Aku sedang bermain bola bersama dengan Yansen ketika Risa datang dengan membawa sekantung belanjaan di tangannya.
"Tumben akrab?" ucapnya yang tentu saja ditujukan pada aku dan Yansen.
"Hai Ris!" sapaku membalas.
"Kakak Risa...!" teriak Yansen sambil menendang bolanya tepat ke arah Risa.
"Asik nih, ikutan dong!" seru Risa bersemangat.
"Ayo Kak, tendang!" pinta Yansen.
"Oke. Tangkep ya!"
"Tumben?" tanyaku singkat saja.
"Ada misi!" jawabnya sambil tetap menendang bola ke arah Yansen.
"Misi? Misi apa-an?" aku duduk di teras rumah dengan kedua kaki terjulur dan napas yang sedikit terengah.
"Entar juga elo tau! Bentar ya, gue ngalahin si Yansen dulu," balas Risa lagi.
Aku duduk diam memperhatikan mereka berdua saling menendang bola. Aku berkernyit ketika melihat barang-barang yang tadi dibawa oleh Risa dan diletakkan di samping pot bunga yang cukup besar. Ada satu tas merek butik paling terkenal di Bandar Lampung.
"Elo ... dari butik ya, Ris?" tanyaku dengan mata mengernyit.
"Yeaaa...! Gol... Kakak menang! Udahan dulu ya, Kakak ada urusan penting... banget!" katanya pada Yansen, tanpa menghiraukan pertanyaan dariku tadi.
"Gih sana! Dasar cewek-cewek, kalo udah ketemu pasti mau ngerumpi!" omel Yansen sambil terus menendang bola ke tembok sebagai lawan.
"Jiaaaah... anak kecil, bahasanya kagak nahan...!" ucap Risa.
"Makanya elo ajak Kevin, biar Yansen ada temen maen, jadi kita bisa nyantai ngobrolnya!" Kevin adalah adik Risa yang seumuran dengan Yansen.
"Yaa..., gue kan bukan sengaja maen, udah gue bilang ada misi penting! Nggak mungkinlah ngajak Kevin. Yang ada kita bukan ngobrol malah sibuk ngawasin mereka berdua." Protesnya.
"Misi apa sih?" tanyaku penasaran. Risa tak menjawab, tapi menarik tanganku hingga nyaris jatuh. Pandanganku pun lalu beralih pada Yansen yang seperti tak terima ditinggal sendirian.
"Kita ke kamar!" kata Risa menarikku tanpa peduli seolah ini adalah rumahnya sendiri saja.
Aku terpaksa menahan penasaran dan mengikutinya saja. "Mm..., Mi... Yansen masih di luar tuh!" teriak aku begitu melihat Mami yang sedang berkutat dengan setumpuk jahitannya.
"Assalamu'alaikum, Tante!" ucap Risa yang kemudian mencium tangan Mami dengan sikap santun.
"Wa'alaikummusalam...! Hei Risa, sendiri aja?" balas Mami.
"Iya. Ada perlu dengan Osy. Ke kamar dulu ya Tan!" jawab Risa lagi lalu kembali menyeretku.
"Oke. Lain kali ajak Bundanya, Tante udah lama nggak ngobrol," kami masih bisa mendengar ucapan Mami.
"Oke Tante, nanti aku sampein," sahut Risa lagi.
Mami hanya menjawab dengan senyum lalu kembali pada jahitannya.
Risa buru-buru menutup pintu begitu kami sampai.
"Gue..., ke sini itu disuruh sama Rezky!" kata Risa tanpa aku tanya.
"What? Jadi ini ... yang elo sebut misi?" tanyaku yang hampir tak percaya.
"Terserah deh! Sini... sini..., ini buat elo, dari Rezky!" Risa menyerahkan paper bag yang berlogo sebuah butik terkenal yang ia bawa tadi.
"Apa-an nih?!" tanyaku lagi lalu menerima dan karena rasa penasaran aku langsung mengeluarkan isinya.
"Liat aja deh, pasti surprise!" ucap Risa santai saja.
"Gaun?" aku menatap tanya pada Risa, "maksudnya ..., apa?" selidik aku.
"Gue cuma bantuin dia pilih gaun yang cocok buat lo. Secara elo sepupu gue, dan dia sahabat gue, ya pasti gue bantu!" Risa menekan kedua tangan pada tempat tidur.
"Tapi elo..., kan...?"
"Kenapa gue? Suka ama Rezky, huh?" Risa melirik aku dengan tajam.
"Iya..., emang gitu kan?" tanyaku dengan berat hati
"Hahahahaha...! Osy..., elo kayak nggak kenal sepupu lo yang baik hati ini aja?! Elo kan tau gue orangnya gampang move -on! Lagian dia nggak suka gue," sahut Risa tanpa ada beban rasa kecewa atau bahkan cemburu.
"Iya, gue tau ... tapi..."
"Oke. Gue emang suka banget ama Rezky. Tapi, kalau selama proses nunggu cinta itu dibalas, gue bisa deket sebagai sahabat, ya gue bakal jadi sahabat yang baek. Dan ternyata sekarang jawabannya ... gue bertepuk sebelah tangan, ya gue terima. Dan tetap jadi sahabat baek. Rezky tau kok gue suka dia. Tapi, dia selalu bilang sama cewek-cewek yang ngarepin dia bahwa ..., cinta itu ... hati yang bicara. Bukan mulut. Dan buat gue..., dia punya makna yang dalem banget soal perasaan."
"Terus..., apa hubungannya dengan perasaan lo yang gampang moveon, itu?" tanyaku, nggak bermaksud menyinggungnya.
"Yaa, maksud gue..., kata-kata Rezky itu, bikin gue bangkit bahwa cinta itu nggak bisa memaksakan seseorang untuk suka dengan kita. Prinsipnya itu bikin kita semua ngerti bahwa cinta itu memang benar-benar harus dari hati. Nggak bisa dipaksa kalo emang bertepuk sebelah tangan, gitu. Itulah yang bikin kita ngerti kenapa Rezky susah jatuh cinta. Karena dia nggak bakal nembak cewek cuma gara-gara si cewek ngarepin dia atau cuma mau iseng doang sama cewek-cewek yang pingin jadi pacarnya." Risa merebahkan tubuh di tempat tidur. "Dan itu..., yang bikin Rezky beda dari cowok kebanyakan. Gue emang suka dia. Tapi dia bilang, cinta nggak boleh dibohongin. Kalo kita mencintai seseorang hanya untuk ngebales perasaannya, itu artinya kita bo'ong sama cinta." Menghela napas panjang. "Dia memang beda banget dari cowok laen. Kata-katanya ke cewek selalu lembut, dan ... kami pun bisa tetap deket dengan dia tanpa perlu sakit hati kalo dia suatu saat mematahkan harapan kami dengan memilih seseorang yang bisa bikin hatinya bilang cinta."
Aku kembali pada gaun di tanganku, sempat menahan napas sejenak sebelum memulai pertanyaan. "Dan..., apa arti gaun ini." Memicing.
"Sory Sy, bukan hak gue untuk ngejawab itu. Ya, walau pun gue tau ... mending elo tau sendiri dari dia langsung! Oke cin...?"
Menarik kedus sudut bibirku, kemudian berdiri menempelkan gaun merah yang sangat anggun yang pernah aku terima di sepanjang hidup. Ada sehelai amplop mungil terjatuh saat itu. Amplop yang juga berwarna merah, aku duduk kembali di samping Risa sebelum membukanya. "Ada amplopnya," kataku sambil menyelipkan rambut ke balik telinga. Mataku membulat sempurna.
"Ya buruan baca!" Risa tak sabar lalu mendekat.
Aku sempat melirik Risa beberapa saat sebelum mulai membuka amplop tadi.
Pakai gaun ini nanti malam, tepat jam 7 akan ada yang menjemputmu. Jangan tanya apa pun ... yang jelas aku akan bikin kamu MELAYANG.... See you to night...!
Rezky ...
"Melayang?" tanya aku tak mengerti lalu berpaling pada Risa dan kami saling tatap, Risa meninggikan kedua bahunya dengan kening berkerut.
"Yang pasti..., dia bakal bikin elo melayang. Fly with the love!"
"Apa-an sih?" aku mendorong lengannya. "Jam 7 malem, gimana kalo nggak diijinin sama nyokap?"
"Bener juga ya? Secara ... Nyokap lo ketat banget."
"Tapi gue juga nggak mau bo'ong. Kita terus terang aja tapi elo bantuin gue buat ngeyakinin nyokap."
"Oke. Gue coba."
"Tengkyu ya sepupu aku yang baik dan tidak sombong!" ucapku.
Risa mengangguk pelan. "Sumpah, gue banggaaak banget! Elo ... sepupu gue, bisa bikin mentok hati seorang Rezky yang serba perfect itu!" seru Risa dengan wajah gembira.
"Ah, jangan ngayal deh, belom tentu..."
"Emang..., elo beneran nggak ngerti... 'melayang' yang dia maksud sama si Rezky itu apa?" sindirnya dengan tatapan mata kagum. "Mm..., ya ... hati lo tau lah kira-kira apa...?" Risa menaik turunkan kedua alisnya dengan genit.
"Apa sih, plis deh!" aku tersipu malu. Aku yakin sekarang ini pipiku berubah warna.
"Cie..., mukanya merah jambuuu...!" goda Risa mengarahkan telunjuk tepat di depan hidungku.
Aku langsung menutup mulutnya, "Udah dong..., jangan ngeledek terus." Risa memeluk aku dengan sepenuh hati.
"Semenjak Om Haris meninggal ... baru kali ini gue liat elo bahagiaaa banget! Beda banget dari yang biasanya." Pelukkannya semakin erat, "semoga ini akan selamanya."
Aku membalas pelukannya sebagai tanda sayang dan juga terima kasih. Kemudian kami saling melepas diri dan melempar tersenyum. Aku memegang kedua tangannya, "Tapi ... sebahagia apa pun gue saat ini, gue nggak mau besar kepala dulu. Sebelum dia bilang cinta dan ..., bikin gue seperti me-la-yang!"
"Tapi awas aja, kalo udah melayang jangan lupa mendarat, ntar jatoh tau rasak lo!" ucap Risa sedikit sewot.
"Ih... jangan nyumpahin gitu dong...!" sahut aku.
Tawa kami pun akhirnya pecah, mengisi setiap sudut ruang kamarku yang kecil. Aku yakin, si usil Yansen pasti sedang berlari menuju ke sini karena mendengar kami yang tertawa. Hhh..., itu anak selalu aja kepingin tahu urusan orang gede!
- - - - - - - - - - * * * - - - - - - - - - -