10. Expired Itu Basi

2772 Words
Gedung olahraga indoor yang menjadi lokasi pertandingan persahabatan basket hari ini tiba-tiba lengang. Semua atensi tertuju pada Fikri yang berlutut sembari mengulurkan setangkai bunga mawar ke seorang gadis. Seketika dalam sekejap para gadis pengagum Fikri tersentak tak percaya dengan apa yang mereka lihat di depan mata. Di satu sisi, mereka iri melihat gadis yang ditembak Fikri dan di sisi lain mereka berharap gadis itu menolak Fikri, sebab mereka tak terima Fikri bersanding dengan gadis itu. "Kamu mau gak jadi pacar aku?" Fina, gadis yang ditembak Fikri hanya bisa diam. Ia tak mengerti kenapa tiba-tiba Fikri mengajaknya pacaran. Situasi dadakan seperti ini membuat otaknya membeku. Bukan membeku karna karna senang ditembak Fikri, namun membeku sebab harus berpikir bagaimana caranya membalikkan situasi ini. Disela Fina berpikir keras. Rafdan yang berdiri di sisinya tentu saja geram. Karena ia tahu niat Fikri hanya untuk main-main dan mencari perhatian saja. Lagipula, rencana awal Fikri adalah menembak Kristi. Rafdan sudah merasa lega sebab Kristi tak datang. Ia juga sudah mewanti-wanti Amal kemarin. Namun, agaknya bukan Fikri namanya jika tidak tahu cara mencari perhatian. Alhasil cowok itu mengganti rencana. Rafdan tak masalah jika salah satu gadis dari suporter sekolah yang Fikri tembak. Tapi, masalahnya Fikri malah menembak Fina yang notabenenya adik kandung Rafdan. Kakak mana yang tidak akan murka jika berada di situasi yang sama dengan Rafdan? Rafdan pun merangsek maju. Menarik kerah baju Fikri dan menatap nyalang ke dua mata cowok itu. "MAKSUD LO APA HA?!" Suasana langsung berubah tegang seketika. Suporter basket yang tadinya memekik terkejut dengan kelakuan Fikri, sekarang mereka kembali terkejut dengan kelakuan Rafdan. Rafdan yang biasanya kalem, cool dan merupakan tipe-tipe cowok idaman ternyata bisa berubah seram saat sedang marah. Dengan urat-urat yang menonjol dari lengan dan lehernya. Suporter basket seketika terbelah dua. Yang satu tetap mendukung Fikri dan yang satunya lagi malah berpindah ke Rafdan. Ya, mau gimana ya. Rafdan yang biasanya tenang seketika berubah jadi garang karna Adiknya dipermainkan seperti itu oleh Fikri. Abang-able sekali bukan? Siapa pula yang tidak bisa berpaling hati? "Abang! Jangan!" Fina yang akhirnya harus berhenti berfikir keras cara untuk membalikkan situasi dibuat semakin panas saat ia malah mendapat senyum di bibir Fikri. Seolah Fina membela Fikri. Padahal bukan. Rafdan melepas cengkramannya dari kerah baju Fikri. Ia mengepalkan tangan menahan emosi. Fina kemudian mengambil alih. Ia maju selangkah di depan Rafdan seraya bersedekap d**a menghadap Fikri. "Kak pernah nyoba minuman yang udah expired gak?" Fina tiba-tiba bicara soal minuman kadaluarsa. Ekspresinya terlihat tenang, tapi dibalik itu ia menahan diri untuk tak mencakar wajah Fikri. Fikri terkekeh pelan. Ia terlihat senang seolah Fina telah menerimanya. "Belum. Kenapa tuh?" "Basi! Basi banget sampe aku mau muntah ngeliat kelakuan Kakak yang gak tau malu!" Fina berujar dengan sepenuh hati. Ia tidak tahu apakah yang ia lakukan barusan bisa membalikkan keadaan. Namun, hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirnya. Setelahnya Fina berbalik seraya menarik Rafdan menjauh dari kerumunan netizen yang menonton mereka sejak tadi. ** Sepulang dari waterboom, Kristi bergegas membasuh diri lagi dengan air hangat. Kata Mamanya, air kolam ataupun air shower di kamar ganti waterboom sama-sama mengandung kaporit. Tidak bagus untuk kulit. Amal tidak membolehkan Kristi makan es krim tadi. Padahal Kristi sudah merengek minta es krim. Salah Kristi juga sih, ia sempat bersin-bersin dan Amal mengira Kristi kena flu. Namun, sekarang untungnya Kristi baik-baik saja. Tidak bersin-bersin lagi. Ia tidak terkena flu. Kristi mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Ia sudah memakai piyama. Dan sekarang duduk di depan meja rias dengan ponselnya yang menampilkan laman akun sosial medianya. Ia baru saja mengunggah foto baru. Foto di waterboom tadi, ada fotonya sendiri dan ada yang bersama Amal. Kristi sengaja menaruh fotonya berdua dengan Amal di slide paling akhir. Biar orang yang melihat unggahannya nanti penasaran dan terus menggeser hingga slide terakhir. Kristi tak tahu apakah itu perlu atau tidak, hanya saja Kristi sering menaruh fotonya bersama Amal di slide terakhir. Tentu saja ia juga men-tag akun sosial media cowok itu. Setelah mengeringkan rambut, Kristi lalu menyisirnya dengan rapi dan mengikat ekor kuda rambutnya. Sebab malam ini ia akan menjaga toko, ia tak suka rambutnya tergerai saat berhadapan dengan kue-kue, takutnya rambut Kristi malah rontok dan helainya mengenai kue-kue yang dijual. Otomatis kue tidak lagi higienis. Makanya sebelum masuk ke dalam toko, Kristi mengikat kuat rambutnya dulu dan memastikan tidak ada helai rambut di piayamanya. Malam ini Kristi memakai piyama berlengan panjang dengan motif spons kuning yang hidup di bawah laut. Kalau tidak salah, piyama ini pemberian dari Mamanya Amal. Dan Amal juga punya piyama bermotif serupa. Kata Mama Amal saat memberi Kristi piyama ini. "Biar coupelan sama Amal. Kalo orang pacaran kan punya baju couple, jaket couple, jam tangan couple nah kalo kamu sama Amal punya piyama couple." Waktu Mama Amal bicara seperti itu, Kristi tak terlalu memikirkannya sih. Soalnya piyama motif spons kuning itu benar-benar lucu. Meskipun piyama ini piyama couple, baik Amal atau Kristi tak pernah memakainya secara bersamaan. Lagipula, Kristi sama sekali tak pernah melihat Amal memakai piyama motif spons kuning milik cowok itu. Agaknya Amal malu memakainya. Malam ini ke dua orang tua Kristi pergi makan malam berdua merayakan hari jadi pernikahan ke 18 tahun. Kristi tadinya juga diajak, namun Kristi tentu saja paham sudah lama sekali ke dua orang tuanya tidak pergi makan malam berdua di luar. Makanya, Kristi bilang tidak ikut dan memilih di rumah saja sembari menunggui toko. Sebagai hadiah atas pengertian Kristi, Ayah Kristi berjanji akan membawakan bakso mercon yang sedang trending untuk Kristi ketika pulang nanti. Di etalase toko, adasatu kue yang belum terjual yaitu kue tart coklat ukuran sedang. Melihat kue itu sendirian di sudut etalase Kristi jadi kasihan. Kasihan ingin cepat-cepat memakannya. Kadang beberapa kue yang tidak terjual dalam satu hari, akan jadi cemilan untuk dimakan sembari menonton televisi. Dan mungkin saja kue tart coklat itu tidak terjual hari ini dan tentunya bisa menjadi cemilan untuk Kristi nanti. Namun, kalau nantinya terjual juga tidak apa-apa. Malah bagus, tentunya. Kristi bersenandung kecil seraya mengelap kaca etalase bagian luar. Ia mengelap dengan telaten hingga kaca etalase kesat dan kinclong. Tak lama, bel pintu terdengar. Kristi mendongak dan mendapati pelanggan masuk. "Selamat Malam." Kristi menyapa seraya tersenyum. Pelanggan yang datang adalah sepasang ibu dan anak perempuannya. Kristi ingat, kalau tidak salah anak perempuan pelanggan yang datang malam ini adalah adik kelas yang ketahuan menatap Amal terus menerus. Gadis itu mengerjap, terlihat malu saat matanya bertemu dengan mata Kristi. Kristi hanya membalas dengan senyum simpul. "Eh, kamu anaknya Laras ya?" Ibu itu mendekat, tersenyum hangat. Rasanya Kristi familier dengan senyum itu. Kristi mengangguk. "Iya Tante. Mau cari Mama ya Tan?" "Enggak kok. Muka kamu mirip banget sama Laras." Ibu itu tertawa kecil. Lalu Ibu itu mendekat ke etalase kue diikuti anaknya. "Tinggal ini ya?" tanya Ibu itu seraya menunjuk kue tar coklat di sudut etalase. "Iya Tante. Tinggal itu." "Yaudah. Tolong bungkusin ya." "Baik, Tante." Kristi bergegas ke balik etalase. Mengambil dengan hati-hati kue tart coklat itu dan menaruhnya di atas etalase. Ia lalu meraih kotak pembungkusnya dan dengan tangkas merakit kotak itu langsung di depan pelanggan. "Mau dibuat tulisan apa Tante?" "Hmm apa ya Kak?" Ibu itu menoleh ke anak perempuannya. "Hmm." Dia terlihat berpikir. "Selamat menang pertandingan Abang." Kristi pun mulai menuliskan kalimat itu di atas kue tart coklat tersebut dengan perlahan menggunakan cream cheese dalam wadah plastik segitiga Selagi Kristi menuliskan kalimat itu, Ibu dan anak itu saling bicara menghabiskan waktu. "Oiya Kak, coba kamu chat Abang tanyain pulang jam berapa." Gadis itu segera mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Tak lama ia lalu bicara. "Kata Abang sekitar setengah jam lagi dia pulang." "Bagus. Kita masih punya waktu buat beli balon terus nyiapin kejutan," ujar Ibu itu antuasias. "Oh iya. Nama kamu siapa? Maaf ya udah dari tadi di sini tapi lupa nanya nama kamu." Ibu itu menutup mulutnya, terkekeh malu. "Nama aku Kristi Tante." Kristi menjawab sebelum tulisan dari cream cheese selesai. "Kristi ya. Nama yang bagus, cocok sama orangnya." Ibu itu tertawa kecil lagi. Agaknya hari ini merupakan hari bahagia baginya. "Oh iya, Kristi bisa kasih gambar bola basket gak di sebelah kata pertandingannya?" Setelah selesai menuliskan kalimat yang diminta, Kristi memperlihatkan hasilnya. Namun, Ibu itu minta dibuatkan gambar bola basket di sebelah kata pertandingan. "Maaf ya Kristi, Tante baru bilang sekarang. Kelupaan soalnya." Ibu itu tertawa kecil lagi. "Gapapa kok Tante." Kristi lalu membuka kulkas di sudut etalase. Biasanya kue dengan lapisan coklat didinginkan di sana. Ada juga beberapa coklat modeling yang sudah diwarnai dan dibentuk menyerupai karakter atau buah-buahan didinginkan di sana. Kristi menemukan coklat modeling berbentuk jeruk dan berwarna oranye. Ia lalu mengambilnya memotong bagian tangkai yang berwarna hijau lalu menaruhnya di atas kue tart coklat tepat di sebelah kata pertandingan. Setelahnya Kristi mengambil dark coklat yang sudah meleleh di dalam plastik segitiga lalu ia menggambar alur hitam seperti di bola basket sungguhan. "Selesai," ujar Kristi. Ia tersenyum melihat hasil tulisan dan gambarnya di atas kue tar coklat yang akan dibawa pembeli. Kemampuannya sudah meningkat. Dan Kristi merasa bangga. "Wah, cara kamu ngehiasnya bikin Tante lupa ini yang ngehias kamu atau Mama kamu. Udah bisa ya Kristi buat ngambil alih toko nanti." Kristi tergelak. "Gak kok Tante. Mama masih yang paling jago." "Ah kamu." Ibu itu lalu mengeluarkan uang dari dompetnya dan Kristi menyelesaikan membungkus kue dengan rapi, serta memastikan pegangan di tutup kotak kue benar-benar terpasang. Kemudian ia menerima uang dan memberi kembalian. "Terimakasih Tante, ditunggu kedatangannya lagi. Selamat malam," ucap Kristi seraya mengantarkan ibu dan anak perempuannya ke depan toko. Gadis itu melirik Kristi sebentar dan tersenyum malu-malu. Sejak tadi ia hanya diam dan memainkan ponselnya. Padahal Kristi ingin mengajaknya bicara. Namun, entah kenapa gadis itu tampak malu di depan Kristi. Setelah kepergian pelanggan itu, Kristi kembali masuk toko. Ia melepas bel di sudut pintu dan membalikkan tanda tutup di kaca pintu toko. Setelahnya Kristi berbenah sedikit sembari bersenandung. Saat itulah ia teringat hiasan coklat yang ia buat serupa bola basket di kue tar yang terjual tadi. "Basket?" Kristi mengumamkan itu dan merasa aneh sebab rasanya ada yang telah ia lupakan. Setelah sekian lama berpikir. Akhirnya ingatan yang sempat hilang itu muncul di dalam kepala. "BASKET! KAK FIKRI TANDING BASKET!" Begitu pekik Kristi. Ia segera berlari menaiki tangga, menuju ponselnya yang masih terletak di atas meja rias di dalam kamarnya. "Astaga kok gue bisa lupa ya?" Kristi segera mencari kontak Fikri di daftar kontak pada ponselnya. "Apa karna keasikan di waterboom tadi ya?" Setelahnya ia menempelkan ponsel di telinga saat layar ponselnya menampilkan panggilan. "Aduhh. Kak Fikri pasti marah sama gue." Kristi terus saja mengomel pada dirinya sendiri. Nada sambung masih terdengar hingga suara operator menyambut. Kristi kembali mengulanginya hingga tiga kali ia memanggil dan masih suara operator yang menjawab panggilanya. Kristi menyerah. Meletakkan ponsel kembali ke atas meja rias dengan lesu. Kemudian ia merenung. Entah kenapa rasanya kosong. Bukankah ia sangat menyukai Fikri? Namun kenapa saat ia lupa datang ke pertandingan cowok itu, ia malah merasa baik-baik saja. Bukankah harusnya sedih, menyesal dan kesal pada diri sendiri karna lupa? Namun, Kristi malah tak merasakan apa pun. Seolah Fikri hanyalah orang lain yang singgah di hidupnya dan tidak berarti apa-apa. Tapi, kenapa saat bertemu Fikri secara langsung Kristi merasa deg-degan ya? Agaknya perasaan Kristi masih misteri. Begitu juga dengan dirinya yang merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Tiba-tiba ponsel Kristi berdering. Ada panggilan masuk yang tentunya bukan dari Fikri. Panggilan itu dari Amal. Kristi menghela napas lega, merasa senang sebab panggilan masuk dari Amal membuatnya berhenti berpikir tentang kebenaran perasaannya kepada Fikri yang membuat sakit kepala. "Halo Mal." "Halo Kris, lo udah tidur?" "Belum, kenapa?" "Gapapa. Lo gak takut sendirian di rumah kan?" "Ck. Emang lo kira gue bocah apa?" "Ya kan biasanya lo ngerengek minta temenin kalau sendirian di rumah ke gue." Kristi nyengir. Ia ingat saat itu ketika masih sekolah dasar, Kakek Kristi yang merupakan Ayah dari Ayahnya masuk rumah sakit dan di opname. Alhasil ke dua orang tua Kristi harus bolak balik rumah sakit. Untungnya Adik Ayah Kristi datang dan bertugas menjaga Kakek Kristi saat malam, jadi ke dua orang tua Kristi menjaganya di siang hari. Meskipun ditinggal sendiri saat siang hari Kristi tetap saja takut dengan rumah yang lengang. Makanya, ia selalu merengek ke Amal minta ditemani di rumah. "Itu dulu Amal." Disebrang telepon Amal tergelak. "Emak lo kapan pulang?" Kristi melirik jam dinding di kamarnya sebelum menjawab. "Gak tau sih, tapi baru sejam mereka pergi masa udah mau balik aja. Lagian ini tu hari jadi mereka, biarin aja nikmatin waktu berdua." "Kalau gitu, mau ikut gue gak?" "Kemana?" "Nganterin buket bunga. Dari alamatnya sih kira-kira butuh waktu dua puluh menit. Ikut ya, daripada lo gabut sendirian." "Oke." Kristi langsung setuju. Ia lalu meraih sweaternya dan bergegas turun. Tak lupa mengunci segala pintu dan mengirim pesan pada Ayahnya kalau ia akan pergi dengan Amal sebentar. "Anjir, masih ada aja ya lo piyama ini," sahut Amal saat mendapati Kristi keluar rumahnya. Gadis itu sedang membelakangi Amal, mengunci pintu. Kristi tergelak. "Lucu tau. Masih bagus juga." Amal balas nyengir. Cowok itu lalu masuk ke dalam mobil dan duduk dibalik kemudi diikuti Kristi yang duduk di sampingnya. "Kita cuma nganter buket bunga doang kan?" "Iya." "Oke deh kalau gitu berarti gak papa gue cuma pake piyama doang." Amal melirik Kristi sebentar dan kembali fokus mengemudi. "Ya emang gak papa. Heran gue sama lo yang sering ngeributin soal baju. Asalkan lo gak pake bikini, gua gak bakal malu bawa lo." Kristi spontan memukul lengan Amal setelah cowok itu asal bicara. "Cewek itu pengen tampil terbaik dan gak malu-maluin di depan temennya atau pacarnya. Cewek emang ribet, rusuh, riweuh. Karna di dunia ini yang paling pertama diliat orang adalah penampilan, Mal. Fisik. Cantik atau enggak, ganteng atau enggak. Kalau lo tampil dengan asal-asalan bakal dipastiin lo gak dihargain sama orang." "..." "Amal lo denger gue gak sih?" "Denger. Gue diem karna ngira ceramah lo bakal lebih panjang lagi." "Ck. Lo itu bener-bener nyebelin ya." "Lo kan udah tau." "Ck." Kristi tak habis pikir dengan Amal. Dia sangat menyebalkan bahkan dari pertama kali Kristi kenal. Memang ya, sifat yang sudah mendarah daging seperti bagian dari jati diri sukar akan hilang. Makanya, sekali menyebalkan Amal tetap menyebalkan. Mobil Amal memasuki gerbang perumahan elit, sebelum itu Amal sempat melapor ke security tujuan ia ke sini baru palang pintu dibuka. "Lo liatin nomor yang sebelah kiri ya Kris, gue yang sebelah kanan. Nomor rumahnya nomor 65." "Oke." Kristi berkonsentrasi melihat nomor rumah yang ditempel pada pagar. Ia menggumamkan nomor rumah yang ia lihat, "37, 39, 41, 43, 45, 47, 49, 51."Setelah sadar kalau nomor rumah sebelah kiri adalah angka ganjil Kristi berhenti bergumam. Ia tahu kalau rumah yang memesan bunga bernomor ganjil juga. Amal melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah. Dan tepat saat lampu mobilnya menyorot nomor rumah 65 dengan pagar putih beberapa meter di depan, Amal melirik ke arah Kristi. Gadis itu duduk menyamping dengan posisi badan menghadap jendela mobil otomatis memunggungi Amal. Ia terlihat berkonsentrasi penuh mencari nomor rumah yang Amal suruh tadi. Melihatnya, Amal tertawa kecil. Kristi selalu lucu dimata cowok itu. "Yang mana Kris?" Ia pun bersikap pura-pura tak tahu kalau rumah dengan nomor 65 sudah dekat. "Bentar lagi. Masih 63." Kristi menyahut. Masih dengan posisi yang sama, memunggungi Amal. Amal menahan tawanya. Ia tetap melajukan mobilnya. "Nah ini 65!" Kristi berseru. Gadis itu berbalik menghadap ke arah Amal. "Iya gue juga liat." Amal membalas acuh. Padahal ia sudah gemas ingin mengusak rambut Kristi. Kristi mendengus. Ia merengut. Namun, Amal tak peduli sama sekali. Cowok itu lalu turun dari mobil dan membuka pintu belakang untuk mengambil buket bunga yang ia taruh di sana. Kristi tetap diam di mobil. Ia memerhatikan rumah itu. Rumah yang mewah namun tak terlihat hidup. Lengang sekali dan Kristi merasa ada yang janggal di sana. Amal sudah berdiri di depan gerbang rumah dengan nomor 65 itu. Ia lalu menelpon seseorang dan bicara formal. Kristi tahu, Amal berbicara dengan si pemesan bunga. Tak lama pintu gerbang dibuka. Seorang ibu-ibu dengan celemek di badannya muncul sambil tersenyum ramah. Kristi tak mendengar pembicaraan Amal dengan Ibu itu, sebab kaca mobil bagian kiri Kristi tidak terbuka. Hanya saja, Kristi bisa mengira kalau obrolan ibu itu dengan Amal hanya sebatas pemesanan bunga. Setelah basa basi sedikit, Amal menerima uang buket bunga tersebut dan berbalik kembali masuk mobil. Pintu gerbang pun sudah ditutup bersamaan dengan Kristi yang mendongak melihat ke arah balkon rumah mewah tersebut. Kristi tak sengaja mendongak, namun ia malah menangkap sosok seorang gadis yang berdiri diam di sana sembari melihat ke lantai bawah. Balkonnya gelap, namun Kristi bisa jelas melihat ada orang di sana sebab gadis itu memakai pakaian kuning, semacam terusan untuk tidur. Kristi jadi bergidik ngeri. Gadis itu tampak seperti hantu. Ia segera mengalihkan pandangan dan menyuruh Amal bergegas menjalankan mobil. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD