Bab 1

1015 Words
“Apa? Proyek di Istanbul menang lagi?” “Iya, Pak, memangnya kenapa, ya? Maaf, harusnya, kan, Bapak bahagia.” Zaki terlihat pucat mendengar kabar proyek di berbagai tempat serempak berhasil dalam satu hari, tak menyangka akan sesukses itu dalam berkarier, sampai dia sendiri lupa untuk mencari pendamping hidup lagi. Bukan, itu semua bukan tanda tak bersyukur. Hanya saja Zaki terlalu lelah untuk mengatur dan mengurus semuanya sendirian, sudah banyak tender yang sudah diraih, tetapi belum satu pun ada wanita yang dia dapat. “Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?” “Handel semuanya, katakan nanti saya nyusul. Ada sesuatu yang harus diselesaikan terlebih dahulu,” titah Zaki. “Tapi, ini meeting yang sangat penting, Pak.” “Lebih penting mana ibadah atau pekerjaan? Hmm? Sudah sana kamu urus semuanya dulu, kamu jauh-jauh dari Bengkulu saya bawa ke Turki untuk bekerja sebagai sekretaris, bukan untuk pengatur kehidupan pribadi saya! Mengerti, Humaira?” Humaira pun mengangguk dan tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menuruti semua perintah bosnya itu, orangnya baik dan sangat taat kepada Allah SWT, sejauh ini seperti itulah penilaian untuk Zaki dari sekretarisnya. Setelah Humaira ke luar dari ruangannya, Zaki berkutat kembali dengan laptop sebentar lalu benar-benar menutup semua alat dan bahan pekerjaan, menuju ke tempat yang paling ternyaman bagi Zaki selama di Turki, masjid biru. Hanya kepada Allah SWT dia berserah diri, apapun itu, Zaki pasrahkan. Beberapa kali sudah meraih kesuksesan dengan baik, masih belum cukup untuk membahagiakan diri sendiri. Mengambil air wudu, menyucikan diri lalu menunaikan ibadah salat, memohon ampunan dan meminta sebuah petunjuk. Apakah ini jalan takdir Zaki? Sukses dalam karier tetapi tidak dengan cinta. Setelah itu, Zaki membuka resleting tas kerjanya, membuka Alquran yang berukuran sedang, membacanya dengan fasih. Melantunkan ayat-ayat suci Alquran dengan sangat merdu. Terlalu fokus dalam beribadah, sampai dia melupakan suatu hal di luar sana, seorang wanita cantik yang sudah berdiri tepat di belakang Zaki pun terus menatap punggungnya dengan kagum. “Laki-laki ceroboh ini ternyata bagus banget suaranya, ya.” Sembari menunggu Zaki selesai, wanita itu pun langsung duduk begitu saja mendengarkan lantunan yang seirama dengan degup jantungnya. “Alhamdulilah, tenang sudah hati ini,” lirih Zaki setelah selesai semuanya. Menyimpan kembali Alquran ke dalam tas, lalu berniat untuk bangkit dari duduknya, tetapi tak sengaja kakinya menginjak daging serta tulang yang dirasa itu juga adalah kaki seseorang. “Awww! Sakit tahu!” “Hei? Maaf, kamu siapa, ya? Saya tidak lihat ada orang di belakang,” ucap Zaki, memohon maaf. “Makanya jadi orang itu jangan ceroboh banget deh, nih aku kembalikan, assalamualaikum,” pamit wanita itu, setelah memberikan paspor kepada Zaki. Zaki yang hanya melongo pun langsung ingat kembali, benar-benar sudah ceroboh. Andai tidak ada wanita tadi, pasti Zaki tidak bisa kembali ke Indonesia lagi nantinya. Lupa membawa paspor ke dalam masjid karena saking fokusnya beribadah, sampai-sampai ceroboh menitipkannya ke tempat penitipan barang, padahal paspor barang yang sangat berharga. “Hmm waalaikumussalam, siapa wanita tadi? Saya kejar kok sudah hilang saja, nyebelin memang dari cara bicaranya, tapi baik juga mau mengembalikan ini semua dan bisa tahu dari mana ini milik saya, ya,” ucap Zaki yang tidak berhasil menemukan wanita itu. Tetap mencari di sekitar masjid biru, tetapi tidak ada hasilnya, Zaki tidak menemukan wanita itu, padahal belum sempat berterima kasih. *** “Masya Allah, Umi serius? Aku udah besar, Umi, mana mungkin mau dibelikan seperti itu,” ucap Naya, merasa malu karena uminya masih membelikannya sepeda mini. “Umi bukannya mau mempermalukan kamu, tapi kamu sendiri yang menolak semua fasilitas dari abimu. Mobil ditolak, apapun ditolak, ya sudah Umi berinisiatif untuk membelikan sepeda saja.” “Tapi, itu ... sepeda anak-anak, Umi. Naya udah besar loh, udah 25 tahun, dewasa banget. Masa sepeda mini warnanya pink,” cicit Naya. “Jadi, kamu nggak mau, nih, terima pemberian dari Umi? Tadi juga kamu ke masjid pasti jalan kaki lagi, kan? Ayolah, terima ini semua.” “Umi, ke masjid itu jaraknya nggak jauh dari rumah kita, nggak usah berlebihan deh. Gini nih malesnya nikah sama orang kaya diatur terus aja nurut terus kayak Umi!” Abinya yang saat ini tengah duduk bersebelahan dengan uminya pun sampai tersedak padahal tidak sedang makan apalagi minum. “Kenapa kamu jadi menyalahkan Abi? Apa salah Abi sama kamu, Naya?” tanya abinya, akhirnya ikut membuka suara. “Maaf, Naya capek. Mau ke kamar dulu, assalamualaikum,” pamit Naya, dia masih sangat terpuruk karena kejadian waktu itu, saat harta yang mengakibatkan kematian saudara kembarnya yaitu Nara. Semenjak kematian saudara kembarnya, Naya tidak menyukai orang kaya raya siapapun itu, harta banyak? Serba kecukupan? Kalau nyawa tidak ditolong dengan harta itu hanya karena hemat, lalu untuk apa gunanya semua uang itu? Bagi Naya, orang kaya itu jahat! Biadab, dan tidak punya hati nurani, termasuk abinya sendiri. Naya menolak semua fasilitas pun bukan karena apa-apa, hanya untuk menutupi bahwa dirinya itu anak orang kaya, dia tidak mau semuanya tahu siapa dirinya yang sebenarnya, selalu mengaku pada orang bahwa dia adalah Nara bukan Naya. Berbohong, tidak masuk ke kamar melainkan kembali ke masjid biru untuk menenangkan pikiran lagi, akhirnya pun bertabrakan dengan Zaki saking kesalnya, Naya mendorong tubuh kekar itu. “Hei? Kamu lagi? Ada apa? Kok jalannya kayak gitu,” tanya Zaki. “Dih, kenapa, sih, ketemu sama kamu lagi, mana ketemu lagi di masjid, nggak punya rumah juga?” “Punya, saya punya rumah di sini. Perihal saya yang ada di sini, ya, karena saya umat Islam, ibadah di sini untuk umum,” sahut Zaki. “Ih, nyebelin.” Baru saja wanita itu akan pergi lagi, tetapi Zaki langsung mencegahnya. “Sebentar, jangan dulu pergi. Saya masih punya urusan sama kamu,” ucap Zaki. “Mau apa, ya? Bukannya tadi paspor dan semuanya udah aku kembalikan sama kamu, kenapa lagi?” “Tarik napas ... buang perlahan, ayo, ikuti saya.” “Apaan, sih, gajelas. Emang kamu pikir aku mau lahiran apa!” “Hah? Emangnya tarik napas untuk yang mau lahiran saja, ya?” tanya Zaki polos. Sungguh gemas, Naya menginjak kaki Zaki dengan gemas, sekaligus membalas perbuatan Zaki di dalam masjid tadi. “Aww, balas dendam, nih, ceritanya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD