Pagi ini, entah ada angin apa tiba-tiba saja Risa mengajak aku untuk lari pagi. Katanya sih, mumpung ini hari Minggu, jadi seluruh makhluk yang disebut manusia di muka bumi ini libur dong pastinya. Tapi, pada minggu-minggu sebelumnya ke mana aja, Ris? Hhh..., dasar si Risa, pasti dia lagi ada maunya deh?!
"Pertandingan ... kemarin, dua-duanya sama-sama keren. Hebat!" katanya memuji dengan napas yang terengah.
"Iya. Tapi, temen lo itu lebih hebat lagi. The best of three point!" balas aku. Saat ini kami sampai di taman kota, tempat orang-orang yang biasa berolah raga untuk berkumpul bersama sejenak beristirahat sambil mengobrol satu sama lain.
"Rezky? Ah..., dia sih emang the best of dalam segala hal. Terutama... basket. Udah gitu, dia itu cuma diem aja udah bisa bikin cewek klepek-klepek...!" tutur Risa sambil mengentakan kedua kaki dengan gemasnya ke lantai bumi.
"Iya. Kasian banget Asep sama Jannes, tim basket sekolah gue. Mereka mati-matian ngelawan si ... Rezky itu!" kataku sedikit berat mengucapkan nama itu. Risa malah menggoda aku ketika menyebut nama itu.
"Ehm, udah ditelepon belom nih...?" tanya Risa sambil mencolek ujung daguku dengan sikap yang genit.
"Apa-an sih?" jawabku sambil senyum. Kami saat ini duduk di kursi taman dekat pohon besar yang teduh dari terpaan panas matahari. Aku minum karena haus juga karena rasa yang aneh tiba-tiba saja muncul dari dalam hati.
"Terus terang aja Sy. Sebenernya, Rezky itu cowok incaran gue sejak putus dari Darwin. Ya ... ampe sekarang sih..., gue masih ngarepin dia." Risa mengakui tanpa ada rasa malu barang secuil pun, lalu menenggak habis minuman jeruknya lalu membuang botolnya ke dalam tong s****h terdekat. "Dia itu ... cowok paling populer di sekolah gue. Hampir semua cewek di sekolah mengagumi dia. Apalagi setelah dia diangkat jadi ketua OSIS dan kapten tim basket." Risa menumpukan satu kaki di kakinya yang lain.
"So..., kenapa lo baru cerita sekarang?" tanyaku ragu. Mendengar Risa menyukai Rezky, entah kenapa hatiku ini jadi merasa nggak enak.
"Karena dia jatuh cinta sama kamu!" jawabnya dengan sedikit sewot.
"WHAT?" aku menggeleng skeptis.
"Ya. Dia itu suka sama elo. Gue tau banget dia. Dan ... gue bangga kalo ternyata sepupu gue bisa bikin hati seorang Rezky yang susah ditaklukin cewek itu ... ampe jatuh cinta setengah mampus," kata Risa memuji.
"Elo ngomong apa sih? Belom tentu." Elakku yang nggak percaya begitu saja.
"It's oke Sy. Gue nggak keberatan kok, lagian gue juga bukan siapa-siapanya dia, dan gue nggak punya hak buat ngelarang dia buat jatuh di hati siapa pun apa lagi elo sepupu gue. Setelah gue tau dia suka elo, gue ngerti cewek seperti apa yang dia suka. Ternyata ... dari sekian banyak cewek yang dia cuekin dan tolak mentah-mentah usahanya, ada satu yang bikin dia terpesona. Elo orangnya. Cewek sederhana. Tapi mempesona. Cuek banget ama yang namanya bedak, alergi. Sementara kami para gadis yang mengincarnya bergaya tebar pesona mati-matian cuma buat menarik perhatian dia doang. Hahaha... nyatanya kami salah! Hah... sia-sia pengorbanan bedak selama ini." Risa terbahak hingga menutup mulutnya. "E tapi gue bangga kok, sama elo. So, elo nggak perlu keberatan kalau misalkan elo mau ngebales perasaannya."
"Tunggu. Mm..., elo berpikir terlalu jauh!"
"Terserah deh, elo mau percaya apa nggak! Yang jelas ... gue nggak pernah liat Rezky kayak kemaren itu. Dan dia juga udah tanya banyak tentang elo ke gue, kok!" celoteh Risa dengan sedikit kesal padaku.
"Gue paling nggak suka kalau misalkan ada orang tanya tentang gue di belakang gue! Pokoknya gue nggak mau besar kepala dulu. Oke."
"Ya, gue sih terserah elo! Bentar ya, gue terima telepon dulu," Risa berjalan ke satu sisi. "Iya halo...? Oh, oke gue oe sana!" kata Risa sambil melambai ke arahku.
"Jangan lama-lama ya!" aku mengingatkannya.
Sementara aku menunggu Risa yang entah sedang menerima telepon dari siapa, aku menikmati udara segar di pagi ini dari tempatku duduk. Aku mencerna ucapan Risa tadi, dan... "Ya ampun! Ada-ada aja, hhh...!" aku menunduk memainkan sepatu di atas pasir, menggeser-geser sampai mengeluarkan debu. "Siapa yang telepon?" tanyaku, karena merasa Risa sudah ada di samping aku. Karena nggak ada jawaban aku pun menoleh, dan, "Kamu?" aku tersentak mengetahui siapa yang ada di samping aku.
"Pagi!" senyumnya...
"Mana Risa?" tanyaku mengalihkan keterpesonaan ini tanpa menghiraukan sapaan darinya tadi.
"Risa udah nyelesaikan tugasnya terus..., dia pulang," dia menjawab.
"Apa? Tugas? Pulang?" tanya aku lalu menggeleng tak percaya. "Jadi ... ini semua rencana elo?" tuntutku.
"Iya. Aku yang ngerencanain supaya bisa ngajak kamu lari pagi," jawabnya lagi tanpa rasa bersalah.
Oh Tuhan...! Bahasanya pun sekarang terdengar formal. "Mm, sory ... kayaknya gue harus nyusul Risa." Handphone -ku berbunyi tepat saat ingin pergi.
"Sory, gue balik duluan! Bye...! Nanti malem gue telepon," katanya lalu mematikan telepon seenaknya tanpa menunggu jawaban.
"Eh, tunggu!" mengembus napas kesal menatap layar hape yang sudah terputus. "Hhh, ya ampun..., ternyata gue ada di tengah-tengah orang yang ngerencanain sesuatu buat gue!" keluhku keki.
"Sory. Aku yang salah. Aku yang minta Risa buat bantu rencanaku. So..., please, jangan nyalahin dia." Menarik sudut bibirnya, terlihat sangat manis.
"Gue terlanjur masuk dalam rencana kalian. Sekarang ... apa boleh gue tau maksudnya... apa?" tanyaku lalu berpaling padanya dan... pandangan kami bertemu. Ya Tuhan..., di saat itu juga ada desiran hebat yang aku rasa. Membuat sulit bernapas. Aku lihat bibirnya bicara tapi entah apa yang dia katakan aku nggak tau. Yang aku tau saat ini hanya menilai rasa asing yang mampir di diriku sekarang ini.
"Hei..., kamu ngertikan maksud aku?" selidiknya.
"Apa? To... tolong u-ulangin sekali lagi, mm... aku nggak dengar," kataku dengan terbata. Astaga..., barusan aku bilang AKU, tapi mau gimana lagi, sudah ketransfer ke telinga dia.
"Ya, jadi ... aku ngerencanain semua ini karena... mau tau banyak tentang kamu secara... pribadi. Aku mau ngomong empat mata dengan kamu," tuturnya.
"Empat mata tapi ruang terbuka!"
"Apa? Kenapa?"
"Ah, ngng... gak kenapa-napa kok!" sangkalku.
Rezky nampak salah tingkah dan ragu untuk mulai bertanya sesuatu, "Mm..., kamu udah lama jadi anggota cheerleader?"
"Iya, sejak kelas satu. Justru sekarang malah aku udah pensiun," jawab aku santai saja.
"Sudah pensiun? Tapi kemarin itu kamu masih tugas?" dia bertanya lagi dengan rasa penasaran.
"Mm..., sebenernya kemaren aku ngegantiin Tia. Kamu kenal Tia, kan?" selidik aku, menatapnya ragu-ragu.
"Iya. Aku kenal Tia karena dia dulu pacaran sama Mario, temenku. Anak basket juga. Mereka putus karena Mario pindah sekolah ke Tanggamus, orang tuanya pindah tugas ke sana," jawab Rezky dan dia tampak yakin.
"O..., gitu. Aku tau, tapi nggak tau persis kenapa mereka berdua bisa sampai putus. Karena waktu itu aku belum akrab dengan Tia," kataku menjelaskan.
"BTW, tadi kenapa kamu ngegantiin Tia?" katanya mengulang pertanyaan tadi.
"Tia, sakit magh -nya kumat. Dia takut kalau maksain buat tampil nanti gerakannya nggak total. Dan aku juga nggak tega liat dia pucat gitu. Entar kalau dia tepar kan kita juga yang pada dibikin repot. Lagian, aku pelatih mereka, jadi aku yang paling mungkin buat gantiin posisi Tia dalam keadaan terdesak kayak kemaren itu," aku berpaling padanya. "Nggak mungkin kan, dalam waktu satu hari, bisa ngelatih orang baru?"
"Kamu benar. Tapi, kenapa kamu berhenti, terus... malah jadi pelatih?" sepertinya dia sangat penasaran.
"Aku yang mengundurkan diri dan mendaftarkan diri menjadi pelatih. Sekolah mengabulkan asal aku bisa mengatur waktu belajar dan nilaiku tetap aman." Aku nggak tau kenapa dia bertanya seperti itu, tapi akhirnya aku menjawab juga.
"Tapi, kenapa?" terdengar kekhawatiran dari nada suaranya.
"Karena..., aku butuh gajih sebagai pelatih itu untuk meringankan beban Mami yang membiayai sekolah aku."
"Ayah kamu?"
"Sudah meninggal."
"Oh sory." Sesalnya.
"It's oke." Selama beberapa menit tak ada yang bicara, mungkin Rezky bingung harus bertanya apa, setelah mendengar bahwa aku sudah nggak punya orang tua yang utuh lagi. Atau mungkin ... kasihan padaku. "Dan..., alasan lain, karena aku cinta cheers, aku cinta yell-yell. So... kerja happy, dan aku dapet gajih!" kataku mencairkan kebekuan yang sempat tercipta tadi.
"Itu bagus. Aku suka sama orang yang optimis."
"Tengkyu," ucapku.
"Oh ya, kamu tau, kemaren itu aku rasa..., aku bisa menang karena kamu, loh!" seru Rezky dengan rona bahagia dan percaya diri.
"Apa? Jangan bercanda deh! Aku sama sekali nggak ngedukung kamu kok!" sahut aku.
"Yaa..., aku tau. Tapi, pangeran-pangeran basket, aku suka yell-yell itu. Lucu banget! Aku suka banget yell-yell dan gerakan kalian kemaren," entah apa yang membuat dirinya tetap suka pada yell-yell aku yang nggak jelas.
"Syukur deh, kalo kamu ngerasa gitu," kataku agak berat.
"Kamu... keberatan ya, kalau aku ngerasa yell-yell itu ditujukan buat aku juga?" tanyanya dengan wajah bersalah.
"Oh, nggak kok. Nggak sama sekali. Lagian..., kamu menang karena kamu memang hebat. Bukan karena yell-yell aku atau apalah...!" balasku dan memujinya dengan tulus.
"Tapi, jujur aku suka sama yell-yell kamu, dan itu ... bikin aku semangat!" katanya terus memaksa aku untuk percaya pada semua ucapannya.
"Oke, oke aku percaya kamu. Puas? Dan sekarang, aku jadi ngerasa bersalah atas kekalahan tim PPB!" sahut aku yang akhirnya mengakui.
"Loh, kok gitu?" memicing.
"Habisnya, kamu bilang..., yell-yell aku yang udah bikin kamu jadi tambah semangat buat menang! Ya, berarti aku dong yang bikin temen-temen aku kalah!" rengek aku tak terima dengan alasan yang dia buat hingga akhirnya dia bisa memenangkan pertandingan.
"Kamu ngambek ya? Lucu juga kamu kalau lagi ngambek. Aku minta maaf deh kalau gitu," katanya menyesal.
"Ah, aku... nggak ngambek kok! Ngapain juga aku ngambek," kami terdiam lagi selama beberapa detik, pandangan mataku jatuh ke tanah. "Mm..., kayaknya udah siang, aku harus pulang sekarang nih. Nanti Mami aku gelisah nungguin aku pulang ke rumah. Aku juga mau bantuin Mami beres-beres rumah, mumpung ini hari Minggu," kataku menjelaskan.
"Aku anter," dia menawarkan diri.
"Nggak..., nggak usah deh, aku bisa pulang sendiri!" jawabku kikuk.
"Aku harus anter kamu pulang. Risa ninggalin kamu karena aku, jadi... tanggung jawab aku untuk nganterin kamu pulang sampai ke rumah," katanya lagi kali ini dia memaksa.
"Oke," balasku akhirnya tak ada alasan untuk menolak lagi. Akhirnya aku pun pulang bersamanya. Tetap sambil melewati obrolan yang ringan. Entah mengapa waktu terasa begitu singkat saat ini. Rasanya aku ingin sekali mengulang kembali sejak awal ia datang tadi.
Saat ini kami berhenti tepat di depan rumahku yang dipagari oleh berbagai jenis bunga-bunga. Ada bunga anggrek yang ditanam Papi hingga membentuk seperti pintu. Merayap mengikuti bentuk bambu yang sengaja dibuat seperti pintu selamat datang. Jadi, setiap melewatinya aku pasti teringat pada si pembuatnya. Papi....
Dia menatap aku, seperti ingin mengatakan sesuatu. Saat ini juga aku ingin waktu berhenti. Saat dia menatap mataku dengan tatapan yang mampu melumpuhkan hati.
"Ini pagi yang terindah buat aku. Karena ada kamu di penglihatanku. Aku ingin malam ini juga jadi malam terindah buat aku. Karena ..., ada kamu di pendengaranku." Bola matanya bergerak-gerak, dan senyumnya sangat mempesonaku saat ini. "Aku telepon kamu nanti malam. Bye!"
Aku hanya bisa mengangguk dengan rasa malu-malu. Kata-katanya begitu lembut sampai membuat aku ingin terbang melayang. Tatapannya ... seperti menghipnotis semua perasaanku. Setelah pandangan kami berpisah, aku hanya tersudut malu di sini, di samping bunga anggrek ini. Dan aku simpan saja pandangan dan juga senyum terakhir darinya tadi.
Aku ingin hari ini cepat berlalu, dan detik ini juga malam datang menyapa.
Aku membereskan rumah sambil terus membayangkannya. Yansen beberapa kali menjahiliku tapi aku nggak marah. Padahal dia pasti ingin sekali agar aku bisa sampai terpancing marah lalu mengejar untuk membalasnya. Sedangkan hatiku terlalu bahagia untuk bisa marah padanya.
Hah... Ya Tuhan... Yang Maha Pencipta apa yang sedang terjadi....
- - - * * * - - -