Bab 2

1056 Words
“Siapa yang balas dendam, sih, orang nggak sengaja juga.” “Iya ha ha jangan emosi terus dong, masih muda juga,” ledek Zaki. “Idih nyebelin banget, udah ah ngapain juga ngobrol sama orang kayak kamu, bye assalamualaikum,” ucapnya lagi, benar-benar pergi dari hadapan Zaki. Zaki pun hanya bisa geleng-geleng saja dengan tingkah wanita itu, entah siapa namanya belum sempat bertanya, yang jelas Zaki sudah tahu wajahnya seperti apa. Mengingat wajah wanita itu pun untuk kepentingan nantinya, bukan karena hal pribadi Zaki. Melanjutkan perjalanan kembali menuju ke gerbang untuk mengambil mobilnya yang masih terparkir, Zaki untuk kesekian kalinya bertemu dengan wanita itu lagi. “Kamu lagi, kan? Kenapa kita jadi bertemu terus-terusan, ya,” ucap Zaki. “Idih, kok kamu lagi, sih? Kamu ikutin aku, ya?!” “Enak saja, saya mau pulang makanya ke sini mau ambil mobil, jangan-jangan kamu yang ngikutin saya karena naksir, ya?” Zaki sengaja iseng untuk mengetes apakah wanita itu murahan atau bagaimana? “Ya Allah, ada, ya, laki-laki yang pedenya luar biasa kayak kamu, amit-amit tahu nggak suka sama kamu apalagi sampai naksir,” cecar Naya. “He he, bergurau, kamu asli orang sini? Atau blasteran?” “Bukan urusan kamu, siapa, sih, ganggu aja.” “Kamu memangnya lagi ngapain di parkiran? Bukannya salat sana,” cicit Zaki. Naya melototi kedua mata Zaki, entah kenapa walaupun ditatap setajam silet pun aura wanita itu tetap terpancar dengan baik, luar biasa sekali aura keibuannya. “Heh? Zina mata tuh, ngeliatin aku sampai segitunya, naksir bilang dong,” ucap Naya. “Apaan, sih, saya tanya serius sama kamu sekarang, nama kamu siapa? Tinggal di mana biar saya sekalian antar pulang,” tanya Zaki dengan tulus. “Ngapain nanya nama? Pasti ujung-ujungnya mau minta nomor ponsel, ya?” “Ya Allah, jangan berprasangka buruk terus sama saya. Nggak ada maksud apa-apa selain tanya nama doang, terima kasih untuk kebaikan kamu sudah mengembalikan barang-barang saya tadi.” Naya memperhatikan gerak-gerik Zaki dari atas kepala sampai ujung kaki, tak bisa berkata-kata lagi selain langsung percaya bahwa Zaki bukanlah orang jahat. “Oke, nama aku Nara.” “Nara? Nama yang indah, salam kenal ukhti,” ucap Zaki tersenyum. “Ish, apaan, sih, udah tahu nama mah nyengir.” “Nggak ada niatan buat nanya balik, Nara?” “Ha ha, berharap juga ditanya siapa namanya gitu, ya? Bodo ih mau namanya siapa kek, aku nggak ada urusan sama kamu, pamit dulu mau pulang, jangan ikuti aku lagi, assalamualaikum.” “Nara ... tunggu, waalaikumussalam,” jawab Zaki. “Cepet banget dia larinya, ya sudahlah mendingan secepatnya saya kembali ke kantor.” Zaki pun senyum-senyum sendiri di sepanjang perjalanan, mengingat kembali bagaimana cara mereka berkenalan di masjid biru tadi, menyebalkan bahkan judes, tetapi baik hatinya. “Pakaian dia sopan, walaupun nggak pakai jilbab, setidaknya sopan. Tapi, kok saya merasa dia ada masalah yang ditahan sendiri, ya? Dipendam gitu, ah kenapa juga jadi mikirin dia astaghfirullah.” Merasa begitu, seperti ada yang terjadi pada wanita tadi, Nara yang dia tahu padahal Naya. Tanpa sepengetahuan Zaki, sebenarnya dari barang-barang yang sempat tertinggal tadi, Naya sudah tahu siapa nama Zaki jauh sebelum Zaki mengajaknya berkenalan. “Namanya Zaki, semoga nggak ketemu dia lagi, nyebelin banget orangnya bikin kesel.” *** Beberapa kali meeting, membuat sekujur tubuh Zaki melemah dan tak berdaya, sekadar untuk menyetir mobil pun rasanya tidak kuat, daripada bahaya, Zaki pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di kantor. “Bapak nggak pulang? Saya pulang duluan, ya, Pak,” pamit Humaira. “Saya istirahat dulu, kamu pulangnya hati-hati,” kata Zaki. “Terima kasih, Pak, assalamualaikum.” “Ya, waalaikumussalam,” jawab Zaki. Setelah seisi kantor benar-benar kosong dan sepi, mulailah Zaki menutup kedua matanya untuk beristirahat sejenak sebelum pulang nanti. Semalaman tak terasa tertidur nyenyak di ruangan kerjanya, Zaki secara tidak sadar sudah menginap di kantor, dia sendiri sampai terkejut di saat suara azan subuh terdengar di notifikasi ponselnya. “Allahu Akbar, kenapa saya di sini? Astaghfirullah, ketiduran di kantor.” “Bersih-bersih dulu lalu wudu.” Sampai pagi pun Zaki belum pulang juga ke apartemennya, dia menghabiskan waktu di kantor seharian ini, belum sempat sarapan juga pagi ini, meeting berkali-kali dia lakukan lagi dalam dua hari ini. “Bapak jangan lupa sarapan dulu, apa saya ke luar untuk beli makanan?” bisik Humaira. “Jangan, kamu fokus saja meeting kali ini, jangan sampai gagal fokus, saya tidak kenapa-kenapa kok,” tolak Zaki. Padahal suara perutnya sampai terdengar oleh Zaki sendiri, berusaha untuk ditahan saja rasa sakitnya demi sikap yang selalu profesional. Beberapa menit kemudian, Zaki tidak dapat bertahan lagi dengan rasa sakit di perutnya, beberapa karyawan membawanya ke rumah sakit elit di Turki untuk diperiksa sebelum semakin parah. Dokter selesai memeriksa, asam lambung Zaki naik, itulah sebabnya dia harus dirawat dulu setengah hari untuk menghabiskan dua botol infusan. “Baik, Dok, biar saya yang pasangkan infusan baru,” ucap seorang wanita yang tak asing lagi bagi Zaki. Kedua mata mereka bertemu, saling tatap tetapi Zaki yang lebih dulu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. “Kamu lagi? Kenapa kamu selalu gentayangan, sih?!” “Ternyata kamu suster di sini, nurse yang galak. Tolong dong, ambilkan minum di atas nakas, saya haus,” titah Zaki dengan nada isengnya. “Wahai pasien yang kaya raya! Ambil aja sendiri, masih punya kedua tangan kok malas-malasan,” cetus Naya. “Ululu galak sekali, Naya!” “Hei? Kamu kok ....” “Lain kali, kalau mau bohong itu dipikirkan dulu, cantik. Kemarin bilangnya Nara eh ternyata nama aslinya Naya he he,” ledek Zaki. “Apaan, sih, nyebelin kamu! Kalau bukan profesional, mana mau aku rawat kamu!” Naya dengan cekatan mengganti infusan Zaki, melihat wanita semuda dan secantik itu sudah berkarier, membuat Zaki semakin kagum. “Lama-lama aku colok mata kamu pakai pinset! Jaga tuh mata, lihatin aku terus sampai ngeces!” “Hmm, terserah nurse galak saja deh, saya mah apa atuh, pasien yang nurut saja.” “Makin nyebelin ih, anak siapa, sih, kamu!” “Anak kedua orang tua yang sangat hebat, sudah berjasa sangat luar biasa, kenapa? Mau nanyain calon mertua, ya? Ya?” Goda Zaki. “Zakiiiiiiiiiiii ... kamu mau aku colok, ya?!” “Acieee, sudah tahu nama kok masih gengsi ha ha.” Naya pun gelagapan karena sudah keceplosan menyebutkan nama Zaki, dia sendiri sampai salah tingkah, benar-benar memalukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD