Mengulang Kembali

1002 Words
Kini aku kembali bersekolah seperti biasa. Tapi di kota yang berbeda. Kedua orang tua ku terpaksa pindah ke  kota J karena pekerjaan ayahku. Posisinya di kantor cukup bagus sehingga kami selalu hidup sejahtera. Bahkan lebih dari cukup karena ayah seringkali memanjakan kami berdua dengan barang-barang cukup bermerek. Tidak setiap hari tapi setidaknya sebulan sekali. Memang tipe lelaki idaman. Tidak heran mama sangat mencintai papa. Ups, saling mencintai maksudnya. Untungnya aku pindah ke tubuh anak kecil berusia 9 tahun. Pelajaran anak SD kelas 3 sangatlah mudah. Berbeda saat aku measih menjadi Falisha, kali ini aku sangat menikmati masa kecilku. Aku bermanja dengan ayah dan ibuku. Sudah pasti aku menjadi yang terpintar untuk anak seumuranku. Kehidupanku yang sebelumnya cukup membuatku merasa terbebani. Aku menjadi terobsesi menjadi aktris untuk membalas dendam kepada orang tuaku dulu. Sehingga aku hanya bersekolah sampai SMP lalu melanjutkan di akademi khusus seni dan mengambil jurusan seni peran. Entah kenapa sebelumnya aku tidak pernah tertarik dengan bidang seni murni, kini aku manjadi lebih ‘nyeni’ ketimbang diriku yang dulu. Aku bahkan les bermain biola, piano dan melukis. Ketiganya kulakukan dengan senang hati. Mungkin karena di tubuh Meena memang sangat berbakat, jadi aku bisa melakukannya dengan sangat baik dibandingkan anak seumuranku lainnya. Sesekali saat aku di rumah, aku mendengar pembicaraan kedua orang tuaku. Mereka merasa ada yang berubah dalam diriku. Tak hanya kepribadian tapi juga cara dan sikapku sehari-hari. Mereka merasa aku menjadi lebih dewasa. Yang dimaksud disini benar-benar dewasa. Maklum aslinya aku berumur 25 tahun. Sebisa mungkin aku mencoba bermanja-manja selayaknya anak-anak mencuri perhatian orang tuanya agar mereka tidak terlalu curiga. “Ma, kalau aku bisa selesaikan PR sebelum sore, bolehkah kita membuat chocolate cookies lagi?” kuucapkan dengan wajah seimut mungkin. “Boleh sayang, anything for you.” Kemudian ibu mencium keningku. “Yes!!” sahutku gembira. “Tapi ma, bisakah kamu mengajari tentang pembagian ini?” “Baiklah mama akan mengulangnya untukmu sampai kamu mengerti.” Terkadang aku sengaja berpura-pura bukan hanya untuk berakting. Kalian tahu kan kalau aku memang  ratunya akting. Tapi kali ini semata-mata untuk mendapatkan perhatian lebih dari ibuku. Saat ini jika masuk nominasi pun aku tak mau ditukar dengan segudang penghargaan itu. Keluargaku yang sangat berharga. ***** Saat ini aku sudah masuk di pertengahan kelas 5, semester dua. Di sekolah aku memiliki banyak teman. Tapi tak satu pun yang bisa dekat denganku. Mungkin karena hanya permukaanku yang masih kecil, aslinya aku wanita bangkotan. Banyak anak laki-laki yang suka usil denganku tapi aku berhasil menanggapinya dengan tegas. Membuat teman-teman menjaga jarak. Terkadang mereka merasa aku tidak terjangkau. Julukan untukku pun lambat laun terbentuk. Semua memanggilku Putri Salju. Terlalu elegan dan dewasa membuat teman-teman segan denganku. Biarlah toh lambat laun kami beranjak dewasa. Sebentar lagi pun akan kelulusan SD. Belum tentu akan bertemu mereka terus. Nilai akademi ku ternyata terus melonjak dan membuatku banyak megikuti lomba-lomba. Bahkan sampai ke tingkat Nasional melawan anak SD yang tingkatnya lebih tinggi. Prestasi demi prestasi kucapai hingga di ruang tamu keluarga kami terpampang banyak piala juara I dari berbagai lomba. Membuat kedua orang yang amat kusayangi itu tidak perlu khawatir kepadaku. Aku mengukirkan kebanggan dalam hati orang tuaku. ***** “Meena, jika kamu saat kelulusan SD kelas 6 nanti kamu dapat peringkat 1 atau juara umum. Kita akan jalan-jalan sekeluarga” “Yang bener pa? Jalan-jalan kemana?” ucapku bersemangat dengan mata berbinar. “Masih rahasia, pokoknya nginep 5 hari. Papa bakal cuti khusus untuk Meena dan Mama.” “Oke pa, deal!” sahutku bersemangat sambil menjulurkan kelingking dan ibu jariku. Ayahpun melakukannya juga mengaitkan kelingkingnya di jariku yang mungil itu. “Sudah dulu ngobrolnya. Mama bikin masakan kesukaan kalian nih” “Ayam asam manis!” aku dan ayahku berbicara bersamaan sambil saling menatap satu sama lain. Hari-hari kami selalu diisi dengan kebahagiaan. Begitu sederhana. Membuatku terbuai, ternyata ada kehidupan yang seindah ini. Untungnya Meena suka menuliskan diari, sehingga sedikit demi sedikit aku bisa mengingat kebiasaan 'kami' sebagai keluarga. Bahkan Meena sering kali menempelkan foto keluarga dalam buku hariannya itu. Membuatku tidak terlalu canggung saat ada saudara yang berkunjung. Setiap malam sebelum tidur, aku selalu berdoa memohon kepada Sang Pencipta ataupun Sang Penulis Takdir. Agar kehidupn keduaku ini tidak berlalu begitu singkat. Agar aku bisa hidup dan menemukan kebahagiaanku. Membalas kasih sayang kedua orang tuaku setelah aku dewasa kelak, lalu bertemu pria yang menyayangi dan mencintaiku. Kemudian menikah punya anak dan seterusnya. "Ah, hidup ini begitu indah" gumamku yang tak lama kemudian aku terlelap setelah selesai menulis diari, melanjutkan kebiasaan Meena. Keesokan harinya adalah hari Senin. Hari yang paling membuat malas karena jaraknya yang masih jauh ke hari Sabtu. Ditambah lagi hari ini biasanya dimulai dengan evaluasi dari wali kelas atau Upacara bulanan. Hari terasa begitu panjang padahal untuk anak kelas 5 SD pelajaran hanya sampai jam 11.30 siang saja. Aku malas mendengarkan guru karena merasa sudah bisa semuanya. Seperti biasa sembari menunggu dijemput ibuku, aku selalu membaca buku di perpustakaan. Untungnya sekolah ini memiliki perpustakaan yang cukup lengkap untuk anak SD hingga SMA. Sehingga aku bisa mencari buku yang ingin k****a. Bukan buku untuk anak SD tentunya. “Meena lagi nunggu dijemput?” “Hallo bu Riska. Iya bu mama sudah dalam perjalanan” sapa ku sopan sambil tersenyum  “Kali ini mau baca buku apalagi?” Tanya pustakawan yang ramah itu sambil menopang dagu di meja “Entahlah bu, kurasa tentang lukisan surealis?” “Hahaha.. Meena, Meena. Selera kamu memang tidak selayaknya anak kelas 5 SD. Ada di rak 8 baris ketiga. Kamu bisa menjangkaunya dengan tangga yang ada.” Ibu Riska sedikit tertawa mengejek karena postur ku yang tinggi aku tidak perlu tangga atau apapun itu hanya untuk menjangkau baris ketiga. “Makasi bu.” Jawabku dengan manis tanpa membalas lebih panjang Tidak terasa sudah satu jam berlalu dan Ibu pun sampai. Namaku sudah dipanggil oleh pengeras suara bagian penjemputan. Memberitahukan bahwa aku sudah dijemput. Maklum ini adalah salah satu sekolah ternama yang ketat perihal penjemputan . Mneghindari kasus penculikan anak yang marak terjadi. Seperti biasa setelah melihat ibuku, aku lari berhamburan ke arahnya sambil merentangkan tangan. Aku lantas memeluknya erat. Menunjukkan seberapa besar rasa sayangku padanya. Ibu memelukku erat sambil tersenyum bahagia. “Kamu mau mampir dulu atau langsung ke tempat les?” “Aku mau makan eskrim dulu boleh ma? Sudah lamaaa sekali rasanya-“ “Oke Meena, kamu gak usah cari alasan mama pasti beliin” sela ibu yang tahu aku mencoba membujuknya. Jika tidak disetujui, aku akan cerewet sampai tiba di tempat les. Aku pun tersenyum puas. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD