bc

I'm Your Apple

book_age18+
132
FOLLOW
1K
READ
family
love after marriage
arrogant
goodgirl
drama
bxg
first love
wife
husband
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

"Mungkin… kau dibuat bingung dengan orang yang namanya sama," cakap Aksa sambil mengepalkan tangan, lelaki itu berusaha mati-matian menahan emosi.

"Atau… atau dokumennya tertukar!" Sambungnya, dan tanpa aba-aba, Aksa mencob meraih setumpuk dokumen yang berada di atas meja. Namun, tangannya segera ditepis oleh seorang lelaki yang duduk berhadapan dengannya. Lelaki tua dengan berbalut jas putih serta kacamata yang bertengger di hidungnya.

"Singkirkan tanganmu!" Perintahnya, "Lagi pula kau tak akan mengerti, ini istrimu!"

"Kenapa kau mengatakan semuanya padanya?!" Geram Aksa.

"Aku seorang Dokter. Dia butuh waktu untuk bersiap dengan apa yang akan menimpanya."

"Kau yakin dengan itu?"

"Tentu!"

"Benarkah? Sepenuhnya yakin?" Cecar Aksa, bahkan kali ini ia sampai bangkit dari duduknya, mencondongkan diri ke arah sang dokter yang masih terduduk di kursinya. Lelaki sedingin dan seapatis Aksa, kali ini dibuat panik, takut sekigus bingung bukan kepalang.

"Jika tak percaya padaku bawa saja ke dokter lain!"

Brakkk!

Detik berikutnya amarah Aksa tak lagi tertahankan, lelaki itu menggebrak meja serta menyerang dokter yang ada di hadapannya, menarik kerah jas putihnya, menyeret serta membenturkan tubuh sang dokter ke tembok yang ada di belakang.

"Kau sudah gila? Ada apa dengan dirimu?!" Geram sang dokter, "ini rumah sakit!"

"Apa kau yakin? Kau benar-benar yakin dengan apa yang kau lakukan?!" Cecarnya lagi sembari terus menekan lengan kanannya pada leher sang dokter. Seorang perawat pun dengan sigap menerobos masuk begitu ia mendengar keributan dari dalam ruangan, berusaha melerai dengan menahan tangan Aksa.

"Istrinya juga meninggal karena penyakit itu," ujar sang perawat, membuat Aksa lantas tersentak, pun seketika melepaskan cengkramannya dan mundur beberapa langkah.

"Dan dia menghabiskan hidupnya untuk meneliti penyakit tersebut."

"Terima kenyataannya, kau tidak akan bisa mengubahnya." Kata sang dokter sembari merapikan kembali jas putihnya.

chap-preview
Free preview
Prolog
Aksa dengan wajahnya yang datar membawa kakinya melangkah ke dalam resto bernuansa klasik. Dengan setelan jas formal yang dikenakannya, Aksa tidak datang sendirian, ia bersama kedua orangtua juga adiknya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Papa Aksa yang berjalan lebih dulu selangkah di depan, mengarahkan mereka menuju sebuah meja di tengah resto, yang mana di sana sudah ditempati oleh pasangan suami istri beserta anak gadisnya yang tersenyum malu-malu. "Andre! Bagaimana kabarmu?" Satu-satunya lelaki yang sudah lebih dulu menempati meja itu pun berdiri untuk menyambut kedatangan mereka. "Ya… seperti yang kau lihat. Hahaha!" Jawab Andre, papa Aksa. "Kau sama sekali tidak berubah, masih sama seperti saat duduk di bangku kuliah!" Ujar lelaki itu lagi. "Tony, kau bisa saja! Kau juga tidak banyak berubah." Sahutnya. "Mari silakan duduk! Ah, ini, putra-putra mu?" "Ya. Putra sulung ku namanya Aksa, dan di sebelahnya itu Arkan, adiknya." Aksa yang baru saja mendaratkan bokongnya pun akhirnya berdiri lagi. "Aksa." Ucapnya memperkenalkan diri, sembari sedikit membungkukkan tubuhnya agar memberi kesan sopan. Kemudian disusul oleh sang adik, Arkan. Yang juga kembali berdiri dan sedikit membungkukkan tubuhnya. "Arkan." Ucapnya juga. "Wah! Kedua putramu sangat tampan, untung tidak mirip denganmu!" Canda Tony, yang disambut gelagak tawa oleh Andre. "Apa tidak sebaiknya kau mengenalkan putrimu juga?" Ucap istri Tony yang duduk di sebelahnya. Lantas Tony menepuk keningnya sendiri sambil melempar tawa, "ah benar! Aku hampir lupa. Sayang, ayo perkenalkan dirimu." Pun gadis yang duduk berhadapan dengan Aksa itu bangkit dari duduknya, menatap kedua orangtua Aksa sambil menyimpulkan senyumannya yang membuat dirinya terlihat sangat anggun. "Malam, Om, Tante. Nama ku Nevi." "Nevi, kau cantik sekali! Persis seperti ibumu!" Puji istri Andre. "Ah, terima kasih banyak, Tante." Kata gadis itu seraya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga dan menunduk tersipu. Mendengar percakapan singkat itu, Aksa hanya berdecis. Selama kedua orangtuanya saling berbincang dengan rekan bisnisnya yang ternyata juga rekan semasa kuliahnya, Aksa dan Arkan lebih memilih untuk diam. Bahkan Arkan nampak jengah dan rasanya ingin segera melarikan diri dari sini. Sekilas ia melirik kakaknya yang lebih sering menundukkan kepala. Detik berikutnya ia melirik gadis bernama Nevi yang duduk berhadapan dengan sang kakak, gadis itu tertangkap curi-curi pandang ke arah Aksa, sangat berbanding terbalik dengan Aksa yang jelas-jelas tidak mengindahkan keberadaannya. "Cih! Ini tidak akan berhasil!" Desisnya. Arkan melirik arloji hitam pada pergelangan tangan kirinya, sudah hampir 30 menit. Entah apa saja yang mereka bicarakan Arkan sama sekali tak mendengarkannya, bahkan kakaknya yang menjadi bintang utama malam ini pun juga pasti tidak menyimak, Arkan berani bertaruh untuk itu. Dua kakak beradik ini hanya sesekali melempar senyum ketika nama mereka disebut. "Aku benar-benar bosan…" gumam Arkan yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri, sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru resto. Namun seketika pandangannya terpaku, matanya terbelalak kala ia melihat seorang gadis yang duduk di sudut resto. Gadis itu juga tengah menatap ke arahnya, tapi ternyata gadis itu tak sendiri, ada seorang lelaki yang duduk di hadapannya. Arkan menyenggol-nyenggol kaki kakaknya, memberi kode agar lelaki di sebelahnya itu menoleh ke arahnya. "Lihat ke sudut, baju merah muda." Bisik Arkan. Lantas Aksa mengarahkan pandangannya seperti yang adiknya katakan barusan. Aksa terkejut bukan main, tapi ekspresinya tetap datar seakan tidak terjadi apa-apa. Matanya bertemu tatap dengan gadis yang dimaksud oleh adiknya di sudut sana. Sedang apa dia di sini? Yang lebih mengganggu pikiran Aksa, siapa lelaki yang bersamanya? Sejak itu Aksa tak membiarkan pandangannya beralih barang sedetik pun dari gadis di sudut sana. Sampai pada akhirnya sang gadis lah yang memutus tatapan mereka. Ia terlihat melontarkan sebaris kalimat pada lelaki yang ada di hadapannya, dan beranjak pergi dari sana. "Mau kemana dia?" Bisik Arkan lagi, yang ternyata juga masih memerhatikan gadis berbaju merah muda itu. "Mungkin ke toilet." Jawab Aksa. Keduanya kembali pada aktifitasnya semula, aktifitasnya yang hanya duduk diam dan bersikap baik di hadapan keluarga rekan orangtua mereka. Detik jarum jam terus melaju, entah sampai kapan pertemuan ini berlangsung. Pertemuan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh Aksa. Sebab pertemuan ini memang dikhususkan untuk membahas yang katanya tentang "masa depan" Aksa. Dua hari, sebelum pertemuan ini terjadi… Aksa, Arkan dan kedua orangtuanya duduk saling berhadapan di meja makan, dengan masing-masing bertemankan secangkir teh hangat yang tersaji di depannya. Raut papa dan mama Aksa nampak tegang sekaligus bingung. Mereka sengaja mengumpulkan kedua putranya untuk membahas permasalahan yang tengah mereka hadapi. Setelah menyeruput teh dalam cangkirnya, Andre, papa Aksa menghela napasnya berat. "Ada yang ingin aku bicarakan pada kalian…" ujarnya. "Perusahaanku sedang mengalami penurunan drastis. Sudah berbagai cara aku coba untuk mempertahankannya tapi… tidak juga berhasil. Kebetulan rekan semasa kuliahku, baru saja menghubungiku beberapa waktu lalu, ternyata dia juga memiliki perusahaan properti yang cukup mumpuni. Dia bilang, dia bersedia membantu agar perusahaan ku tidak jatuh dengan cara menyuntikkan saham dalam jumlah yang besar dan bekerja sama dalam pengoperasiannya." "Itu bagus, bukan? Lalu apa masalahnya?" Tanya Aksa sembari meletakkan cangkir berisi teh yang baru saja ia seruput. "Masalahnya… dia memberiku persyaratan," ucap Andre dengan ragu-ragu, apalagi saat putra sulungnya melempar tatapan ke arahnya, menanti kelanjutan dari penuturannya. "Dia ingin, kita menjadi keluarga." "Menjadi keluarga?" Aksa mengernyitkan keningnya. "Ya. Dia punya anak gadis yang setahun lebih muda darimu, Aksa. Dia ingin kalian--" "Tidak. Aku tidak ingin." Tukas Aksa, tanpa mendengar keseluruhan kalimat yang hendak dilontarkan oleh papanya itu, sebab ia sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Orangtua Aksa tentu sudah menduga kalau hal ini akan terjadi. Apalagi mereka sangat paham karakter putra sulungnya itu, sudah pasti ia tak akan menerimanya begitu saja. "Dengarkan dulu, Aksa…" lirih mamanya, yang sejak tadi diam tak bersuara. "Bagaimana bisa kalian menukar anak sendiri dengan sejumlah saham? Apa perusahaan itu lebih berharga bagi kalian?" "Aksa--" "Sudah malam, aku harus tidur." Pungkasnya, yang kemudian bangkit dan meninggalkan kedua orangtua juga adiknya yang masih berada di meja makan. "Aku juga harus tidur." Kini giliran Arkan, yang bangkit dari duduknya dan bergegas menuju ke kamar. Melihat dua putranya yang malah menghindar, Andre dan sang istri hanya mampu menghela napas. Terutama Andre, ia memijit keningnya sendiri sebab tak tahu harus melakukan apa lagi. "Kita bicarakan lagi lain waktu." Ucap sang istri sambil mengusap bahunya. *** "Tanggal pertemuan?" Aksa yang tengah menuruni anak tangga tidak sengaja mendengar pembicaraan sang papa dengan seseorang di seberang sana melalui panggilan telepon. "Kau ingin secepatnya?" Ah, pasti papanya sedang membahas tanggal pertemuan dengan rekannya itu. Pun Aksa berusaha mengabaikannya, dan melintasi papa nya yang terduduk di sofa keluarga. Namun entah kenapa, ada sesuatu yang mengganggu pikiran serta batinnya. Rasa hati begitu sulit untuk mengabaikan hal itu. Lantas Aksa menghentikan langkahnya, menghela napas dan berbalik arah, kembali ke tempat dimana sang papa berada. "Maaf tapi sepertinya aku tidak bisa…." "Aku bersedia." Cetus Aksa. Sontak ekspresi Andre berubah seketika kala mendengar apa yang dilontarkan putranya barusan. Ditatapnya Aksa yang berdiri di hadapannya itu. "T-tapi…." "Aku bersedia." Tegasnya sekali lagi. Andre terus melempar tatapan tak percaya pada putra sulungnya yang berada di hadapannya kini. Bahkan ia sampai mengabaikan seseorang yang berbicara dengannya melalui panggilan telepon itu. "Kau yakin?" Tanyanya memastikan. Aksa terdiam sejenak, menghela napasnya dan menundukkan kepala sepersekian detik. "Lakukan saja selagi aku belum berubah pikiran." Ucapnya dan segera berlalu, Aksa melanjutkan langkahnya yang semula berniat untuk menuju ke dapur, mengambil segelas air demi membasahi kerongkongan. "Halo, Tony? Tadi apa katamu? pertemuannya besok? Baik! Kalau begitu, besok aku pasti akan datang!" Bersamaan dengan Andre yang memutus panggilan teleponnya, Aksa meletakkan gelas yang sudah kosong itu di atas meja. Ia mendengar apa yang baru saja papa nya tuturkan barusan. Besok, adalah pertemuan dirinya dengan gadis yang akan dijodohkan dengannya kelak. Jadilah sekarang ia terdampar di sini. Sejujurnya Aksa tidak yakin akan keputusan yang diambilnya, ia hanya benci ketika melihat orangtuanya mengalami kesulitan. Ia juga benci jika harus membuat orangtuanya malu karena membatalkan janji pertemuan ini. Di luar, rintik hujan perlahan mulai menjatuhkan diri membasahi tanah. Sepertinya langit juga begitu pekat malam ini. Aksa merasa kakinya kembali disenggol oleh sang adik yang duduk di sebelahnya. "Apa seorang gadis bisa menghabiskan waktu 15 menit di toilet?" Bisik Arkan. Mendengar hal itu, Aksa seketika menoleh, menatap sang adik yang juga tengah melirik ke arahnya. "Dia belum kembali." Arkan menggerakkan mulutnya seolah mengatakan sebaris kalimat barusan. Kemudian matanya mengarah ke tempat sebelumnya wanita itu berada. Lantas Aksa mengikuti arah pandang mata Arkan. Benar, tempat itu masih kosong. Gadis itu belum kembali. Tanpa diduga, Arkan bangkit dari duduknya, membuat mereka yang berada di meja itu menoleh serentak ke arahnya tak terkecuali Aksa. "Aku permisi sebentar." Pamit Arkan, yang Aksa tahu ia pasti akan memeriksa kemana gadis itu pergi. "Adikmu mau kemana?" Bisik sang ibu. Aksa hanya terdiam, sambil sesekali menatap punggung adiknya yang berjalan ke arah pintu keluar. Ternyata rintik ini lebih deras dari perkiraan. Arkan yang melihat kerumunan orang di samping resto pun lantas langsung memeriksanya, ia memayungi kepalanya dengan telapak tangannya sendiri. "Kak Disa?!!" Dari dalam resto, ternyata Aksa mendengar sang adik memekik. Lantas ia segera bangkit dan berlari keluar resto. Tak peduli apapun, tak peduli jika orangtuanya akan marah, tak peduli hujan yang sudah mengguyur tubuhnya ketika Aksa tiba di luar. Aksa langsung menerobos kerumunan itu. Seorang gadis tergeletak tak sadarkan diri di sana, seorang gadis berbaju merah muda yang sedari tadi ia bicarakan bersama adiknya. Tanpa buang waktu, Aksa segera membopong gadis itu dan membawanya lari ke rumah sakit yang kebetulan tidak jauh dari sana. Orangtua Aksa, beserta rekan bisnisnya tentu mengejarnya sampai keluar. Mereka pun menyaksikan aksi penyelamatan Aksa yang dramatis. Membopong gadis itu dengan tangannya sendiri, dan berlarian membawanya ke rumah sakit di bawah guyuran hujan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
50.2K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Satu Jam Saja

read
593.4K
bc

Married With My Childhood Friend

read
44.0K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.1K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.5K
bc

SEXY LITTLE SISTER (Bahasa Indonesia)

read
308.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook