(3)

1860 Words
        Tak selamanya hujan mampu menyamarkan tangisan di wajah seseorang seperti yang disampaikan oleh para pujangga cinta. Terkadang ia hadir membawa badai yang menakutkan dalam kehidupan seseorang, seperti aku. Selain kehidupan di rumah yang kurang kondusif bagiku, kehidupan pertemananku juga sejalan dengan itu, ketika aku bersekolah di sekolah dasar saat itu aku memiliki seorang sahabat di kelas satu namanya adalah Jani, dia adalah seorang yang sangat baik dan cantik. kami sangat dekat bahkan kedua orang tua kami bersahabat. kami duduk sebangku dari kelas satu SD hingga kelas tiga SD, sayang sekali Jani itu memiliki keterbatasan diri, dia tidak terlalu pintar dibidang akademik disekolah oleh itu kita berteman dan saling support untuk saling membantu melengkapi kekurangan kita, Ibunya Jani selalu memintaku untuk membantu mengajarkan Jani, supaya ia tidak tertinggal dalam pelajaran dan memintaku untuk membantunya ketika ada kesulitan, ketika pulang sekolah aku sering diminta untuk ke rumah Jani dan menemaninya belajar atau bahkan hanya untuk bermain mainan anak perempuan seperti Barbie, boneka dan  mainan lainnya. Jani memiliki teman dekat bukan hanya aku, ia sebenernya punya beberapa teman lain yang bahkan masih punya hubungan darah dengannya dan kedua orang tua mereka pun saling kenal, nama teman dekat Jani yaitu Shelly dan Namira. Shelly dan Namira cukup dekat dengan Jani, yang bahkan kedekatan mereka bertiga melebihi kedekatanku dengan Jani. Namun Jani mengenalkanku dengan Shelly dan Namira yang akhirnya membuat kita berempat menjadi dekat, hingga suatu ketika mereka bertiga sedang menghadapi masalah di keluarga mereka yaitu masalah persengketaan tanah antara orang tua Jani dengan orang tua Shelly dan Namira, mungkin ini masalah yang seharus nya tidak aku ketahui apalagi saat itu aku masih duduk di kelas satu sampai kelas 3 SD. Akan tetapi masalah keluarga mereka akhirnya terdengar olehku secara langsung, aku mengetahuinya karena sering mendengar Ibunya Jani membicarakan  itu di depan kami saat aku dan Jani sedang main di rumahnya, begitu pula dengan Shelly dan Namira kedua orang tua mereka juga sering membicarakan Jani dan Ibunya di depan Saya, Shelly dan Namira di saat kita sedang main bersama di rumahnya. Pada akhirnya permasalahan kedua orang tua mereka membuat hubungan pertemanan antara Jani, Shelly dan Namira menjadi rusak, sedih rasanya melihat mereka bertengkar dikarenakan masalah orang tua mereka, aku merasa tidak seharusnya seperti itu menumpahkan masalah keluarga atau orang dewasa kepada anak sehingga muncul rasa benci diantara mereka. Bahkan Jani pernah di bully di sekolah dan tidak ditemani oleh satu kelas selain diriku. Aku merasakan sedih dengan apa yang dialami Jani pada waktu itu, walaupun karena itu pula aku juga kena dampaknya jadi dimusuhi oleh mereka, karena aku tidak mau memilih berteman dengan Jani atau Shelly dan Namira. Sungguh sebuah pertemanan yang cukup rumit untuk seorang anak SD.  Walaupun setelah berjalan beberapa waktu ceritanya berbeda ketika kami naik di kelas empat SD, kami sudah tidak sedekat dulu. Kami tidak terlalu dekat lagi karena kita jarang bermain seperti dulu dan yang aku tau Jani juga sudah mulai dekat kembali dengan Shelly dan Namira, aku bersyukur mereka menjadi dekat walaupun Jani tetap suka dibully ataupun disuruh oleh Namira ketika mereka bermain bersama. Di saat itu saya merasa seperti Jani mulai melupakanku karena Jani lebih memilih berteman dengan mereka dibandingkan denganku. Tapi aku akan tetap mengangap Jani sebagai sahabatku sampai kapanpun, karena dia adalah orang baik dan sahabat pertamaku saat masuk dibangku sekolah dasar dan sekaligus menjadi oase di tengah gersangnya kehidupan keluargaku.           Kisah pertemananku di masa kecil tidak hanya sampai berhenti disitu, ketika aku berada di kelas empat SD, aku dekat dengan seseorang teman yang bernama Rahel, Rahel atau yang sering dipanggil Rae itu dia sudah tidak memiliki Ibu dikarenakan Ibunya telah bercerai dengan Ayahnya serta memilih pergi meninggalkannya, ia hanya memiliki seorang Ayah yang berperan sebagai Bapak rumah tangga sekaligus Ibu bagi Rae, dia juga memiliki seorang Kakak laki laki yang tidak terlalu dekat dengan dirinya. Saat berteman kami aku dengan Rae sangat dekat sekali, kami seringnya bercerta dan berbagi apapun berdua. Pertemananku dengan Rae sangat berbeda dengan Jani, Rae sering main ke rumahku, dia sering bercerita tentang masalah yang dialami oleh dirinya, ia sering bercerita kepadaku maupun keluargaku bahwa ia sangat merindukan sosok Ibunya yang telah bercerai dengan Ayahnya dan meninggalkannya bersama Kakanya itu, ketika ia bercerita tentang perasaan rindunya kepada Ibunya membuatku merasa sangat sedih degan apa yang dialami Rae, bahwan sampai pada titik ia sering menyakiti dirinya sendiri. Selain sering menyakiti dirinya sendiri perlakuan Ayah dan kakaknya serta semua pengalaman yang dialaminya itu membuat dia jadi seorang anak yang tempramental dan juga suka menyalahkan orang disekitarnya termasuk aku sendiri, dia pernah mengajakku sepulang sekolah untuk pergi kebelakang sekolah, di sana dia tiba-tiba tanpa ada alasan apapun dia mulai menyakitiku, dia tiba-tiba mendorong tubuhku serta menjabak rambutku sembari berkata-kata kasar kepadaku, sontak kejadian yang serba mendadak itu mengagetkanku, saat itu aku tidak mengetahui mengapa dia melakukan itu semua kepadaku, fikirku saat itu “Ahh, mungkin dia sedang merasa sedih karena keingat sama Ibunya dan dia ingin mengeluarkan perasaan itu.”              Meskipun dia pernah melakukan kekerasan kepadaku, aku masih bermain dengannya serta masih menganggap dirinya sebagai temanku, aku takut jika aku tersinggung dengan perlakuaannya kepadaku dan aku memilih untuk menjauhi Rae, aku akan kehilangan teman seperti yang dilakukan Jani kepadaku, selain itu aku percaya bahwa Rae anaknya baik, selain itu aku juga merasa perihatin dengan kondisi Rae pada saat itu, pasti bukan masalah yang mudah dialami oleh anak seusianya saat itu. Hingga pernah di suatu hari Rae kembali datang ke rumahku sembari menangis menghampiriku, dia menyampaikan kepadaku sesuatu bahwa dia ingin membelikanku obat karena pada saat itu aku memiliki masalah dan penyakit pernapasan, penyakit lama yang aku alami sejak aku kecil. Rae pun memiliki masalah atau penyakit yang hampir sama denganku hanya saja dia mengidap asma sedangkan aku alergi. Melihat apa yang dilakukan Rae yang care denganku membuatku luluh memaafkan segala hal buruk yang sudah pernah ia lakukan kepadaku, meskipun pada saat itu aku merasa sangat tertekan ketika berteman dengan Rae karena penyiksaan secara verbal dan fisik yang dia lakukan kepadaku. Tetapi tetap saja aku selalu memaafkan Rae ketika aku memikirkan dia yang sudah pernah baik denganku, dia yang mau berteman denganku.             Aku takut bercerita dengan orang tuaku mengenai perlakuan yang dilakukan Rae kepadaku, aku takut orang tuaku melarang aku berteman dengan Rae, meskipun pada saat itu Mamaku seperti sudah tau dan tidak suka jika aku berteman dengan Rae, walaupun aku tidak pernah menceritakan tentang apa yang aku alami selama berteman dengan Rae, firasat seorang Mama memang kuat dengan anaknya. Mamaku menjadi tidak suka aku berteman dengan Rae karena sering melihat aku menangis setelah pulang bermain dengan Rae, aku tau pasti ada sesuatu yang mebuat Rae berlaku demikian terhadapku. Rasa penasaranku mencuak terhadap Rae, kenapa dia bisa melakukan ini semua kepadaku, hingga pada momen liburan tahun baru dia sekali lagi datang mengunjungi rumahku, saat itu aku dan kedua orang tuaku menerima kehadirannya dengan baik, saat itu Rae ikut makan bersama dengan keluargaku, sewaktu kami sedang makan malam itu dia bercerita dia takut dimarahi oleh Ayahnya sehingga iya kabur dan memutuskan untuk pergi ke rumahku di momen malam tahun baru itu, kita sama-sama terkaget melihat apa yang disampaikan oleh Rae karena memilih kabur dari rumahnya, karena kami tidak tega melihat kondisi Rae saat itu akhirnya dia diperbolehkan tinggal denganku pada malam itu sampai pada kesokan harinya Ayah Rae datang ke rumahku dan berpicara empat mata dengan Ayahku mengenai apa yang dirasakan Rae saat itu. Ayahku mencoba mengatakan kepada Ayahnya Rae untuk tidak tidak terlalu keras dengan anaknya, mendengar penjelasan dari Ayahku, Ayahnya Rae pun menyesal dan meminta maaf kepada orang tuaku karena terlalu sering direpotkan dengan kehadiran Rae di rumah, dan Ayahnya Rae pun juga meminta maaf kepada Rae. Beliau juga mengucapkan terima kasih kepada orang tuaku sudah menjaga Rae dan menerimanya juga mebantu Rae selama ini. Akan tetapi ada beberapa kata yang membuat Ayahku syok pada saat itu, yaitu kata kata Ayahnya Rae yang tiba-tiba meminta Mamaku untuk bersedia menggatikan ibunya Rae yang sudah meninggalkannya bersama Kakaknya, semua orang seolah terdiam mendengar apa yang disampaikan oleh Ayahnya Rae. Sembari menguping pembicaran mereka pun aku ikut terkejut tapi beruntungnya Ayahku menanggapinya dengan cair, Ayah hanya menjawab dengan candaan dan tertawa kepada Ayahnya Rae yang membuat suasana sunyi saat itu seketika riang kembali.         Setelah Rae dan Ayahnya pulang, tiba-tiba Ayah dan Mamaku mengajakku berbicara dan saling menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Ayahnya Rae, setelah itu kedua orang tuaku memberikan kesimpulan memintaku untuk menjauhi Rae.         “Ada apa ini? Kok tiba-tiba Ayah dan Mama memintaku menjauhi Rae? Apakah mereka sudah tau tentang apa yang sudah dilakukan Rae kepadaku?” Tanyaku dalam hati ketika mendengar perintah Ayah dan Mama melarangku berteman lagi dengan Rae.         Sewaktu libur tahun baru telah usai dan aku harus kembali bersekolah dan kembali bertemu dengan Rae kembali, saat itu aku manfaatkan untuk meminta bertemu dengan Rae untuk membicarkan mengenai kedua orang tuaku yang memintaku untuk menjauhinya, akupun juga memberanikan diri mengatakan bahwa aku tidak suka dengan perilakunya Rae selama ini kepadaku yang sering menyiksaku secara verbal maupun fisik, aku juga meminta dia untuk menjelaskan mengapa dia melakuan itu semua kepadaku, pertanyaan yang selama ini aku simpan erat dalam hati, saat itu aku tumpah ruahkan semua kepada Rae, dan saat itu juga aku merasa terkejut mendengar jawaban Rae. Dia berkata jika dia tdak menyukaiku, dia merasa iri dengan apa yang aku miliki. Iri dengan keluargaku serta kehidupanku, dia juga iri denganku yang sering mendapatkan peringkat di kelas, dia iri denganku yang memilik orang tua yang masih lengkap bahkan dia iri dengan kondisi fisikku pada saat itu, dia iri dengan semua kehidupanku sehingga dia melakukan hal itu semua kepadaku. Dia yang semula ingin berteman denganku selayaknya pertemanan kebanyakan anak lain saat itu, seketika berubah karena melihat semua yang aku miliki saat itu, dia bilang jika iri dengan apa yang saya punya dan dia ingin aku merasakan apa yang dia rasakan. Di situ aku seakan tidak percaya orang yang aku anggap teman dan sangat aku pedulikan pada saat itu bisa berbuat demikian terhadapku, saat itu yang bisa aku lakukan adalah meminta maaf kepadanya, karena saat itu aku juga tau pasti dia sangat tertekan berteman denganku ketika ia melihat semua yang aku miliki, ada perasaan kesal dalam diriku tapi lebih banyak perasaan bersalah yang aku rasakan dalam diri, meskipun itu tidak merubah keadaan kondisi pertemananku dengan Rae, semenjak aku mengetahui alasan dari Rae saat itu juga aku sudah tidak lagi berteman dengan Rae, sekali lagi untuk kesekian kalinya aku tidak memiliki seorang teman. Pengalaman berteman dengan Rae membuatku sangat terpukul seolah tidak percaya jika teman yang selama ini aku pedulikan bisa berbuat demikian kepadaku, fikiranku berkelana mencari jawaban atas apa yang salah dengan diriku sehingga membuat kisah pertemananku bisa menjadi sedemikian rumitnya, hingga fikiran-fikiran itu memberatkan kepalaku, kepalaku seakan terasa berat dan menyakitkan, sampai-sampai aku pernah membentur-benturkan kepalaku ke tembok kamarku hanya untuk sekedar meredahkan rasa sakit yang tak tertahankan.                 “Ila kamu kenapa? Hayo, enggak boleh membenturkan kepala di tembok nanti bisa sakit.” UJar Mama kepadaku.                 “Kepala Ila sakit Ma. Ila enggak kuat menahan rasa sakitnya.” Ucapku ke Mama sembari masih membenturkan kepalaku ke tembok kamar.                 “Ya sudah sini Mama pijitin kepala kamu supaya bisa meredahkan sakitnya, dan habis ini Mama belika obat.” Ujar Mama sembari membaringkan diriku di pangkuannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD