Matchmaking

4678 Words
Triiiiiiiing.. Bel tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar pada hari itu terdengar di seluruh penjuru Sultan Fatih International High School. Para guru serta siswa beriringan keluar dari kelas masing-masing. Terlihat seorang gadis berperawakan tinggi dan tambun sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas Elizabeth hitam yang tertengger di atas kursi kayu. Lalu, gadis itu pergi ke pojok kiri kelas untuk memeriksa pojok literasi mereka. Setelah selesai ia kembali ke mejanya dan memakai jaket jeans kesayangannya lalu menyandang tas dan pergi meninggalkan kelas. Ira, gadis tambun satu ini sedang terburu-buru Tintin! "Woy maemunah!" Panggil seseorang dari dalam mobil rush putih. "Astaghfirullah..! Ngagetin aje lu Markonaaah!" Ujar Ira sedangkan orang yang mengagetkannya hanya nyengir tidak jelas. "Lo pulang sama siapa? Prince hamdan dipake sama sepupu lo kan?" Tanya Nana dari dalam rush nya. "Kayaknya ojol deh, Na. Emang kenapa?" Tanya ira. "Udah, mending lo bareng gue aja. Kebetulan gue mau ke rumah Tante Lana" ujar Nana. Lana mengangguk dan memasukkan barang-barang nya di kursi belakang. "Ngapain lo ke rumah Tante Lana? Mau ngapelin Rakry ya?" Tanya Ira sambil memainkan alisnya.  "Idiiih najis! Ngapain gue ngapelin om-om tua bangkotan kayak dia" ujar Nana sambil bergidig ngeri. "Yah siapa tau kan. Lo terlibat cinta terlarang sama sepupu lo sendiri" ujar Ira sambil mengangkat kedua bahunya. "Andah terlaluh haluh" ujar Nana "bangke!" "Udah ah! Jadi nganterin gue kagak nih?" Ujar Ira "ya lu duluan yang mancing maemunah!!" Ujar nana lalau menancapkan gasnya melaju meninggalkan sekolah. "Eh Na! Lu udah setoran surah apa? Gue belum setoran sama sekali, baby! Ga fokus gue" "Lo aja belum, apalagi gue!" Ujar nana sambil terus fokus pada jalan raya. "Lu ga fkkus karena mikirin tugas numpuk, atau ga fokus karena mikirin babang aim?" Goda Nana. "Ha? Babang aim? Whos that?" "Haelaaaah. Babang hehibrahim" ujar Nana. "Ha? Apa? Lu ngomong apaan sih? Ga paham deh gue.. " "Vangkeeeee! Kak Ibrahim!! Future-husband till jannah lu!! Buset dah!"  Ujar Nana setelah menggetok kepala Ira. "Buset! Sakit tau! Lagian lu pake kode-kode segalak. Mana gue paham" "Haah.. gak tau lah gue Na. Gue merasa ga pantes aja buat dia. Dia yang se-perfect itu. Dan gue yang segitunya ini.." "Yaudah. Kalau begitu, lo pantesin diri lo lah Ra! Nothing is impossible for God!" "Yah..yah.. gue ngga terlalu memusingkan kak ibrahim sih. Like pak marjono said, yang laki-laki pasti dapat istri, yang perempuan pasti dapat suami, hanya sekarang bagaimana kita memantaskan diri. Kayak kata lo juga. Gue lagi berusaha memantaskan diri, untuk siapapun itu yang akan menjadi husband till jannah gue. Entah itu surely kak Ibrahim or someone else that i never know before. Sembari gue fokus sama cita-cita gue. Gue ga mau ntar gue di hina, dicaci, direndahkan sama orang. Gue ga mau orangtua sama keluarga gue di hina dan merasa malu karena gue. Gue mau menjadi umma yang cerdas, baik, berpendidikan untuk anak-anak gue nanti. Gue mau jadi umma yang di banggakan oleh anak dan keluarganya yang bisa menciptakan anak-anak yang dapat gue dna keluarga bangkan" ujar Ira panjang kebar. "Masyaallah ukhtea.. bijak sekali dirimu" ujar nana. "Terharu gue. Sampe ga sadar kalo kita udah sampe di depan rumah Tante Lana" sambungnya. "Ih! Lu nyindir, muji, atau ngasih tau sih! Kesel gue," ujar Ira. "Yaah nyambi lah. Gue turun dulu ya. Ga lama kok bentar doang" ujar nana yang diacungi jempol oleh Ira. Tring! Terdengar nada notifikasi pesan dari ponsel Ira. Gadis 16 tahun itu pun membuka pesan tersebut. Ternyata dari Bi Farida, ART di rumahnya. "Assalamualaikum, non. Non Ira dimana? Dicari ibu sama bapak. Katanya ada yang ingin dibicarakan" bunyi pesannya. "Ira lagi di rumah Tante Lana, bi. Nemenin Nana. Bentar lagi pulang kok" send. "Chattingan sama siapa lu?" Tanya Nana yang sudah berada di kursi kemudi lagi. "Bi Farida" "Huh? Ada apa" tanya Nana. "Tauk. Katanya gue dicariin mama-papa. Katanya ada yang mau dibicarakan" "Beuh. Tumben" ujar nana dna ira hanya menghadik bahunya saja. "Udah buruan. Gue males banget kalo pas gue sampe rumah harus diserbu pertanyaan dari mereka" ujar Ira dan di angguki oleh Nana. Tak lama, mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Ira. "Makasih banyak ya ,na!" Ujar Ira yang sudah mengambil semua barangnya dari jok belakang. "Eh tunggu Ra!" Ujar nana. "Apaan?" "Gue numpang boker yah. Sakit banget perut gue" ujar nana. "Yaudah turun! Lagian lu sih. Ngasih cabe banyak banget di bakso lo tadi" sedangkan nana hanya cengengesan dan menyusul ira ke dalam rumah setelah mematikan mesin mobilnya. "Non Ira sudah sampai.. eh ada no Nana juga. Apa kabar non?" Tanya Bi Farida yang menyambut kedatangan Ira dan Nana. "Alhamdulillah baik, bi. Bi, aku ke toilet dulu ya. Sakit perut ujar Nana lalu pergi ke toilet. "Non Ira, sudah di tunggu ibu sama bapak di taman belakang," ujar Bi Farida saat Ira sedang melepaskan sepatunya. "Anu, kalau non Ira mau. Kita bisa pergi ke taman belakang bersama, sekalian bibi mengantarkan minum untuk ibu dan bapak" tawar Bi Farida. Ira tersenyum ke arah Bi Farida. "Bibi duluan aja. Ira mau mandi dulu, bi. Udah lengket nih badan. Acem.. hehe" ujar Ira. "Ira ke atas ya bi" ujar Ira. "Iya non." 10 menit kemudian, Ira sudah kembali fresh dengan pyjama unikornnya. Ira berjalan keluar dari kamarnya menuju taman belakang. Saat melewati dapur, Ira melihat Bi Farida yang sedang membuat cemilan. "Bi, Nana sudah pulang?" Tanya Ira. "Belum non, non Nana masih di toilet. Mungkit perutnya benar-benar sakit" ujar Bi Farida. "Wajar sih, bi. Dia campurin sepuluh sendok cabe setan ke kuah baksonya tadi. Antara nafsu sama ogeb beda tipis" ujar Ira sambil geleng kepala karena mengingat kelakuan Nana tadi siang. "Taudah, bi. Ira ke taman belakang dulu ya" ujar Ira lalu pergi meninggalkan Bi Farida yang sedang membuat cemilan. Ira dibuat terkejut saat mendapati keluarga besarnya sednav berkumpul di taman belakang. Ada eyang-eyang, nenek-kakek, uncle-uncle, aunty-aunty, sepupu, dari keluarga ayah maupun ibunya. Segala pertanyaan berkecamuk di dalam fikirannya saat ini. Ada apa sebenarnya? Seingat Ira tidak ada event khusus yang menghasruskan keluarga besarnya berkumpul. Dan di rumahnya pula. Benar-benar kejadian langka. Tapi tunggu, ada hal aneh lain di sini. Para orang tua tampak sangat serius saat ini. Eyang kakungnya hanya terdiam dengan keringat dingin yang melengkapi gambaran air wajahnya yang resah. Eyang uti tengah menitihkan airmatanya dengan tangan kiri yang menopang kepalanya. Kakeknya tampak diam tersender di sofa wajah yang tampak acuh tak acuh dan kaki yang bergerak-gerak. Wajah neneknya juga sembab. Tapi Ira mencoba menepis semua keanehan itu. Ia berjalan lebih dekat. Menyapa sepupu-sepunya terlebih dahulu.  Lalu berdiri dan menghadap ke atah para orang tua. "Kok Ira ngga di kasih tau sih kalau ada kumpul keluarga? Kan ira bisa pulang lebih cepat" ujar Ira. "Ira sudah pulang? Sini nak.. duduk di samping mama" ujar Permata, mama Ira sambil menepuk bagian sofa di sampingnya yang kosong. Tampak nenek dan eyang uti yang segera menhapus air matanya. "Loh kok eyanv smaa nenek nangis?" Tanya ira setelah duduk di samping mamanay. "Tidak ada apa-apa sayang.." ujar eyang uti. "Gimana acara di sekolah tadi? Seru?" Tanya Permata. "Seru, ma. Tapi kelas Ira ga menang di lombanya ma" ujar ira. "Tidak apa-apa nak. Kalah menang itu biasa" ujar Yuliardi, papa Ira. Ira mengangguk sambil tersenyum. "Iya nak. Jadikan pembelajaran. Pada lomba selanjutnya kalian bisa menyusun strategi yang lebih matang biar menang" uhar permata memberikan semangat pada anaknya. "Iya ma" ujar Ira sambil tersenyum dan mengangguk. "Nak, kami ingin membicarakan sesuatu sama kamu" ujar Yuliardi yang mulai menatap serius ke arah Ira. Kepala Ira kembali di penuhi asumsi-asumsi liar. Apa yang ingin mereka bicarakan? Apa ada hubungannya dengan ketegangan semua orang serta nenek dan eyang uti yang memangis? Apa mama dan papa akan bercerai? Apa papa selingkuh lagi? Atau papa lebih memilih kariernya daripada mempertahankan mama dan aku? Dan ada lebuh banyak lagi asumsi yang berkeliaran di dalam fikiran Ira. "Sebelumnya maafkan mama nak" ujar Permata. sambil memelukkku. Ada apa ini?. "Maafkan papa juga" ujar Yuliardi. "Nak dengar. Walaupun ini semua sudha di putus kan, tapi mama akan tetap berusaha untuk Ira. Mama tidak akan melepaskan kamu nak"ujar mama yang mulai menangis. "Ira" kali ini eyang kakung yang memanggil. Eyang memegang tangan Ira. Dapat gadis itu rasakan betapa dingin tangan eyangnya saat ini. Ini sangat tidak baik untuk kesehatan eyang.  "Eyang, ada untuk Ira. Kami semua ada untuk Ira" ujar eyang terputus, mangambil nafas dalam lalu melanjutnya kembali perkataannya "kami pasti akan memperjuangkan kamu. Kami tidak akan melepaskan kamu, nak" ujar eyang lalu menarik lemah kepala Ira dan mencium puncak kepala Ira. "Kamu harus tetap kuat cu. Harus tabah, sabar, kamu pasti bisa melalui semuanya. Nenek tau, kamu gadis yang kuat" ujar nenek. Sedangkan kakeknya hanya diam saja terlihat malas untuk menanggapi apa yang sedang terjadi. Acuh tak acuh pada topik pembicaraan yang menurut Ira sangat sensitif. "Ra" kali ini bunda yang bicara. "Kamu itu anak bunda. Sampai kapan pun anak bunda. Bunda dan uncle pasti bantu mama, bantu kamu. Pasti perjuangkan kamu. Berapapun itu" what? Apa maksudnya? "Kak! Berapa ganti rugi yang harus kakak bayar ke Khoirul itu? Berapa besar hutang perusahaan" tanya Uncle Den dengan emosi yang memuncak. Saat Yuliardi ingin bicara, dengan cepat Ira memotongnya. "Tunggu. Apa maksud semua ini? Tolong jelaskan. Jangan menyerbu Ira dengan kalimat-kalimatbyang Ira tidak tau kalian tujukan untuk masalah apa? Sabar, tabah, kuat, memperjuangkan. Apa? Untuk apa?" Tanya Ira. "Mama-papa bertengkar lagi? Papa selingkuh lagi? Dengan siapa kali ini? Atau papa tidak memberi uang ke mama lagi? Mama-papa ingin bercerai lagi? Atau masalah apa lagi kali ini?" Tanya Ira pada semua orang. "Naak.." panggil Permata lembut sambil menggelengkan kepalanya ke arah Ira meminta putri tercintanya untuk tenang.  Ira melihat bahwa mamanya menatap ke arah papa. Ira langsung menyambar. "Pa. Tolong jelaskan" ujar Ira. Terlihat papa menghembuskan nafasnya berat. "Nak, perusahaan papa bangkrut. Taman lama papa menyuntikkan dana untuk membangkitkan perusahaan papa lagi. Dananya mungkin belum bisa papa kembalikan selama 20 tahun kedepan. Dan dia meminta satu hal" ujar papa. "Dia meminta kamu untuk menikah dengan putra sulungnya" sambung papa. Ira terdiam, mencoba mencerna dalam-dalam tentang apa yang baru dikatakan oleh papanya. Tega. Hanya satu kata itu yang dapat Ira simpulkan untuk menggambarkan semuanya. Papanya sendiri rela melepaskan Ira untuk lagi-lagi yang bahkan belum pernah mereka temui sebelumnya. Rela "menjual" Ira untuk membayar semua hutang hanya demi sebuah perusahaan yang kapanpun bisa gulung tikar. Tidakkah mereka memikirkan Ira? Perasaan Ira? Apakah perusahaan lebih berharga dari putrinya sendiri? Bukankah papanya bisa menolak permintaan Om Khoirul itu? Papa bisa membawanya ke jelur hukum atas dasar pemaksaan perkawinan dan menikahkan anak di bawah umur. Oh hell ya dude! I'm on 16! Bagai dapat membaca fikiran anak perempuannya, Yuliardi angkat bicara. "Papa tidak punya pilihan lain selain menyetujui permintaan Khoirul untuk menikahkan kamu dengan putranya, Ira. Papa tidak punya jalan keluar. Kita tidak bisa membawa masalah ini ke jalur hukum. Atas dasar pemaksaan pernikahan, menikahkan anak di bawah umur, atau apapun itu, tidak bisa. Keluarga Khoirul jauh lebih berkuasa. Dan bukan lebih mementingkan perusahaan daripada kamu, putri papa satu-satunya. Papa tidak pernah berpikir tentang itu. Ini semua papa lakukan dami kamu, nak. Walau sudah disuntikkan dana sebesar apapun, perusahaan bisa bangkrut kapan saja. Papa khawatir, kalau perusahaan bangkrut, bagaimana kami akan menyekolahkan kamu? Papa bukan pegawai negri lagi, mamamu hanya dokter umum, dan kami semakin menua. Uang tabungan mungkin cukup untuk sekedar menyekolahkan kamu, hanya sekedar menyekolahkan tanpa fasilitas, dan bagaimana biaya hidup kita? Dunia ini semakin hari semakin mahal. Papa tidak mau melihat kamu merasakan kesulitan yang kami rasakan dulu " jelas Yuliardi panjang lebar. "Kalau kamu menjadi menantu keluarga Khoirul, hidup kamu pasti terjamin, nak. Kamu bisa meraih cita-cita kamu dengan mulus, tanpa gangguan dana atau apapun" tambahnya. Ira masih setia dalam bungkamnya. Dan masih dengan air yang menggenang di kedua matanya. Dengan cepat, Ira menghapus air itu agar tidak ada jejak lagi. Gadis itu menarik napasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan. Hal itu diulang sampai beberapa kali lalu Ira mulai membuka suaranya lagi. "Ira ke kamar dulu ya semuanya. Ira mau belajar, terus istirahat. Besok ada ulangan" ujar ila lalu bangkit adri duduknya dan langsung menyalimi semua orang tua yang ada di sana. "Eyang kakong istirahat aja dulu. Jangan terlalu banyak fikiran, eyang. Ngga baik untuk kesehatan eyang" ujar Ira srtrlah menyalimi eyang kakong. Lalu Ira beralih ke arah sepupunya yang sedang bermain. Ira mendekatai Daffa, sepupunya dari sebelah Permata. "Bro, kamu sama Dzaka main di kamar mba aja ya. Temenin mba, mba duluan" ujar Ira yang di angguki oleh Daffa. Anak laki-laki yang mulai puber itu seakan mengerti masalah yang sedang menimpa saudarinya. "Bye-bye Acha sayang.." ujar Ira sambil tersenyum setelah mengusap lembut pipi anak perempuan berumur 2 tahun itu, anak adik ayahnya. Lalu melangkah pergi meninggalkan taman belakang. Tapi Ira dibuat terkejut akan satu hal. Nana sedang berdiri disana. Dipintu pembatas taman dan rumah. Ira yang masih terpaku langsung ditarik tangannya oleh Nana menuju kamar Ira. Sesampainya di kamar Ira, Nana langsung memeluk tubuh sahabatnya itu. Ira kembali menangis sesenggukan dalam pelukan sahabatnya. Seakan tertular virus yang sama, Nana ikut terhanyut dalam tangisan sahabatnya. Cukup lama mereka berada dalam posisi yang sama. Isakan mereka bagai alunan musik sendu yang bahkan dapat menyayat hati Marina, boneka awan besar. "Mba.. adek ma...suk..ya.. mba kenapa nangis?" Ujar Dhaffa sepupu Ira yang langsung melangkah mendekati Ira. Ira langsung menghapus air matanya "mba gapapa dek" ujar ira sambil tersenyum. "Mba ngga usah bohong deh. Mba kenapa?" Ujar daffa mengulang pertanyaan yang sama. "Mba ngga....." "Pakde sama bude lagi?" Tanya Dhaffa. Ira terdiam dan menunduk. Melihat hal itu, daffa menghela nafasnya berat. Napasnya terasa sangat sesak. Dhaffa diam mematung dengan tangan yang mengepal kuat. "Mas, mba kenapa?" Tanya dzaka. "Mba gapapa dek" ujar Ira sambil tersenyum sedangkan Dhaffa masih diam dengan rahang yang mengeras. "Masalah apa kali ini mba?" Tanya Dhaffa yang mengabaikan pertanyaan adik sepupunya. "Bukan apa-apa" ujar Ira dengan senyuman dan gelengan lemah. "Bohong. Kalau bukan apa kenapa mba nangis?" Ujar Dhaffa sedikit meninggikan suara namun berhasil membuat ketiga manusia yang berada dalam atmosfer yang sama dengannya tersentak. Dhaffa melangkahkan kaki jenjangnya ke arah Ira dan langsung menarik Ira kedalam pelukannya. Dhaffa memeluk Ira sangat erat. "Mba.. cerita.." bisik Dhaffa yang sudah mulai terisak. Entah mengapa virus yang ditularkan Ira ke Nana, kini tertular padanya juga. Tolong jangan bully Dhaffa dengan mengatakan bahwa dirinya adalah remaja lelaki yang cengeng. Menangis adalah hak semua orang, kan? Ira menggeleng kuat dalam pelukan sang adik. "Ngga, belum saatnya, dek" ujar Ira yang kembali terisak. Jika sudah begitu, Dhaffa sudah tidak bisa berbuat apa-apa. "Sudah-sudah. Dhaffa, dzaka ayo kita keluar.. biarkan Ira istirahat dulu, dia butuh waktu untuk sendiri" ujar Nana sambil tersenyum dengan nejak air mata yang masih jelas terlihat di matanya yang merah. "Kalian ke taman belakang sama kak nana ya.."ujar nana. Setalah kepergian Nana dan kedua adiknya. Kini suara adzan isya terdengar, seakan datang sebagai solusi dari porak porandanya hati Ira saat ini. Ira mengalihkan pandangannya lurus ke celah tirai coklat muda yang menutupi pintu kaca menuju balkon. Suara adzan itu terdengar sangat berbeda malam ini. Ya, Ira belum pernah mendengar yang seperti ini sebelumnya, arau lebih tepatnya tak seindah ini sebelumnya. Entah mengapa tentram menerpa dirinya saat ini. Tanpa ia perintahkan, kakinya melangkah menuju balkon, tak peduli meski angin malam menusuk kulitnya. Ira berhenti di pagar balkon yang dipenuhi bunga menjalar. Tatapannya lurus ke arah masjid, tatapan itu kosong namun tampak mulai damai dan teduh walau guratan kalut masih di sana. Tampak kedua ujung bibirnya tertarik ke atas, menciptakan sebuah senyuman tipis dan damai. Allahu akbar.. Allahu akbar... allahumma yassir wala tuassir. Robbi tammim bighair. Allahu akbar.. bisik ira. Gadis 16 tahun itu berlari kedalam kamarnya, merampas mukenah merah muda dari atas lipatan sajadah dan kembali berlari keluar kamarnya. Keluar rumah tepatnya. Ira berlari ke tempat yang seharusnya ia datangi sejak tadi, tempat ia berkeluh-kesah, tempat ia meminta pertolongan. Ira langsung melangkahkan kakinya menuju baris paling depan, setelah sampai di depan pintu kayu dengan ukiran indah yang sudah terbuka lebar. Ira bernafas lega setelah berdoa dan menjalankan sholat sunnah. Ia mendapatkan waktu mustajab itu. Dan ia sudah mengirimkan proposal hidupnya. "Firman! Lo ngapain ikut ke siniiiiii? Udah sana ke tempet cowok. Kesian tuh Mas Sabda duduk sendirian di tempet imam" "Biarin lah udah gede juga. Lagipula gue kan kembaran lo. Jadi gue harus mastiin lo sampe dengan selamat sejahtera di area cewek dong. Lo lupa ya? Lagian gue ga mau ya sampe ada jerk yang godain kembaran gue. Kalo ada apa² gimana? Kalo ntar tiba² lo mbelendung gimana? Yang kena marah siapa? Yang repot siapa? Gue juga kan.." ujar firman panjang lebar. "Yaa ya.. terserah lo deh. Nah gue udah sampe dengan selamat sejahtera kan di sini.. jadi.. kepada Firman Radiktya Mahesa bin Khoirullah Khaidar Mahesa bin Fetih Mahesa, kembaran gue yang tercinta.. silahkan anda pergi dari tempat akhwat dan silahkan anda temani Mas Sabda" ujar Maya. "Baiklah Khadijah Sumayah Mahesa binti Khoirullah Khaidar Mahesa bin Fetih Mahesa. Bye!" "Gue doain semoga lo cepet dapet istri! Biar ga ada yang recokin gue lagi!" Ujar Maya "AAMIIN!!!" ujar Firman. Setelah kepergian Firman, Maya segera masuk dan menempati baris pertama. Tepat di samping Ira. Saat Maya menoleh ke samping kanan, betapa terkejutnya Maya saat menemukan sang calon ipar duduk tepat di sampingnya. Ira.... bisiknya lalu tersenyum. dengan cepat maya melaksanakan sholat sunnah, lalu setelahnya ia menyapa Ira yang tampak termenung. "Ira" ujar ira sambil tersenyum setalah membalas jabatan tangan Maya. "kamu tinggal di sekitar sini? Atau mampir aja?" ujar maya. "Aku warga komplek ini, rumahku di bawah sana, pas tanjakan" ujar Ira. "Kalau kamu? Aku belum pernah liat kamu" sambungnya. "Ooh aku lagi mampir aja sama kakak ku" Allahu akbar allahu akbar.. Suara ikomah terdengar semuanya mulai berdiri merapatkan saff termasuk Ira dan Maya. Setelah selesai sholat, jamaah yang lain mulai meninggalkan masjid satu persatu. Ira dan maya sedang merapihkan alat sholat mereka masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara lagu dari dalam saku baju Ira. "Halo, ma" .... "Iya.. Ira gapapa kok, Ira lagi di masjid" .... "Iya, mama tenang aja" .... "Hmm..." .... "Yaudah" "Eh iya, ma. Ira nanti pulangnya agak telat ya. Ira.... mau sendiri dulu" ..... "Hm.. bye ma, assalamualaikum" ..... "Ehmh, Ira!" Panggil Maya. "Iya, Kak May?" "Kamu, suka lagu Maher Zain ya" tanya Maya dengan sedikit berhati-hati. "Ehe, iya Kak. Aku suka banget sama lagu-lagunya Maher Zain. Ademmm gituh. Apalagi liat orangnya kan hihi"  ujar Ira Yes, dia udah bisa bercanda batin maya. "Wah, sama dong.. aku juga suka banget sama lagu-lagunya dia. Waah kita sehati yaah"  ujar Maya yang ditanggapi kekehan ringan dari Ira. "Habis ini kamu mau kemana Ira? Langsung pulang?" Tanya Maya sambil melipat mukenahnya. "Hm? Ngga.. aku.. mau di sini aja dulu sebentar" ujar Ira dengan tatapan yang sarat makna. "Hm? Mau aku temenin? Tadi aku sempat lihat ada tempet duduk-duduk di depan sana" ujar Maya. "Ah ngga usah repot-repot Kak May, lagipula nanti keluarga kakak nyariin" ujar Ira sambil tersenyum. "Aah santuy Ra. Saudara-saudara aku itu kalau udah kumpul di masjid biasanya lama. Jadi ya ga masalah, toh aku kasih kabar juga ke mereka kan?" "Boleh lah kalau begitu" ujar Ira  dan di angguki oleh maya. Mereka berjalan keluar masjid bersamaan dan duduk di salah satu kursi taman di yang tidak jauh dari masjid. "Eh ada yang jual kopi ya? Kamu mau minum kopi ngga Ra? Atau teh? Kayakmya enak nih minum yang anget-anget" ujar Maya. "Kak Maya mau minum apa? Ira pesenin aja ya, yang punya warung itu keluarga temennya Ira, biar kita dapet diskon hehe" ujar Ira. "Waaah boleh juga tuh, Ra. Hmmm.. aku teh hangat tanpa gula aja Ra" ujar Maya. "Inget ya Ra ga pake gula" "Oke kak may" ujar Ira yang sudah berjalan menjauh. "Assalamualaikum bude cantik. Ira pesen kopi tanpa gula satu, sama teh hangat tanpa gula satu" "Bu, pesan kopi tanpa gulanya satu, kopi s**u satu" ujar Ira dan seorang pria di sampongnya berbarengan. Bude yang melihat kejadian tersebut menahan senyum ditambah lagi ekspresi terkejut dari kedua anak manusia di depannya itu. "Saya yang pesan duluan" ujar sang pria yang langsung mengubah ekspresinya. Terlihat Ira mengangkat satu alisnya dan menahan napas setelah mendegar penuturan pria tersebut. Selang beberapa detik ira kembali menurunkan alisnya dan mengubah ekspresinya dengan senyum yang sedikit di paksa. Ira menganggukkan kepalanya dan sedikit menjauh daritempatnya semula. "Sok atuh" ujarnya. Dan bude terkikik geli melihat ekspresi Ira. "Budeeee.." ujar Ira kesal karena bude malah tertawa. "Iya raa...". "Kamu pesan apa Ra?" Tanya Maya setelah menyesap Teh hangat nya. "Kopi tanpa gula" ujar Ira sambil menghirup aroma kopi di tangannya. "Kamu suka kopi tanpa gula? Ngga pahit gitu?" Tanya Maya. "Kalau kopinya nescafe atau torabika gitu ya ngga pahit, enak malah. Tapi kalau kopi asli yaah dikurangin dosisnya, pait banget itu soalnya" ujar Ira. Maya terkikik melihat ekspresi Ira yang seolah kepahitan saat membayangkan meminum kopi asli tanpa gula. "Ooh gitu ya.. kalau begitu kamu sama banget kayak Masku. Sukanya kopi tanpa gula" ujar Maya lalu kembali menyesap Tehnya. "Eeh ada temen dong aku hahaha" "Oh iya kak May udah kabarin keluarga kakak, kalau kakak sama aku?" Tanya ira dan diangguki oleh Maya. "Udah kok. Kayaknya mereka juga lagi ngopi-ngopi tapi ngga tau dimana, belum keliatan dari tadi" "Woy Maya!" Ujar seseorang dari belakang Maya. "Uhuk! Firmaan! Bisa ga sih ga usah ngagetin! Hobby banget dah lu" "Its my duty untuk ngerecokin lu as your twin... eeeh siapa gerangan adiks gumush ini? Temen yang lu bilang tadi?" Ujar firman yang dibalas anggukan oleh Maya. "Ra, kenalin ini Firman, kembaran aku. Nah Firman, adiks gumush ini namanya Ira" ujar Maya. Ira dan Firman hanya mengangguk sambil tersenyum. "Ira, ya? Kok gue kayak Familiar gitu ya sama namanya? Hmm, wajahnya juga! Kita pernah ketemu sebelumnya ya, Ra?" Tanya Firman. "Kayaknya ngga pernah deh, aku belum pernah liat wajah kak Firman sama Kak Maya sebelumnya" "Hmmm.. gitu okelah. Tapi aku beneran ga asing lo sama wajah kamu" "Udah lah Man. Cukup modusnya. Kita ngerti kok kalau kami itu kebelet nikah, tapi ngga ngembat temen aku juga kali" "Sembarangan antumna!" "Ngga pa-pa  kak, wajah Ira emang pasaran hahaha" "Ah kamu Ra!" "Eh Ra, kita belum tau nama asli kami nih.. siapa tau aja kan nanti kita ketemu lagi atau ada perlu, masak iya aku cari kamu pakai nama panggilan, kan yang dipanggil Ira banyak" ujar Maya. Ira tersenyum lalu mengangguk dan tanpa curiga mengatakan namanya. "Namaku Nadheera Aqueena, Kak May" ujar Ira. "Ha? Nadheera Aqueena? Seriusan?" Tanya Firman dan di angguki oleh Ira. "Kenapa kak Firman?" Tanya Ira. "Ah, eh ngga pa-pa kok. Cuman jarang denger nama Nadheera aja" ujarnya sambil menggaruk tengkuknya yang diyakini Ira tidak gatal. Ira hanya mengangguk. "Eh kamu beneran ngga mau pulang bareng kita aja, Ra?" Tanya Maya. "Makasih banyak kak May, tapi ngga usah, rumah Ira ngge jauh kok dari sini. Yaudah kalau gitu Ira duluan ya Kak May, Kak Firman. Assalamualaikum" ujarnya. "Waalaikumussalam. See you soon, Ra!" Ujar Maya. Setelah Ira sudah cukup jauh, "eh May, ituuu Iranya Ibu sama Bapak? Iranya Om Yuliardi?" Tanya Firman. ///////*//////// ~A Song For Brother- Ri Jeong Hyeok~ "Hm? Nomor siapa nih? Bodo amat lah, ga kenal!" Ujar Ira yang meletakkan kembali ponselnya di atas meja setelah melihat tidak ada nama yang tertera di layar ponselnya. Tapi nomor itu menelponnya berkali-kali, jadi ia memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. "...." "Kenapa baru diangkat!" Tanya orang dari sebrang sana dengan nada datar dan dingin. Suara ini.. kayak pernah denger.. Batin Ira. "Halo Nadheera! Are you there?" "Maaf, anda siapa, ya?" "Ck! Saya Sabda!" "Ha? Mas Sabda?" "Saya bukan Kakak anda ya!" "Eeh.. iya, maaf pak" "Ck! Sudahlah. Temui saya di T Cafe Savana Mall, jam 3 sore ini!" "Tapi saya baru pulang jam 4.30, pak" "Terserah anda" Tuut.. tuut.. tuut.. "Hiiiih.. kenapa sih nih orang? Ini Mas Sabda beneran ya? Mas Sabdaaa calon laki gue?? Kok gini baget sih?? Kata Bu Sara anaknya baik tapi kok kayak gitu sih ngomongnya?? Ogeb lu Ra!! Mana ada ibu yang jelek-jelekin anaknya hadeeh.. tapi gue calon istrinya loooh.. calon istriii! Waah-wah.." ira menggelengkan kepalanya beberapa kali masih tidk percaya dengan nada bicara orang yang menelponnya tadi. Dingin beut mba² gaes, mas² gaes. Kebetulan sekali, jam pelajaran terakhir adalah jam senibudaya yang bapaknya lagi honeymoon, jadi freeclass. Ira memutuskan untuk menelpon Daffa, sepupunya dan meminta abg labil itu untuk menemaninya bertemu dengan Sabda. Tapi sangat disayangkan, "Yaah mba, maaf banget, adek lagi bikin tugas sama Syifa, jadi ga bisa bantuin mba deh.." "Ha? Syifa? Gebetan kamu itu?" "Hehe iya mba, tolong lah mba yaa sekali iniii aja, please mba, jarang-jarang adek bisa ngerjain tugas sama dia.. ya mbaa.." "Iya deeh yang baru pubeer.. yang lagi cinta-cintanyaaa.. tapi awas aja ya kamu! Jangan sampe khilaf! Lihat aja, mba kebiri kamu hahaha!!" "Buseeet ngiluuu! Iya mbaaa ngga akan kook, ngga akan, suwer deh. Udah yah mba.. ganggu aja sih, hiih!" Tuut.. tuut.. "Hilih dasar abg labil! Baru aja kecantol, ntar putus, di tolak, kebakaran jeggot! Nangisnya di pundak gue juga kan! Hih!" Ujar ira bergidik kesal. Akhirnya Ira mutuskan untuk berangkat sendiri. Tiba-tiba Nana datang. "Mau kemana lu, Ra?" "Ha? Mau ketemu calon laki" ujar ira sambil membuka aplikasi ojek online. "Ih gue serius Raaa" "Gue juga serius Nanaaa. Gue mau ketemu sama Sabda, future husband gue" "Jadi seriusan lo mau ketemu dia? Gue kira lawakan lo aja. Kalian mau ngapain sih? Ayang-ayangan ya?!? Hayoloh belum muhrim!" "Hiih, apaan sih Na.. ya kali, ketemu baru kali ini juga. Lagian otak lo kok isinya yang iyaiya muluk sih" "Iya deh iyaaa yang udah punya calon laki mah bedaa. Jadi kalian mau ketemuan di mana? Lo naik ojol gitu ke sana? Ga di jemput? Hih ga romantis bingits!" "Savana Mall. Tauk tuh!" "Waaah kebetulan, gue juga mau kesana. Mau bareng aja? Daripada lo naik ojol kan! Hemat ongkos.. itung-itung tabungan buat lahiran ponakan gue nanti.. " ujar nana sambil nyengir kuda. "Apaan sih naaa! Udah ponakan aja lu!" "Udah ayo naik!" "Iya bawel" Ira dan Nana langsung meluncur ke Savana mall. "Eh, Ra gue mau cerita deh sama lo" "Hem? Tumben lo. Mau cerita apaan?" "Eh tapi coba lo buka HP gue dulu deh" "Apaan sih emangnya?" Ira merain ponsel nana yang tergelatk di atas TV lalu membukanya. "Huwaseeem! Ini.. Kak Gading kan? Lo.. lo.. lo sama Kak Gading.. kaliaaan?" "Hihihi, gue suka banget sama Kak Gading Ra... kayaknya gue kepelet sama Kak Gading deh Raaa soalnya gue tuh belakangan ini jadi bucinnya dia bengeeeet" "Mosoook" "Iyaaa! Gue spam like IG kelas nyaa, buka Facebooknya.." " terus? Lo spam like IG pribadinya?" "Eh gila! Galeri lo foto Kak Gading semua Na?" "Hehehe iyaa. Tp waktu spam IG pribadinya gue pake fake account kok" "Hadeeh untug lah, kalau ngga, ketauan banget lu. Untung mukanya ga lo jadiin bantal sama cover binder lu, Na" "Eeh? Hehehehehe" "Whaaat? Lo lakuin itu, Na?" "Hehe iya Ra" "Waaah, akut sih bucin lo!" Ujar Ira sambil geleng-geleng kepala. Nana dan Ira sudah sampai di Savana Mall. Mereka langsung pergi ke T Cafe tempat yang diminta oleh Sabda. Di saa ternyata Sabda tidak sendirian, seorang pria seumuran dengan Ira dan Nana duduk di samping Sabda. "Maaf saya telat, anda pasti sudah lama menunggu" ujar Ira dan hanya dibalas dehaman oleh Sabda. "Duduk" ujar sabda dingin dan tegas. Buset, ngilu gue dengernya. Sabar ya Ra batin Nana. "Anda siapa?" Tanya Sabda pada Nana. "Ah, perkenalkan, ini sahabat saya, Na..." "Saya tidak bertanya pada anda" ujar sabda tajam, ira hanya terdiam dan tersenyum kecut. "Eh, saya Nana sahabatnya Ira..p-pak" "Gading, pergilah. Anda juga pergilah. Cari tempat duduk dan pesan yang kalian mau. Saya mau bicara dengan dia" "Mas.. maksud saya pak Sabda mau bicara apa?" Tak lama, Ira datang mendekati nana sama gading. "na pulang yuk" ujar Ira "oh udah selesai?" Tanya Nana. "iya" ujar Ira dengan senyum yang sedikit di paksakan. "oke, kak aku duluan ya" "oke hati hati ya" "oke bye kak" "Mas saya pulang duluan," ujar Ira saat meleeati meja Sabda. Sabda mengangguk tanpa melihat ke ira. "ayok na" "bye kak gading" "bye!" Setelah Ira dan nana cukup jauh~ "kamu kenal dia?" "kenal lah adik kelas ku" "oh" "eh mas kenapa calon mu ga dianter pulang?" "kan ada temennya" "Idih, jahat banget sih" "calonku juga kan, bukan calonmu" "sakarepmu lah" //////*///////
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD