Akhirnya sampai juga pada saat yang ditunggu-tunggu. Kelulusanku dari Sekolah Dasar ini pun di depan mata. Hari-hari tidak begitu terasa karena aku menikmati kegiatan keseharianku. Beberapa les pun aku nikmati. Pelajaran pun aku jalani dengan sangat santai karena bagiku terasa mudah.
Besok upacara kelulusan itu akan diselenggarakan di aula sekolahku. Aula kami terbilang cukup besar. Muat untuk menampung 2000 penonton dan dengan panggung terbilang cukup luas untuk pertunjukkan seni atau konser sekalipun. Tidaklah kaget jika aku ditunjuk oleh Kepala Sekolah untuk berpidato pada kelulusan itu. Mengingat aku salah satu siswi paling berpretasi. Tepatnya aku yakin aku setidaknya masuk tiga besar.
Perasaan haru pun melingkupi hatiku. Betapa tidak, kali ini aku kembali akan berpidato di hadapan seluruh angkatan ku. Pidato kelulusan. Aku mencoba untuk merangkai kata-kata yang mendalam namun ringan. Agar yang mendengarkannya tidak bosan tetapi tetap berkesan.
Setelah makan siang, aku langsung kembali ke dalam kamarku. Berkutat di meja belajar dengan konsentrasi penuh. Merangkai kata dengan hati-hati. Tapi apadaya ibuku memang paling pengertian. Tidak lama terdengar ketukan pintu, kemudian ibu pun terlihat di ambang pintu.
“Ya, ada apa ma?”
“Ini kamu belum makan dessert kamu” ibu muncul dari balik pintu sambil menggenngam sebuah piring kecil dan mug berukuran sedang
“Oh, makasi ma aku sedang perlu yang manis setelah makan” aku sedikit melompat dari kursiku
“Mama juga sekalian membuatkan coklat panas nih. Biar kamu rileks,”
“Thanks ma, love you,” Aku mengambil sepiring caramel pudding dan coklat panas yang dibuatkan bunda. Aku yakin penuh kasih sayang tentunya.
Kemudian ibuku keluar membiarkan aku kembali fokus kepada pidato yang aku siapkan untuk hari besarku besok. Untungnya, aku selesai tepat jam makan malam. Aku tidak pernah melewatkan saatnya makan. Apalagi bersama kedua orang terpenting dalam hidupku.
“Pa, ma, pidato ku udah selesai nih,” aku memulai pembicaraan saat makan malam
“Boleh, setelah selesai kita coba gladi bersih” ucap ayahku semangat.
Makan malam kami pun selesai, dan ibuku membereskan meja. Lalu, mereka segera duduk di sofa ruang keluarga. Menungguku untuk membacakan pidato yang aku buat seharian ini.
*****
Saat upacara kelulusan pun tiba dan dihadiri oleh kedua orang tuaku. Ibuku tampil anggun dengan busana terusan batik dengan motif kaung modern berwarna merah muda. Sedangkan ayah menggunakan kemeja batik putif bermotif senada berwarna biru muda. Mereka terlihat sangat bahagia.
Aku sendiri menggunakan kebaya berwarna peach dengan rok bermotif batik dengan warna yang cocok dengan atasan kebayaku. Rambutku ditata ibu setengah naik. Sisa rambut panjangku tetap terurai cantik dan sedikit dikeriting. Ibu juga mengulaskan make up pada wajahku.
Make up yang sederhana tidak sampai seperti make up artis profesional yang dulu sering memulas wajahku tapi aku sangat puas. Dihari kelulusanku, aku bersama kedua orang tuaku. Kami pun bergegas berangkat agar mendapatkan posisi duduk yang bagus. Tak lupa ayah membawa kamera untuk mengabadikan momen tersebut.
“Anak kesayangan papa sudah bawa toga nya?”
“Emangnya kesayangan papa ada lagi selain aku? Sudah aku masukkan ke dalam mobil pa toga nya. Tinggal tunggu mama aja.” Jawabku sedikit cemberut
“Soalnya kalo cuma kesayangan aja nanti Meena sama mama jadi saingan dong?” papa tertawa meledekku.
Tak lama ibu datang setelah memastikan rumah sudah terkunci rapat. Kami pun berangkat menuju sekolahku.
Benar saja, meskipun kami berangkat lebih awal dan masih bersisa waktu 30 menit sebelum acara dimulai, bangku barisan depan sudah terisi penuh. Untungnya aku punya undangan khusus jadi ayah dan ibuku tetap dapat bagian cukup depan. Aku sempat membanggakan kepada orang tuaku akan hal itu.
Ayah mulai mendokumentasikan aku. Tapi tak lama karena aku tidak banyak memiliki teman. Masih ingat julukanku kan? Si Putri Salju yang dingin itu. Kalau mendengar aku jadi teringat salah satu kartun kesukaanku. OST nya berjudul Let it go. Bercerita tentang dua kakak beradik. Kalian pasti langsung menyanyikan dalam hati kan? Sama. Aku juga.
Upacara dimulai tepat waktu dengan pembukaan dari kepala sekolah. Memecah kegaduhan suara murid-murid yang bersenda gurau. Disusul oleh penampilan adik-adik kelasku. Mulai dari kelas 1 SD hingga kelas 5. Semua acara sangat menghibur karena begitu menggemaskan. Ada yang salah gerakan, ada pula anak yang bengong hanya melambaikan tangan ke orang tuanya. Lagu anak-anak pun mengiringi dengan ceria membuat penonton terus tersenyum menyaksikannya.
Tidak lama tiba giliranku, siswi berprestasi untuk mengucapkan pidato kelulusan. Aku merasa gugup karena kali ini aku pun membawa catatan kecil untuk berjaga-jaga ada hal yang terlewat oleh ku. Dengan berhati-hati aku memulai pidato. Hingga saat hampir selesai, kalimat yang paling kusukai aku ucapkan sebagai penutup.
“Masa depan tidak bisa dinilai dari seberapa bagus nilai yang didapatkan di sekolah. Melainkan bagaimana kita memilih menjalankan kehidupan kita kedepannya.” Aku terdiam mengambil napas sejenak
“Apakah nantinya kita melanjutkan di sekolah yang sama atau tidak. Saya selalu berharap ketika bertemu nanti, kita semua akan tetap bertegur sapa dan berteman baik. Terima kasih.”
Pidato ku disambut dengan tepuk tangan dari seluruh siswa dan undangan yang hadir. Tak dapat dipungkiri, muka ku memerah karena malu. Tapi ayah dan ibu bersikeras pidato itu sudah bagus. Tidak perlu ada yang dirubah lagi. Tak lupa ayahku pun merekam sepanjang pidato ku tadi.
Kulihat beberapa teman mengusapkan air mata. Sepertinya bagi mereka yang akan pindah sekolah menjadi sebuah kesan tersendiri saat ini sebagai momen terakhir bertemu teman dekatnya.
Pembacaan peringkat kelulusan merupakan bagian yang sangat aku tunggu. Aku masih ingat jelas janji ayahku untuk pergi berlibur bertiga. Apalagi menginap. Karena ayah terbilang sibuk, biasanya kami hanya berlibur ke mall terdekat setiap akhir pekan.
“Selanjutnya mari kita undang kembali teman-teman kita yang berprestasi untuk naik ke panggung. Mewakili teman-teman sekalian untuk dilantik kelulusannya oleh Bapak Kepala Yayasan.”
“Peringkat sepuluh, Zevanya dari kelas 6-1. Silahkan naik ke panggung” ucap sang pembawa acara
“.........” sang MC pun terus membacakan nama anak-anak berprestasi dan mengundangnya untuk naik ke atas panggung.
Aku mulai gelisah karena namaku tak kunjung disebut hingga peringkat 3 besar. Aku mulai merasa gugup. Siapa tahu ada anak yang jenius melebihi aku yang bagkotaan ini.
“Sampailah ke peringkat satu atau juara umum. Mari teman-teman semua memberikan tepuk tangan untuk teman kita yang special ini. Silahkan naik ke panggung,” MC sengaja memberikan jeda membuat semua penasaran
Aku memejamkan mata sambil menggenggam tangan ibuku, sedikit meremas bahkan.
“Meena Tarani, silahkan naik!”
Entah mengapa aku merasa seperti memenangkan ajang kontes kecantikan semesta. Aku membaurkan pelukan ke ibu dan ayahku. Ada cairan bening membasahi mataku. Tapi langsung kuusap. Walaupun air mata kebahagiaan, aku tidak mau menunjukkan sisi lemahku di depan orang banyak.
Aku berjalan ke arah panggung untuk menerima penghargaan sebagai murid lulusan terbaik. Setelah itu, Kepala Yayasan mulai menyalami kami satu persatu dan mengalungkan medali ke leher kami. Sedangkan Kepala Sekolah menggesahkan kelulusan kami dengan memindahkan tali di topi toga kami yang aku lupa apa namanya.
Pikiranku mulai berkelana akan liburan kami nanti. Hingga ucapan MC yang mempersilahkan kami ke bangku masing-masing memecah imajinasiku. AKu menuruni anak tangga dengan berhati-hati dan perlahan agar tidak terjatuh dengan memalukan di hadapan banyak orang. Aku cukup kesulitan dengan rok yang agak sempit di bagian bawahnya ini.
Betapa terkejutnya aku setelah menuruni tangga terakhir ada seorang anak laki-laki yang tidak kukenal memberikan aku serangkaian bunga. Sontak seluruh aula menjadi riuh karena nya. Teman-teman seangkatanku mulai ricuh. Beberapa bersorak menerikakkan julukanku.
Bocah itu tidak memintaku pacaran atau apa. Dia hanya memberikanku bunga lalu mencium tanganku layaknya bangsawan kepada seorang putri. Riuhnya suara teman-teman membuat aku malu. Tanpa kusadari wajahku memerah dan panas. Aku tidak tahu dia dari kelas mana yang jelas aku merasa dia sengaja. Entah karena mengagumiku atau sengaja menegaskan julukanku sang ‘Putri Salju’.
Ternyata kejadian itu pun tak luput diabadikan oleh ayah. Yang cukup menjengkelkan untukku. Walaupun aku tidak ingin mengingat kejadian itu. Mereka terus membahasnya untuk mengejekku. Ayah memang suka sekali bercanda. Menjadi penceria dalam keluarga kami. Dan sepertinya akan tetap dibahas hingga bulan depan. Huft.
Bersambung