bc

Tentang Hati Yang Terluka

book_age18+
92
FOLLOW
1K
READ
HE
brave
heir/heiress
bxg
kicking
bold
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Jenna pikir, menjadi wanita karir yang sukses sudah cukup untuk membuktikan kehebatannya setelah ia dikhianati oleh Asta kekasihnya yang berselingkuh dengan Hesti sahabatnya, meskipun dirinya sekarang masih lajang.Tapi, ternyata harga diri Jenna terluka dan ia tidak mau terlihat menyedihkan. Sementara di matanya, Asta dan Hesti terlihat semakin bahagia meski hubungan keduanya diawali dengan pengkhianatan. Jenna dikuasai amarah dan dendam hingga membuatnya bertindak bodoh dengan membuat skenario menjadikan Ammar pacar pura-puranya demi untuk melindungi harga diri dan gengsinya. Bahkan, Jenna melupakan Indra. Seseorang yang selalu ada untuknya dalam keadaan terkacaunya. "Dalam setiap novel dan film, pada akhirnya si Pengkhianat akan tetap hancur. Begitu pun di dunia nyata. Pengkhianat seperti lo akan hancur." Sebuah senyuman miring mengakhiri kalimat Jenna, tatapan tajam mencela juga diberikannya pada Mantan Sahabat yang pernah sangat ia pedulikan itu. Tapi, Hesti hanya tersenyum mendengar kalimat menohok Jenna. "Gue bahagia, Jenna. Sangat. Karena lo nggak pernah berubah, tetap bodoh dan egois. Nggak peduli tentang orang yang care sama lo demi mencapai keinginan lo sendiri." "Itu lo!" Jenna berteriak. "Bukan gue!" tekannya penuh emosi. Lagi-lagi, Hesti hanya tersenyum begitu menikmati api amarah Jenna yang sedang berkobar. Jenna tahu tindakannya memang egois dan menyakiti orang yang tulus mencintainya. Tapi, senyuman meremehkan yang Hesti tunjukan semakin membuat jenna marah. Hanya ada satu hal yang terlintas dalam pikiran Jenna sekarang, yaitu; menghancurkan Hesti.

chap-preview
Free preview
1. Tentang Masa Lalu
Hesti Bestie: Jen, lo bisa ‘kan dateng ke rumah gue sekarang? Ada hal yang pengin gue tunjukin ke lo. Itu adalah pesan yang Hesti kirim beberapa saat lalu. Dan sekarang, Jennaira Desava sedang dalam perjalanan menuju rumah Hesti Asterika. Rasa khawatir langsung menyerang remaja 18 tahun itu ketika menerima pesan dari sahabatnya, karena tidak biasanya Hesti membubuhkan tanda tanya saat meminta Jenna untuk datang ke rumahnya. Biasanya, Hesti akan memerintah dan tanpa merasa terpaksa Jenna akan datang ke rumah Hesti. Detail kecil yang berhasil menghadirkan berbagai pikiran negatif dalam kepala Jenna. Begitu sampai di tempat tinggal Hesti, Jenna langsung membuka pintu rumah bertingkat itu tanpa permisi. Bukannya tidak sopan, masuk ke rumah Hesti rasanya sudah seperti masuk ke rumahnya sendiri. Jadi, Jenna langsung melangkah cepat ke arah tangga menuju kamar Hesti di lantai dua. “Hesti!” Jenna berteriak memanggil. Kakinya terus melangkah menaiki anak tangga, lalu berbelok ke arah kanan di mana kamar Hesti berada di sayap kanan paling ujung. Tapi, langkah Jenna tiba-tiba memelan saat indranya mendengar suara desahan aneh yang berasal dari kamar Hesti. Dengan jantung berdebar kencang, Jenna memegang handle pintu kamar itu lalu mendorongnya perlahan sambil matanya menyipit mengintip ke dalam. Di atas ranjang, Jenna melihat bagaimana Hesti mendesah nikmat sambil memeluk tubuh seorang lelaki yang berada di atasnya. Tubuh telanjang keduanya seolah saling menempel dan ciuman pun terlihat begitu melekat dengan diiringi desahan yang terdengar menjijikan bagi Jenna. Tangan Jenna bergerak berniat untuk menutup pintu, ia tidak tahan melihatnya lebih jauh. Tapi, gerakannya tiba-tiba terhenti saat ia mendengar pertanyaan yang dilontarkan Hesti pada laki-laki itu. “Gimana kalo Jenna tahu tentang kita?” Jenna mengernyit sesaat. Tangan yang semula akan menarik pintu untuk ia tutup, kembali didorong perlahan. Lalu, Jenna semakin menajamkan indra pendengarnya agar ia bisa menangkap jawaban si Laki-laki ditengah suara desahan itu. “Jenna?” Laki-laki itu balik bertanya, gerakan tubuhnya terhenti sesaat demi untuk menatap intens mata gadis yang terbaring di bawahnya itu. “Gue nggak peduli tentang Jenna. Gue cuma mau lo,” ujarnya kemudian, lalu kembali menyerang bibir Hesti dengan ciuman panas. Jantung Jenna serasa berhenti berdetak sebelum kemudian berdebar kencang hingga terasa menyakitkan saat mendengar suara yang sangat ia kenal itu. Napas Jenna mulai memburu, air mata tanpa sadar mengalir di kedua pipinya. Tangannya yang terasa lemah, mendorong pintu itu hingga menimbulkan suara derit yang berhasil menarik perhatian kedua orang yang sedang bergumul di ranjang itu. “Asta,” ucap Jenna lemah, memanggil nama kekasihnya. “Jenna.” Mata Asta membulat lebar, sesaat terpaku di tempat sebelum kemudian buru-buru memisahkan diri dengan Hesti dan mengambil bokser di bawah kasur, lalu turun dari ranjang dan menghampiri Jenna yang masih dalam keadaan syok. Sementara itu, Hesti terlihat menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya lalu menyaksikan bagaimana Asta akan menghadapi Jenna sambil menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke kepala ranjang. “Gue bisa jelasin semuanya, Jen,” ujar Asta panik. “Brengsek.” Jenna berkata dingin. Tangannya kirinya menghapus air mata di pipi, menolak untuk terlihat hancur. “Jenna.” Asta berusaha meraih tangan Jenna, tapi gadis itu bergerak cepat mengambil satu langkah mundur. Tidak sudi dirinya disentuh oleh Asta. “Jen...,” lirih Asta. Tapi, Jenna mengabaikannya lalu mengalihkan pandangan kecewanya pada Hesti—sahabatnya. “Ini ‘hal’ yang pengen lo tunjukin ke gue?” tanya Jenna dengan nada tajam. “Jenna, please. Gue bis—” “Diem lo, b******n!” teriak Jenna menyentakan tangan Asta yang lagi-lagi berusaha menyentuhnya. “Gue nggak ngomong sama lo!” Mata tajam Jenna menghunus ke dalam mata Asta yang terkejut dengan bentakan itu. Dengan santai yang disertai senyuman, Hesti mengangguk membenarkan. “Iya, ini ‘hal’ yang pengen gue tunjukkin ke lo,” jawabnya santai dan terdengar bangga. Sementara itu, Asta memandang Hesti bingung. “Hesti, lo—” “Oke.” Tanpa sadar Jenna kembali memotong perkataan Asta. Lalu, ia mulai melangkah mundur sebelum kemudian berbalik dan berlari meninggalkan keduanya. Asta yang menyadari kepergian Jenna langsung mengejar. “Jenna!” panggilnya. Jenna terus berlari, menuruni anak tangga sambil berlinangan air mata. Berlari sekencang mungkin agar Asta tidak bisa mengejarnya. Ketika tiba di pintu utama, gadis itu menarik kedua handle pintu ganda berwarna coklat hingga terbuka lebar. Tiba-tiba disaat yang sama, sebuah gelas melayang lalu terlempar ke arah kaki kanan Jenna dengan keras hingga gelas itu pecah dan melukai kakinya. Jenna terjatuh, mata basahnya memandang ke depan di mana sepasang suami istri sedang bertengkar hebat di ruang keluarga. Saling mencaci-maki, beberapa barang bahkan di lempar hingga rusak tak berbentuk. Ruangan yang biasanya hangat oleh tawa saat sedang menghabiskan waktu bersama, berubah menjadi tempat bak neraka. Rasa perih memaksa Jenna untuk mengalihkan pandanganya pada luka di kakinya yang mulai mengeluarkan darah segar. Jantung Jenna berdebar semakin cepat, matanya tak henti mengeluarkan kristal bening, teriakan-teriakan dari kedua orang di depan sana pun membuat Jenna semakin ketakutan dan tak bisa menghentikan air matanya. Jenna memejamkan matanya begitu erat, tangisnya semakin terdengar pilu. Ia sungguh berharap, semua yang dialaminya saat ini hanyalah mimpi dan semuanya akan hilang begitu Jenna membuka matanya. “Ini semua ... nggak mungkin terjadi dalam hidup gue.” *** Perlahan namun pasti, kedua kelopak dengan bulu mata lentik itu terbuka bersamaan dengan air mata yang menetes lalu mengalir melewati pelipis Jenna. Dan hal pertama yang tertangkap indra penglihatnya adalah langit-langit kamar yang berwarna putih bersih dengan lampu dalam keadaan mati. Jenna membuang napas lelah, menghapus airmatanya lalu bangun dari tidurnya. Kemudian, tangan kanannya mematikan lampu tidur di meja nakas, dan beralih menyalakan lampu utama yang berada di samping kepala ranjangnya. Kamar yang didominasi warna putih dan biru lembut itu kini terang benderang. Di pukul 01.25 dini hari, pikiran Jenna begitu penuh dengan berbagai adegan yang baru saja terputar dalam mimpinya. Dan, sama seperti mimpi-mimpi sebelumnya, Jenna tidak akan bisa kembali tidur, ia juga tidak bisa melupakan mimpi itu. Disaat seperti ini, Jenna selalu butuh seseorang yang mau menemani dan mendengarkan dirinya bercerita. Jadi, Jenna memutuskan untuk turun dari ranjang sambil meraih ponsel yang berada di meja nakas. Kaki kanannya yang terdapat sebuah goresan bekas luka melangkah lebih dulu, berjalan keluar dari kamar menuju kamar ibunya yang berada di sayap kiri rumah bertingkat dua itu dan Jenna harap ibunya masih bangun, atau sudah bangun. “Ibu,” panggil Jenna pelan sambil membuka pintu kamar ibunya. Sayang. Jenna mendapati ibunya sedang terlelap dalam mimpi indahnya dan tentu saja ia tidak sampai hati membangunkan beliau hanya karena Jenna ingin ada teman bicara. Akhirnya, Jenna kembali menutup pintu dengan hati-hati lalu berbalik melangkah menuju dapur yang berada di lantai bawah. Tiba di sana, hal pertama yang Jenna lakukan adalah menuang air mineral ke dalam gelas tinggi. Setelah selesai minum, Jenna membuka lemari dan meraih setoples kopi hitam yang ia bawa dari Jinn’s Café. Sebuah kafe miliknya yang dibangun sejak 5 tahun lalu, dan hingga kini kafe tersebut berjalan dengan sangat baik. Bahkan, Jenna berencana untuk membuka cabang kafe di beberapa kota. Jenna memasukkan dua sendok kopi hitam ke dalam keranjang penyaring, lalu memasukkan air ke dalam teko di mesin tersebut. Setelahnya, ia menekan sebuah tombol agar alat itu bekerja. Selagi menunggu hingga kopinya siap, Jenna mengambil mug dari lemari lalu ia letakkan di bagian khusus gelas pada mesin kopi tersebut. Tak berapa lama, segelas kopi hitam yang masih mengepulkan asap sudah tersaji di meja ruang makan. Jenna duduk di kursi sambil membuka ** Jinn’s Café untuk melihat beberapa pesan yang dikirim pengikutnya. Beberapa dari mereka bertanya tentang kopi atau s**u merek apa yang digunakan Jinn’s Cafe yang tentu saja Jenna jawab dengan santai. Ada juga yang penasaran dengan kopi varian terbaru Jinn’s Café yang belum launching. Ketika Jenna akan membalas pesan lain, tiba-tiba seseorang meneleponnya. Jenna menggeser tombol hijau, lalu menempelkan ponselnya di telinga kanan. “Lo belum tidur?” Tidak ada sapaan. Jenna langsung dilempari pertanyaan oleh seseorang bernama Indra Refaldy. “Udah bangun,” jawab Jenna. Tangannya yang bebas meraih gelas kopi, lalu menyeruputnya dengan nikmat. Terdengar helaan napas lelah di seberang telepon, yang menandakan jika lawan bicara Jenna itu mengetahui apa yang terjadi pada Jenna di waktu dini hari ini. “Serius, lagi?” tanya Indra kemudian. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Jenna menjawab, “Iya, lagi.” Gelas kopi yang barusan ia minum kembali di letakkan ke meja, pandangannya mendadak kosong mengarah pada permukaan kopi yang terdapat buih-buih kecil. “Indra ... gue capek.” Jenna mengadu dan detik berikutnya ia mulai terisak kecil. Di balkon kamarnya, Indra yang sedang duduk ditemani segelas kopi dan beberapa dokumen, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dengan mata memandang luasnya langit malam tanpa bintang, mendengarkan isakan tangis Jenna tanpa berusaha untuk menenangkan gadis itu. Memastikan bahwa Jenna tahu dirinya ada untuk menemaninya menangis. Hal yang sudah sangat sering Indra lakukan. “Indra...,” Suara Jenna kembali terdengar ditengah isakan tangisnya. “Hm,” Indra hanya bergumam singkat sebagai balasan. “Gue takut.” Untuk yang kedua kalinya, Jenna kembali mengadu. “Gue takut nggak bisa berhenti memimpikan masa lalu.” Indra membuang napas, sebelum kemudian menjawab, “Nggak ada hal yang perlu lo takutin, Na. Ada gue disini. Di sisi lo.” ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook