03. MPH

1107 Words
Meisya sekarang sedang berada di taman kota, setelah berbelanja dia langsung mampir kesebuah taman. Sudah lama sekali ia tidak merasakan udara segar seperti ini. Meisya melihat seorang pria tua dengan pakaian lusuh, kotor serta compang-camping. Hati Meisya merasa iba dan kasian, Meisya pun berjalan mendekati pria tua itu dan berniat memberikan bantuan. "Bapak belum makan?" tanya Meisya lembut. Pria tua itu menatap Meisya dalam. Membuat Meisya semakin tidak tega untuk tidak membantunya. "Ini pak uang untuk bapak." Meisya memberikan lima lembar uang berwarna merah muda pada pria tua itu. Pria itu mengambil uang tersebut lalu menelitinya dengan tatapan bingung. Meisya pikir pria tua itu tidak percaya dengan uangnya, mungkin karena tidak ada yang memberikannya uang seperti itu padanya. "Itu uang sebesar lima ratus ribu Pak, uang itu cukup untuk buat makan Bapak selama dua minggu," jelas Meisya. Bukannya berterima kasih, pria tua itu malah berteriak memanggil Meisya dengan sebutan istri. "Istriku-istriku, apakah kamu istriku?" tanya bapak-bapak itu persis seperti orang gila. Tunggu, jangan bilang bapak tua ini benar-benar orang gila? "Hah orang gila!" kaget Meisya. Meisya langsung berlari menjauh dari pria tua itu. "Hey istriku kenapa kau lari? Istriku, istriku!" panggil pria tua itu lalu mengerjar Meisya. "AAA...!! jangan kejar saya," teriak Meisya takut sambil terus berlari secepat mungkin. Namun, high heels yang digunakan Meisya membuatnya sulit untuk berlari. "Istri ku jangan tinggalkan aku lagi." Pria tua itu tidak berhenti mengejar Meisya. Braaak Meisya terjatuh karena tersandung dengan kakinya sendiri. "Sakit sekali, tolong bantu aku," ringis Meisya sambil menangis saking takutnya pada pria tua itu yang kini masih mengejarnya. Sialnya di sana tidak ada orang, mungkin karena jam seperti ini semua sedang bekerja dan sekolah, jadi tidak ada satu pun orang di sana kecuali dirinya dan pria tua itu. Meisya memijat pergelangankakinya. "Bara, bantu istrimu ini," tangisnya semakin keras saat kakinya terasa sakit, ia juga memanggil nama suaminya dan berharap Bara akan datang untuk membantunya. "Istriku, istriku." Pria tua itu semakin mendekat. "BARA!!" jerit Meisya ketakutan saat melihat orang gila tadi mulai mendekatinya. "s****n kau!" teriak seseorang lalu langsung mendorong pria tersebut. "Dia istriku!" ucap pria tua itu dan berusaha mendekati Meisya kembali. "JANGAN SENTUH DIA, ATAU AKU AKAN MEMATAHKAN SEMUA TULANG MU b*****h," teriak Bara sambil membawa Meisya kedalam dekapannya. Pria tua itu ketakutan saat melihat wajah Bara yang sedang marah. "Ta-tapi di-dia istriku," cicitnya lagi. "DIA ISTRIKU! PERGI SANA!" tekan Bara lalu menyuruh pria itu untuk pergi. Dengan berat hati, pria tua itu pergi dari sana. "Bara hiks... sakit hiks.." adu Meisya sambil memperlihatkan pergelangan kakinya yang membiru. Bara berdecak lalu ia menggendong Meisya ala koala dengan kaki Meisya yang melingkar di pinggangnya, Meisya pun langsung membenamkan wajahnya diceruk leher suami ia merasa malu pada Bara, tadi malam ia marah-marah pada suaminya, tapi sekarang apa? Ia malah memanggil Bara dan menangis di depan pria itu. **** "Kenapa keluarnya sendirian?" tanya Bara saat sudah berada di dalam kamar mereka. "Cuman pengen keluar sendirian aja," jawab Meisya. "Kenapa nggak minta anter sama sopir atau nunggu aku pulang?" tanya Bara dan mencoba menahan emosinya. Ia tahu pasti istri masih syok dengan kejadian tadi. "Kan katanya kamu nggak boleh deket sama pria lain jadi aku nggak mau bareng sama mereka, terus kalau nunggu kamu nanti kelamaan, lagian aku udah ngirim pesan ke kamu, suruh siapa nggak di buka," jelas Meisya dengan segala alasannya dan pembelaannya. "Emang tadi kamu kemana aja?" tanya Bara. Baik untuk kali ini Bara akan maafkan istrinya yang keluar tanpa minta izin karena ia tidak mau bertengkar kembali dengan Meisya. "Aku tuh tadi cuman belanja, terus pergi ke taman, dan--" "Dan ketemu sama orang gila," ejek Bara. "Ih jangan diingetin lagi," ujar Meisya kesal. Bara tertawa keras saat mengingat wajah istrinya yang sangat ketakutan saat melihat orang gila tadi. "Jangan ketawa," lanjut Meisya sambil membungkam mulut Bara dengan telapak tangannya. Tawa itu terdengar sebagai ejekan baginya. "Terus aku harus apa?" tanya Bara yang sudah menghentikan tawanya. "Obatin kaki aku ya," pinta Meisya sambil menunjuk kearah pergelangan kakinya yang mulai membiru dan membengkak. Bara memejamkan matanya sebentar, dia hampir lupa jika Meisya sedang terluka. Bara buru-buru mengompres pergelangan kaki Meisya lalu memijatnya. *** "Dimana Bara?" tanya Al kepada Brian. "Tuan Bara tadi pulang, Tuan," jawab Brian. "Jadi meeting-nya batal?" taya Al kembali. "Terpaksa harus dibatalkan Tuan." "Emang Bara pulang kenapa?" tanya Al penasaran. "Nyonya Meisya tidak ada di dalam mansion Tuan," jawab Brian seadanya. "Kamu nggak lagi bercandakan?" "Tidak Tuan," jawab Brian sopan. Al pun langsung pergi dari kantor Bara tanpa membalas perkataan dari Brian. Setelah sampai di mansion milik Bara, Al dengan sopannya langsung berteriak memanggil sang pemilik kediaman tersebut. "Oy Bara!" "Mana sih tuh orang?" gerutu Al. Meskipun Al sudah memiliki satu anak, tapi sifatnya masih belum berubah. "Adik ipar," lanjut Al yang kembali berteriak. "Bara k*****t!" umpat Al kesal saat tidak mendengar sahutan sama sekali. Al pun berniat untuk berjalan ke kamar Bara. Sepertinya tenaganya akan terbuang sia-sia jika ia hanya berteriak di sana. Disaat Al sudah hampir dekat dengan pintu kamar Bara tiba-tiba terdengar sayup-sayup pembicaraan dari dalam. "Bar, sakit." terdengar Meisya yang tengah meringis. "Ya makanya jangan banyak gerak biar nggak sakit," balas Bara "Auwwssh pelan-pelan aja Bar," sahut Meisya kembali yang seperti orang kesakitan. "Nih aku pelan-pelan." Al menggigit bibir bawahnya, ia yakin bahwa ia tidak salah dengar. "Woy apakah mereka melakukannya di siang-siang sperti gini," gumam Al. Jadi ini alasan Bara meninggalkan meeting pentingnya. "Buka nggak ya?" tanya Al bimbang sambil memegang knop pintu kamar Bara. "Ini tuh harus dilemesin dulu biar nanti nggak sakit." "Lanjut ya?" tanya Bara. "Tunggu dul-- BARA SAKIT!!" pekik Meisya nyaring lalu Al mendengar adik kesayangannya itu menangis. "Udah nggak bisa dibiarkan ini, kayaknya adek gue tersiksa," ucap Al tegas. Dengan keyakinan seratus persen, Al langsung membuka pintu kamar tersebut. Ceklek Tanpa aba-aba Al langsung masuk kedalam. "s****n LO BAR BIKIN ADEK GUE TERSIK--" ucapan Al terhenti saat melihat posisi Bara dan Meisya. Meisya dan Bara menatap Al dengan tatapan heran ditambah muka polos dari masing-masing. "Lo nggak lagi ngapa-ngapain?" tanya Al heran saat melihat Meisya yang duduk di atas kasurnya dan Bara tengah memegang kaki adiknya. "Gue lagi mijet kaki Meisya yang terkilir," jawab Bara seadanya. "Tapi tadi gue denger Meisya kayak nangis gitu," jelas Al. "Ya aku nangis karena kaki aku sakit kak," balas Meisya. "Kalian bener-bener nggak ngelakuin sesuatu kan?" tanya Al yang kembali memastikan. Ia yakin jika mereka berdua sedang melakukan hal itu. "Emang kalau kita ngelakuin hal lain, kamu juga mau masuk juga?" sarkas Bara kesal. "Gu-gue cuman mastiin doang, soalnya tadi Meisya teriaknya nyaring banget," balas Al. Ia sangat-sangat merutuki kebodohan, Al pun langsung pergi dari kamar Tersebut. "Bodoh banget sih gue, malukan akhirnya," gumam Al merutuki dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD