sudah keterlaluan. Dia menuduh Gandi berselingkuh hanya dari praduganya, c*****************a yang ditemukan di koper, dan berdasarkan cerita Meli. Bisa jadi Gandi memang sibuk sehingga tidak bisa membalas pesan dan telponnya, bisa jadi celana dalam itu memang tak sengaja terbawa dari hasil laundryan, dan bisa jadi Meli serta suaminya salah menandai suaminya karena orang yang mirip di dunia ini banyak.
Nadia jadi menyesal. Kecurigaan membuat hubungannya dengan Gandi menjadi tidak baik. Harusnya dia tidak terbawa suasana dan tetap melayani Gandi sepertinya biasanya agar suaminya itu tidak berpaling pada wanita yang dijodohkan mertuanya. Dengan sikapnya tadi, bisa-bisa Gandi benar-benar akan menikahi Putri.
Nadia gundah gulana. Dia mengecek ponselnya. Pesan-pesan darinya hanya centang satu yang artinya ponsel Gandi tidak aktif. Dia ingin menelpon Ambar untuk menanyakan keberadaan Gandi yang barangkali ada di rumah mertuanya tersebut, tapi tidak punya keberanian karena ini sudah larut malam. Dia yakin Ambar sudah tidur. Kalau pun Gandi ada di rumah mertuanya itu, pasti sudah tidur juga.
Nadia menghela nafas berat. Perasaannya kini semakin campur aduk tidak karuan. Menyesal, rasa bersalah, dan takut bercampur baur menjadi satu.
Jadilah Nadia tidak bisa tidur malam itu. Semalaman dia hanya pindah dari satu tempat ke tempat lain. Di pukul 6 pagi, dia ke dapur ibu untuk memasak. Dia berharap Gandi pulang.
Ternyata harapannya berbuah nyata. Pukul 7 pagi terdengar deru mesin mobil Gandi yang sudah sangat dihafalnya. Nadia pun bergegas meninggalkan dapur untuk membukakan pintu.
"Akhirnya mas pulang juga," ucap Nadia dengan senyum kaku.
Gandi melirik Nadia sekilas. Tapi tanpa senyum. Pria itu lalu melangkah ke dalam rumah dengan wajah marah.
Nadia menghela nafas dengan wajah yang sedih. Ternyata Gandi masih marah kepadanya. Mungkin dia harus segera meminta maaf agar tidak berkepanjangan.
"Mas, aku minta maaf atas sikapku kemarin," ucap Nadia begitu Gandi mengambil duduk di kursi makan untuk sarapan.
Gandi melirik Nadia yang duduk di hadapannya. Lalu dia menatap lekat istrinya tersebut. "Kamu yakin dengan ucapan maaf kamu? Jangan-jangan hanya di mulut saja sedangkan hati masih menjudge aku selingkuh."
"Aku yakin kok mas dengan pernyataan maafku. Aku tidak akan menuduh sembarangan lagi sebelum melihat dengan mata kepala sendiri."
"Baguslah kalau begitu. Aku jadi bisa tenang." Gandi menyinduk nasi goreng ke piringnya.
"Jadi mas memaafkanku?"
Gandi mengangguk. "Hum."
Wajah Nadia langsung berseri. "Terima kasih ya, mas."
"Ya. Tapi ingat jangan kamu ulangi lagi."
"Iya," jawab Nadia dengan semangat. Namun seketika senyumnya memudar. "Mengenai perjodohan mas dan Putri bagaimana?"
Gandi menggigit bibir bawahnya. Mau sampai kapan Nadia mempertanyakan hal ini jika tidak dituntaskan.
"Eee, baiknya tidak perlu kamu bahas lagi tentang itu. Selama kamu tidak mendengar aku akan menikah dengan Putri, maka lupakanlah tentang perjodohanku itu dan anggap tidak pernah terjadi. Kamu mengerti?"
Nadia mengangguk dengan wajah bingung. Tapi Nadia mengikuti apa maunya Gandi demi agar suaminya tersebut tidak lagi marah kepadanya dan pernikahan tetap berjalan dengan baik. Karena bagaimana pun, dia masih mencintai Gandi. Dia belum ingin kehilangan suaminya tersebut.
Yang membuat Nadia merasa aneh, sejak saat itu tidak ada lagi pembahasan tentang perjodohan Gandi dengan Putri. Kedua orangtua Gandi pun khususnya Ambar, tidak lagi menelponnya untuk memintanya merestui rencana pernikahan suaminya dengan Putri dan tidak menghambat.
Meskipun terasa ada yang ganjil di sini, Nadia berharap kalau rencana itu dibatalkan. Meskipun dia wanita yang tidak sempurna karena tidak bisa hamil, tapi dia belum siap untuk merasakan sakit berbagi suami. Dia tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi. Jangankan melihat suami bermalam dengan wanita lain, melihat suami dekat dengan wanita lain saja hatinya sudah merasa cemburu.
Bersambung.