Liburan (part 1)

1130 Words
Seminggu berselang, ayah menepati janjinya untuk membawa mama dan aku berlibur. Bisa dibilang liburan kami yang pertama. Setidaknya semenjak aku menjadi Meena. Ayak membawa kami ke kota B. Awalnya kupikir ayah lupa akan janjinya. Tapi ternyata ayah lembur untuk menyelesaikan semua pekerjaannya lebih awal, agar ijin cuti nya diberikan. Memberikan jalan-jalan ini sebagai kejutan untuk kami. Kami berangkat sangat pagi, tepatnya jam 6 ayah sudah melajukan mobilnya di jalan tol. Kedua orang tuaku sudah biasa bangun sepagi itu. Tapi tidak denganku. Bangun jam segitu buatku masih pagi buta. Sepanjang perjalanan ayah menyetel radio. Membuat suasana menjadi lebih ramai. Pastinya aku sudah tertidur di kursi belakang. Menempuh perjalanan cukup jauh selama 3 jam 30 menit, aku mulai terbangun. Suasana lebih hening karena radio yang dimatikan. “Kenapa jadi hening pa?” tanyaku yang baru saja terbangun karena jalanan yang kami lalui tidak terlalu mulus lagi selepas keluar dari jalan tol. “Signal radio sudah sulit sayang. Kenapa kamu tidak bernyanyi? Papa sudah jarang denger kamu nyanyi deh,” Tersipu malu, aku pun mulai melantunkan lagu anak-anak yang kuingat. Tentu saja yang bertema liburan. Membuat ibuku ikut bernyanyi. Tanpa sadar akhirnya kami pun tiba di villa yang disewa ayah. Dari luar terlihat tidak besar, tapi cukup untuk kami bertiga. Aku tidak mau berakhir seperti di film horror. Villa terlalu besar membuat aku tidak bisa selalu melihat ayah atau ibuku lalu ada pengurus villa yang psikopat lalu kengerian dimulai dan sebagainya. Segera kuhilangkan pemikiran itu. Aku mau menikmati liburan ini sepuasnta.  Villa nya nyaman dan bersih. Jelas bahwa sebelum kami datang sudah dibersihkan terlebih daulu. Suasanya di sekeliling begitu asri. Ayah bilang di dekat sini bahkan ada sungai yang sangat jernih. Di belakang ada jalan setapak dengan rerumputan dan bunga yang baru mau mekar. “Meena, kamu kalau mau ke sungai tunggu mama ya, jangan pergi sendiri!” teriak ibuku yang berada di dapur. Ibu tahu saja jika aku mau menyelinap kesana. Aku sangat suka dengan lingkungan alam yang begitu asri. Membuat perasaan nyaman. Menghilangkan penatnya ibukota sejenak. Ups, itu pikiran aku yang bangkotan. Tidak cocok dengan aku yang baru lulus kelas 6 SD. “Okay mom, sini aku bantuin biar cepet bisa ke sungai,” aku bergegas membantu tidak sabar melihat sungai dan bermain disana. Saat aku dan ibu akan bermain ke sungai, ayah pamit sejenak untuk membeli bahan yang kurang untuk acara panggang kami nanti malam. Aku bersungut-sungut karena tidak ada yang mengabadikan momen liburan kami itu jika ayah pergi. Akhirnya aku dan ibu tetap ke sungai. Baru separuh perjalanan, ibu melupakan ponselnya di dalam villa. Memutuskan untuk mengambilnya jikalau ayah menghubungi ibu. Aku pun berjalan dahulu ke sungai karena jaraknya sudah dekat.  Suara gemericik air sudah mulai terdengar sayup-sayup. “Meena tunggu mama ya baru boleh main di sungai. Batunya licin kamu harus hati-hati.” “It’s oke mom. I’m a big girl now. Aku sudah lulus SD” sambil menunjukkan senyum nakal. Ibu tahu aku tidak akan mengindahkan peringatannya, memutar bola matanya dan buru-buru balik ke villa mengambil ponselnya. ***** Sesampainya di pinggir sungai, aku melihat seorang anak laki-laki seorang diri bermain air di sungai itu. Airnya sangat jernih bahkan bisa memantulkan paras tampan bocah itu. Walaupun masih kecil, terlihat bibit ketampanan dalam wajahnya. Terkejut karena kedatanganku, tiba-tiba anak laki-laki itu tergelincir dari batu yang dia pijak. Dan dengan gesit aku masuk ke sungai lengkap dengan sepatu baruku hadiah dari ibu untuk hadiah kelulusanku. Sepatu yang sudah lama aku inginkan kini basah kuyup. Karena airnya yang sangat ternih sungai yang  terlihat dangkal itu ternyata cukup dalam untuk kami yang masih kecil ini. Untungnya walaupun Meena belum pernah belajar berenang, Falisha ahlinya. Ya, kehidupanku sebelumnya. Aku tidak menyangka itu berguna sekarang. Yang lebih mengejutkannya adalah anak laki-laki ini BERAT! Dengan susah payah aku kembali ke pinggir, bagian yang dangkal. Ternyata bagian dalam itu hanya berada di tengah sungai yang cukup lebar ini. Memang cukup berbahaya untuk anak-anak bermain tanpa dampingan orang dewasa. Rupanya peringatan orag tuaku memang benar. Untung saja bukan aku yang berada di posisi ini. Sehabis kejadian ini aku pasti dipingit orang tuaku. Tidak boleh keluar rumah selangkah pun. “Meena!! “ aku mendengar ibuku berteriak panik. Ibu yang baru saja mengambil ponsel, membiarkan ponselnya jatuh ke rerumputan lalu membantuku menaikkan anak laki-laki itu. Beruntung kami ada disitu saat kejadian naas tersebut terjadi. Aku sempat mengabaikan fakta bahwa anak itu terjatuh karena kaget akan kehadiranku. “Mama! Dia tenggelam, tergelincir dari atas batu besar itu. Kita harus apa? Sepertinya ia mulai tidak bernapas” bicaraku cepat dan panik “Meena!” bentakan ibu membuatku terkejut lalu terdiam “Disaat seperti ini tidak boleh panic. Kepanikan justru membuatnya semakin buruk,” Kemudian ibu segera memompa dadanya berkali kali sambil menghitung. Aku hanya bisa melihatnya pasrah sambil menangis. “Kenapa mama tidak memberikan napas buatan? Bagaimana kalau tida tidak bisa bernapas?” “CPR tidak memerlukan napas buatan apabila kamu melakukannya dengan benar, sayang. Jangan buyarkan konsentrasi mama.” ujar ibu sambil terus memompa d**a anak laki-laki itu. Benar saja, tidak lama berselang anak laki-laki itu terbangun dengan batuk-batuk dan memuntahkan air. “Meena sayang, apakah kamu mau memberikan napas buatan karena dia tampan?” ibuku berucap sambil menyenggol tanganku usil Seketika wajahku memerah, karena malu dan tidak mengerti cara kerja CPR (Cardiopulmonary Resuscitation). Aku pun mengusap air mataku dan tergagap. “A-aku h-ha-hanya khawatir itu saja. Itu dia juga sudah sadar. Baguslah,” tanpa sengaja aku menepuk punggungnya keras. Disusul suaranya kembali batuk-batuk. Aku pun berbalik dan berjalan duluan. Kemudian terdiam sebentar. "Ayo ma, kita kembali ke villa. Aku mulai menggigil," aku bersungut-sungut sambil menghentakkan kaki. Seperti anak-anak pada umumnya jika sedang 'ngambek'. "Kalau boleh tau siapa namanu dik? Apakah kamu tinggal di dekat sini?" tanya ibu dengan lembut. ".....  uhuk uhuk..." anak itu masih terbatuk sambil memegang d**a dan mulutnya. Wajahnya juga masih terlihat pucat "Tidak apa, atur nafasmu dahulu. Kita masih bisa berbincang selama perjalanan. Lebih baik sekarang kamu ikut dahulu ke villa. Nanti setelah kamu kering baru kami antar kembali ke rumahmu." Anak laki-laki itu pun hanya mengangguk pelan lalu berjalan mengikutiku ke arah villa sambil dipapah oleh ibu. Diam-diam aku mengamatinya selama perjalanan kami kembali ke villa. Pakaiannya tidak lusuh, bahkan cukup baru. Apalagi jika tidak salah pakaian itu bermerek. 'Anak ini bukan anak biasa. Berdasarkan pengalamanku sebelumnya, pakaian yang dipakainya cukup mahal. Dan lagi ini adalah daerah wisata yang dikelilingi banyak villa. Kurasa anak laki-laki tampan ini bukanlah penduduk sekitar.' Pikirku dalam hati. Rupanya ibu yang sedang membantu anak itu berjalan tegap menyadari bahwa aku diam-diam mencuri pandang ke arahnya. Terkadang aku menatapnya lekat. Ibu pun berdehem. "Meena, kenapa kamu tidak berjalan lebih cepat, sekalian cek apakah papamu sudah pulang" ucap ibu ku yang kemudian membuatku berlari kecil. Bergegas untuk menjalankan sarannya. Tidak lama kemudian kami sampai di villa untuk mengeringkan pakaiannya. Dan pakaian ku juga tentunya. Saat kami sampai, ternyata ayah juga sudah kembali dari minimarket dan membantu anak laki-laki itu mengganti pakaiannya. Karena tidak ada anak laki-laki, terpaksa dia menggunakan pakaian ayah yang gombrong sementara pakaiaannya dikeringkan oleh ibu. Terlihat lucu tetapi tetap tampan tentunya. Terkadang aku kembali mencuri pandang ke arahnya. Wajahku pun bersemu merah ketika tatapan kami tidak sengaja bertemu. Dia hanya membalas tersenyum dan aku menjadi gelagapan. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD