Sidik Jari Pada Ponsel

1160 Words
Hugo adalah seorang pria dewasa berusia 38 tahun. Dia tidak hanya memiliki perusahaan yang kuat dan tak tergoyahkan, tapi juga memiliki wajah yang teramat tampan. Dengan mata coklat dan tajam seperti tatapan elang, dia menandai mangsanya. Tentu saja sasarannya adalah wanita pilihan yang sesuai dengan seleranya. Lalu para wanita itu tak bisa lari kerena Hugo begitu mempesona. Hati mereka akan langsung meleleh setiap kali Hugo menatap apalagi menyentuh. Maka, jangan tanya yang selanjutnya. Wanita itu akan naik ke atas tempat tidur dan berada di bawah tubuh Hugo yang kekar. Tapi akhir-akhir ini tak ada wanita yang ditidurinya. Bukan karena Hugo tak menarik lagi, penyebabnya adalah Hugo yang tidak berselera pada mereka. Di pikiran yang biasanya liar itu, ada seorang wanita yang kini mengganggunya. Wanita yang awalnya mengira dirinya adalah seorang supir taksi dan membayar tiga ratus ribu secara diam-diam meskipun dirinya sudah menolak. Rupanya sang wanita tidak mengindahkan larangannya waktu itu dan tetap membayar. Wanita itu tidak mengenal dirinya yang paling tidak suka disepelekan. Maka sejak dia menemukan uang tiga ratus ribu itu di pintu mobilnya, dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk melakukan apa yang telah dia katakan pada wanita itu. Yaitu mendapatkan bibirnya. Dan juga membawa wanita itu ke dalam pelukannya. "Maaf tuan, kita akan kemana sekarang?" tanya Alex, assisten pribadi Hugo. "Griya permadani blok be nomer dua belas," jawab Hugo dingin. Dia bahkan hafal lokasi itu meskipun tidak secara sengaja menghapalnya. Alek mengangguk. "Baik, tuan." Mobil pun terus berjalan menyusuri jalanan beraspal itu. Jalanan yang selalu ramai dan tidak pernah sepi meskipun malam hari tiba. Apalagi di waktu sore seperti sekarang ini. Hingga tibalah mereka di tempat yang dituju. Yaitu rumah nomer 12 di blok B dari Griya Permadani. Tapi Hugo meminta Alex untuk menepi di kanan jalan atau berseberangan dengan rumah yang dituju. Alex menurut saja pada apa yang diminta oleh sang tuan. Rumah itu tampak asri. Mungil dan modern. Halamannya pun tak luas. Jadi terkesan mungil dari berbagai sisi. Alex melirik Hugo dari spion tengah. Tuannya itu tidak melakukan pergerakan apa pun selain memandang rumah nomer 12 itu dari dalam mobil. Rumah itu terlihat sepi dan pintunya tertutup. Alex tidak mengerti mengapa mereka harus ada di sini jika tidak melakukan apa-apa. "Maaf tuan, apa yang harus aku lakukan di sini?" tanya Alex penasaran. "Tidak ada. Kamu diam saja, begitu pun dengan aku." Alex menipiskan bibir. "Ah. Ya. Baiklah." Alex pun tidak bertanya lebih lanjut. Dia diam sembari sesekali melirik ke rumah nomer 12 tersebut. Tiba-tiba seorang wanita muncul dari balik pintu depan yang terbuka sembari membawa gunting tanaman. Wanita itu lalu membungkuk memeriksa bunga yang mekar dengan bibir tersenyum dan mata yang berkerling indah. Alex melihat apa yang ditangkap oleh korneanya. Dia lalu menoleh dan mendapati Hugo tengah menatap ke sana dengan tatapan nyaris tanpa kedipan. Alex pun jadi tahu alasan keberadaan mereka di sini saat ini juga. Alex melihat wanita itu lagi. Memang sangat cantik dengan tatapannya yang sendu. Kecantikan alami tanpa make up. "Apa yang harus saya lakukan pada wanita itu, tuan? Apakah saya harus membawanya ke tempat tidur anda?" "Tidak ada," jawab Hugo tetap tanpa menoleh. "Tidak ada yang harus kamu lakukan selain diam dan jangan bertanya lagi." Dahi Alex mengerut, tidak mengerti apa maunya sang tuan. Apa dengan hanya melihat saja pria itu merasa puas? Ah, entahlah. Sementara itu, Hugo merasakan hal yang aneh pada dirinya. Biasanya kalau dia tertarik pada seorang wanita, khayalannya ke atas tempat tidur. Tapi tidak pada wanita yang diperhatikannya saat ini. Ada khayalan panjang yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Yang pasti, dia tidak bosan memandang wajah wanita itu untuk waktu yang lama. Dan anehnya dia membiarkan perasaan yang berbeda itu berkelana liar dalam benaknya tanpa arah tujuan. Tapi dia yakin suatu hari nanti keinginannya ini bakal terlabuhkan. Setelah merasa puas memandangi, Hugo memutuskan untuk menyudahi menikmati keindahan ciptaannya tadi. Dia meluruskan pandangan ke depan. "Kita tinggalkan tempat ini," ucap Hugo tiba-tiba. Lirih tapi tegas. Alex mengangguk. "Baiklah, tuan." Alex pun memegang setir kembali dan mobil pun perlahan bergerak maju. Sementara itu, Nadia yang sedang asyik dengan tanamannya tidak menyadari ada dua orang yang tadi memperhatikannya hingga dua orang itu pergi lagi. Dia asyik melakukan apa yang sedang dikerjakannya dengan perasaan senang. Tak lama setelah kepergian Hugo, Gandi tiba. Nadia bersegera menyambut suaminya itu dengan mencium tangan. Keduanya lalu masuk ke dalam rumah kecil bergaya modern mereka. Persis seperti pasangan yang harmonis dan penuh cinta. Padahal sudah ada pembohongan besar di sana. Tapi tidak ada sebuah kebohongan yang sempurna. Cepat atau lambat pasti akan ketahuan juga. Nadia terhenyak begitu mendapati bentuk bibir berwarna merah di bagian punggung jas yang dikenakan oleh Gandi. "Lipstik siapa ini?" gumam Nadia sembari menatap bentuk bibir itu lekat. Dia lalu mencoba mengaitkannya dengan cerita Meli beberapa waktu lalu. Yaitu tentang pria yang mirip dengan Gandi di Bali. Dengan adanya bekas lipstik ini, dia jadi curiga kalau laki-laki yang dilihat oleh Meli dan suaminya adalah benar suaminya. Deg. Jantung Nadia berdegup kencang memikirkan hal ini. Meskipun sikap Gandi kepadanya sangat baik akhir-akhir ini, tapi tak bisa menghentikan kecurigaan. Walaupun begitu, Nadia tidak akan berkoar-koar terlebih dahulu pada Gandi apalagi marah-marah. Dia butuh bukti lain. Yaitu yang terlihat dengan mata kepalanya sendiri. Nadia mencoba menenangkan pikirannya sekaligus menahan emosinya. Dia hendak membawa pakaian kotor Gandi keluar kamar tapi terhenti begitu melihat ponsel Gandi yang tergeletak di atas tempat tidur. Nadia memandang ponsel itu nanar. Rasanya dia akan menemukan bukti lain di dalam ponsel tersebut. Ya, seperti yang sering ditemukan istri-istri lain yang berhasil membongkar perselingkuhan suami. Nadia mendekati ponsel tersebut. Sebelum menyentuhnya, dia menoleh ke pintu kamar mandi untuk memastikan Gandi masih di dalam sana dan tidak melihat apa yang dilakukannya sekarang. Mendapati pintu masih tertutup rapat, dia merasa aman. Ponsel itu pun diambilnya. Nadia bersiap untuk mengetahui sesuatu dari dalam sana. Tapi dia kecewa sekaligus kesal setelah mengetahui ponsel Gandi ternyata menggunakan sidik jari. Perasaan Nadia kian tidak enak saja. Selama ini Gandi tidak pernah memasang sidik jari atau pengaman apapun. Tapi kenapa sekarang suaminya itu jadi ingin isi ponselnya tidak diketahui oleh istrinya sendiri? Bukankah ini adalah tanda-tanda ada yang Gandi sembunyikan darinya? Klak. Pintu kamar mandi terbuka. Nadia cepat-cepat menaruh ponsel itu ke tempatnya semula dalam keadaan di balik agar cahaya ponsel tidak terlihat karena baru dinyalakan. Jantungnya berdebar kencang dan berharap Gandi belum sempat melihat apa yang dilakukannya. "Sedang apa kamu di sana, Nad?" tanya Gandi dengan pandangan menyelidik. Nadia segera menyiapkan senyum dan menoleh. "Eh, mas. Tidak apa-apa. Aku mau membawa pakaian kotor ini ke luar. Dan terhenti ketika melihat layar ponselmu menyala sendiri. Aku pikir ada pesan atau apa. Tapi ternyata kamu memasang pengaman." "Oh, iya. Aku memang memasang pengaman karena agar file-file penting tidak bocor kemana-mana." "Begitu ya? Hanya saja mengapa mas melakukannya sekarang dan tidak dari dulu. Sepertinya mulai sekarang kita tidak lagi bisa saling keterbukaan ya?" Gandi terdiam. Dia tertohok dengan ucapan Nadia. "Ya sudah, mas. Aku mau ke tempat cuci baju dulu." Tak menunggu Gandi bereaksi atas ucapannya, Nadia segera keluar dari kamar. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD